Pengaruh Freemasonry terhadap Organisasi Budi Utomo
MUSTANIR.net – Perluasan dan perkembangan pendidikan di Pulau Jawa mengakibatkan ditemukannya akar dari perubahan sosial yang memengaruhi elit Indonesia. Dengan bertambah luasnya kekuasaan Belanda, kebutuhan akan birokrasi Indonesia yang berpendidikan Barat bertambah besar.
Sebelumnya kedudukan-kedudukan tinggi dalam hirarki kepegawaian Indonesia diberikan atas dasar keturunan, politik kolonial yang baru menjadikan pendidikan sebagai keahlian tambahan, namun seiring berjalannya waktu dan keadaan, pendidikan dijadikan sebagai ukuran utama (Nagazumi, 1989: 21).
Hal ini yang kemudian membuahkan beragamnya elit Indonesia. Budi Utomo didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 yang dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo. Anggotanya terdiri dari para pelajar STOVIA yang diketuai oleh Sutomo. Organisasi ini menjadi organisasi nasional pertama yang lahir di Indonesia. Hal itu membuat Organisasi Budi Utomo menjadi pelopor bagi gerakan kebangsaan di Indonesia (Nagazumi, 1989: 1).
Budi Utomo dalam menjalankan gerakannya ternyata mendapat bantuan dan dukungan dari Freemasonry, tokoh-tokoh Budi Utomo ternyata merupakan anggota Freemasonry. Freemasonry diartikan secara keseluruhan yaitu Kelompok Merdeka yang Sedang Membangun.
Organisasi ini memiliki sistem moral tertentu yang menggunakan ilustrasi-ilustrasi tertentu, simbol-simbol khusus, dan juga ritual tersendiri. Ritual yang mereka lakukan, diklaim berasal dari Raja Solomon yang mendirikan Kuil Sucinya (Herry Nurdi, 2006: 8).
Dalam beberapa sumber yang bisa dilacak, tradisi ini berasal dari Knight Templars yang bisa di urut hingga era Perang Salib antara abad 11 sampai abad ke-13. Freemasonry dan Budi Utomo mempunyai hubungan yang sangat kuat dan akrab. Ini kelak akan memengaruhi sikap Budi Utomo, terutama dalam sikap keberagaman mereka (Herry Nurdi, 2006: 54).
Ide Kebangkitan Nasional
Tokoh-tokoh nasional yang sangat dekat dengan Gerakan Theosofi adalah Mohammad Tabrani (Tokoh kongres Pemuda Pertama pada 1926, Ketua Pemuda Theosofi), Ki Sarmidi Mangoensarkoro (Tokoh Taman Siswa), Ki Hadjar Dewantara (Tokoh Taman Siswa), Tjipto Mangoenkoesomo (Tokoh Budi Utomo), Goenawan Mangoenkoesoemo (Tokoh Budi Utomo), Armin Pane (Sastrawan), Sanoesi Pane (Sastrawan), Mohammad Amir (tokoh Jong Sumatrenan Bond), Datoek Soetan Maharadja (tokoh kaum adat Minangkabau), Siti Soemandari (pemimpin Majalah Bangoen), dan tokoh-tokoh nasional lainnya, terutama yang berasal dari Keraton Pakualaman Yogyakarta, Organisasi Tri Koro Dharmo, Jong Java, Boedi Oetomo, Perhimpoenan Goeroe Hindia Belanda (PGHB/cikal bakal PGRI), dan para alumnus STOVIA (Artawijaya, 2011: 3).
Budi Utomo yang pemimpin maupun anggotanya sebagian besar berasal dari kalangan priyayi dan kaum muda terpelajar ini, tidak terlepas dari incaran Freemasonry untuk menyebarkan idenya. Adanya hubungan Freemasonry dengan Budi Utomo tentunya memberikan pengaruh terhadap opini atau pemikiran di tubuh Budi Utomo.
Sehingga dalam melaksanakan tujuan organisasinya tidak terlepas dari pengaruh Freemasonry yang pada masa itu lebih dikenal dengan kaum Theosofi. Hubungan tersebut dapat dilihat dari banyaknya pemimpin Budi Utomo yang menjadi anggota dari Freemasonry.
Pada tahun 1900-an organisasi seperti Theosofi dan Freemasonry semakin berkembang pesat, khususnya di Tanah Jawa dengan munculnya loji-loji tempat pertemuan mereka di berbagai daerah. Oleh karena itu, Theosofi dan Freemasonry disebut sebagai organisasi yang bergeliat bersama gerak laju kolonialisme di Indonesia, yang kemudian secara tidak langsung melalui elit-elit nasional yang direkrut menjadi anggotanya, memengaruhi gerak laju nasionalisme (Artawijaya, 2011: 3).
Himpunan Theosofi merupakan kelompok yang cukup berpengaruh di dalam Budi Utomo. Melalui tokoh Belanda wakil sekretaris yang menjadi pemimpin kelompok ini di Hindia yaitu D Van Hinloopen Labberton. Sebagai orang yang berilmu Labberton mendapat julukan kiai santri oleh orang-orang Jawa (Nagazumi, 1989: 118).
Kedekatan Budi Utomo dengan Himpunan Theosofi juga di perlihatkan oleh Soetomo yang mengatakan bahwa “kiai ini menjadi pusat, sumber bagi kita, oleh karena pergaulannya yang akrab dengan banyak tokoh penting dari kalangan mana saja. Kita bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang sejumlah masalah, yang menjadi bahan pembicaraan dan pembahasan dalam kelompok kita” (Soetomo, 1933: 86).
Melalui perantara anggota Budi Utomo yang tertarik pada Theosofi, Badan Pengurus setuju menyelenggarakan ceramah atas nama Himpunan Theosofi Hindia Belanda. Sekitar tiga ratus hadirin mendengarkan ceramah Labberton dengan penuh perhatian pada tanggal 16 Januari 1909, terutama ketika ia berbicara panjang lebar mengenai masalah agama.
Selain itu ceramah Labberton juga mengemukakan tujuan himpunan, dan bagaimana hubungannya kelak dengan bangsa Jawa, dan juga mengemukakan gagasan tentang kebangkitan nasional (Nagazumi, 1989: 120).
Prinsip Netralitas Beragama
Salah satu doktrin yang diajarkan dalam organisasi persaudaraan Freemasonry adalah sikap mereka terhadap agama. Mereka menganggap semua agama itu sama.
Gerakan Freemasonry dengan segala pengaruhnya telah masuk ke Indonesia sejak masa penjajahan. Ia tidak terlepas dari kiprah penjajah Belanda di Indonesia.
Kerajaan Belanda sejak dahulu telah dikenal sebagai tempat pertemuan Freemasonry se-Eropa. Di Benelux (Belgia, Nederland, Luxemburg), gerakan ini tumbuh subur karena pemerintah di sini membolehkan para pejabatnya menjadi anggota (Abdullah Pattani, 2008: 43).
Pada masa berkembangnya Gerakan Theosofi, gesekan-gesekan pemikiran dengan tokoh-tokoh Islam yang berasal dari Sarekat Islam berlangsung sengit. Bahkan rivalitas antara Budi Utomo dan Sarekat Islam, di antaranya juga berpangkal dari pemahaman soal keyakinan dan pemahaman Islam.
Tokoh Budi Utomo, seperti Goenawan Mangoenkoesomo dan Radjiman Wediodiningrat cenderung bersikap konfrontatif terhadap aspirasi Islam. Sehingga tak heran, jika Prof. Reeve sebagai akademisi yang pernah meneliti Gerakan Theosofi, menyatakan, “Perkumpulan Theosofi mengaku terbuka untuk semua agama, namun tampaknya mereka menjalin sangat sedikit persentuhan dengan Islam,” (Stevens, 2004: 47).
Bukti lain kedekatan Gerakan Theosofi dengan Budi Utomo terlihat dalam Perayaan 10 Tahun Organisasi Budi Utomo pada 1918 yang berlangsung di Loji Theosofi, di De Ruijstestraat 67 Den Haag, Belanda. Dalam perayaan tersebut, tokoh-tokoh Budi Utomo dan mahasiswa Indonesia, termasuk Ki Hadjar Dewantara dan Gunawan Mangunkoesomo, menggelar perayaan dan peluncuran buku Soembangsih: Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-20 Mei 1918.
Dalam buku itu, Gunawan Mangunkusomo menulis, “Bagaimanapun tinggi nilai kebudayaan Islam, ternyata tidak mampu menembus hati rakyat. Bapak penghulu boleh saja supaya kita mengucap syahadat, ‘Hanya ada satu Allah dan Muhammad-lah Nabi-Nya’, tetapi dia tidak akan bisa berbuat apa-apa bila cara hidup kita, jalan pikiran kita, masih tetap seperti sewaktu kekuasaan Majapahit dihancurkan secara kasar oleh Demak,” tulisnya (Artawijaya, 2012: 4).
Pernyataan tersebut memperjelas bahwa
pemikiran Gunawan Mangunkusumo seperti menangguhkan ajaran agama Islam. Hal itu juga menegaskan adanya pengaruh dari kaum Theosofi atau Freemasonry dalam pemikirannya mengenai agama dan sekulerisasi di tubuh Budi Utomo. []
Sumber: Fathimah Dayaning Pertiwi, M.Pd
Daftar Pustaka:
• Abdullah Patani. (2008). Freemasonry di Asia Tenggara. Thailand: Haji Ali Bin Haji Sulong Press.
• Artawijaya. 2011. Sejarah Gerakan Theosofi di Indonesia: Persentuhannya dengan Elit Modern Indonesia (1). Jurnal.
• Artawijaya. 2012. Sejarah Gerakan Theosofi di Indonesia: Persentuhannya dengan Elit Modern Indonesia (2). Jurnal.
• Herry Nurdi. 2005. Jejak Freemasonry & Zionis di Indonesia. Jakarta: Cakrawala Publishing.
• Nakira, Agazumi. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: PT Temprint.
• Soetomo. 1933. Kenang-kenangan. Beberapa poengoetan kisah penghidupan orang yang bersangkutan dengan saia. Surabaya.
• Stevens. Th. 2004. Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.