Pengaruh Worldview Barat Sekuler terhadap Pikiran Umat Islam

Oleh: Irfan Habibie Martanegara, S.T, M.Pd.I

(Mahasiswa S3 Universitas Ibnu Khaldun), Peneliti PIMPIN

Geliat islamisasi nampaknya sudah bukan hal yang aneh lagi di Indonesia. Munculnya institusi-institusi keuangan berlabel syariah merupakan salah satu cirinya. Di samping soal ekonomi yang di dalamnya termasuk dalam ilmu sosial, islamisasi juga tampak dalam ilmu humaniora seperti ilmu psikologi. Sudah banyak terbit buku-buku psikologi yang bertajuk psikologi Islam.

Dari dua hal tersebut, tampak kesadaran ada sesuatu dalam disiplin ilmu sosial dan humaniora yang bertentangan dengan Islam atau dengan kata lain ilmu-ilmu tersebut sangat kental dengan worldview selain Islam, dalam hal ini worldviewBarat sekuler. Namun di sisi lain, nampaknya belum disadari bahwa dalam sains, dengan pengertian ilmu alam, pun telah dipengaruhi worldview ini.

Menurut Salisu Shehu, worldview Barat sekuler ini bisa tampil dalam tiga bentuk, yaitu worldview humanis, agnostik, atau ateis. Pada worldview ini, kepercayaan terhadap keberadaan tuhan tidak terlalu diperhatikan. Kalaupun keberadaan tuhan disadari, tetap saja tidak dianggap memiliki signifikansi terhadap kehidupan. Lebih jauh, keberadaan tuhan dapat dianggap sebagai mitos dan hanya materi yang benar-benar nyata.[1]

Lebih jauh Salisu menjabarkan bahwa worldview ini menganggap manusia bisa mengetahui alam cukup dengan mengandalkan dan mempercayai intelek dan inderanya saja. Ketepatan dan keakuratan mengenai dunia dapat diraih dengan melakukan postulasi dan penalaran secara rasional serta dengan melakukan observasi dan eksperimen melalui alat indera. Metode saintifik atau lebih tepatnya metode deduktif hipotetis merupakan satu satunya cara yang terpercaya untuk mendapatkan pengetahuan atau mencapai mana yang benar dan mana yang salah.

Pada perkembangannya, worldview ini mengubah sains menjadi sainstisme. Saintisme adalah kepercayaan bahwa sains, khususnya sains alam adalah bagian paling berharga dari pembelajaran manusia, sangat berharga karena sangat otoritatif, atau serius, atau bermanfaat.[2] Saintisme bersikukuh agama kini tidak lagi dibutuhkan tidak memberi manfaat. Kalaupun ada maka manfaatnya jauh lebih kecil daripada bahaya yang ditimbulkannya.[3]

Perdana Menteri India pertama Jawaharlal Nehru –seorang agnostik– mengatakan,

Hanya sains saja yang dapat menyelesaikan problem kelaparan dan kemiskinan, rendahnya tingkat kesehatan dan keberaksaraan, takhayul, adat yang mematikan, dan tradisi, mubadzirnya sumber daya, negeri yang kaya yang dihuni orang-orang lapar… Siapa yang mampu mengabaikan sains pada masa sekarang? Pada setiap hal kita membutuhkan bantuannya… Masa depan itu milik sains dan siapa saja yang berteman dengannya. [4]

  1. Barat sekuler tersebut dibawa masuk ke negeri-negeri muslim pada masa penjajahan kolonial. Memang saat ini para penjajah itu sudah hengkang, namun produk pendidikan sekuler warisan penjajah tersebut masih digunakan sampai sekarang. Pendidikan sekuler ini pada akhirnya menghasilkan krisis dualitas. Yang digambarkan dengan adanya dikotomi antara illmu agama dan ilmu non-agama.[5]

Akibatnya, menurut William C. Chittick, pemikir modern yang beriman tidak bisa menghindarkan diri dari benak yang terkompartemenkan atau dengan kata lain tejadi keterbelahan dalam pikirannya. “Satu kompartemen pikiran akan mencakup ranah profesional dan rasional, sedangkan kompartemen yang lain menampung ranah ketakwaan dan amal pribadi.”[6]

Akibat keterbelahan pikiran ini, pola pikir umat Islam saat ini bukan lagi pola pikir tauhid. Ketika membicarakan gempa misalnya, di dalam masjid mungkin orang boleh mengatakan bahwa gempa adalah kehendak tuhan. Namun di sekolah atau di ruang publik, gempa adalah fenomena alam biasa yang dapat diteliti secara saintifik.

  1. real keterbelahan pikiran ini adalah ungkapan Ulil Absor Abdala beberapa waktu yang lalu juga mengkritik pejabat yang mengaitkan bencana alam dengan azab Tuhan. Ulil mengatakan, “Ada semacam template di kitab suci tentang bencana. Misalnya, ada cerita saat manusia membangkang kepada Tuhan kemudian Tuhan menghancurkan seluruh muka bumi. Nah, waktu sekarang ada bencana, para tokoh ini langsung mengambil template itu. Menurut saya, jangan dihubung-hubungkan, ini proses alam saja.”[7]

[1] Salisu Shehu, Islamization of Knowledge Conceptual Background Vision and Tasks, International Institute of Islamic Thought, Nigeria Office, 1998 hal 26.

[2] Tom Sorell, Scientism: Philosophy and the Infatuation with Science. Routledge, 1994, hal 1

[3] ibid hal 7-8

[4] ibid hal 2

[5] Salisu, Islamization of Knowledge, hal 29-31

[6] William C. Chittick, Science of The Cosmos, Science of The Soul, Oxford: Oneworld Publication., 2007, hlm 11.

[7] Heru Margianto “Jangan Kaitkan Bencana dengan Azab” ,  http://nasional.kompas.com/read/2010/11/05/11161855/Jangan.Kaitkan.Bencana.dengan.Azab-4

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories