Persatuan Kaum Muslimin
Persatuan Kaum Muslimin
Salah satu di antara tiga langkah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sampai di Madinah adalah mempersaudarakan sahabat Muhajirin dan Anshar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dengan ikatan yang lebih erat dan kuat daripada hubungan darah, yaitu ikatan tali Dinul Islam.
Sebagaimana diketahui, para Muhajirin hijrah ke Madinah tanpa membawa harta sepeserpun. Mereka hanya bermodalkan iman untuk mencapai Madinah. Tentu hal ini menjadi masalah bagi kaum Muhajirin yang datang di tempat yang baru, Madinah. Perbedaan kultur dan mata pencaharian membuat sahabat Muhajirin harus berpikir keras untuk bertahan hidup.
Kondisi Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang. Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan.
Akan tetapi, kesulitan-kesulitan itu segera sirna manakala sahabat Anshar yang datang mengulurkan tangan atas dasar persaudaraan iman. Sungguh, pengorbanan yang mengagumkan ini telah diabadikan dalam Al-Qur’an.
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”(Al-Hasyr : 9)
Inilah Modal Awal Perjuangan
Tak pelak lagi, sebuah perjuangan –terlebih dalam jihad fii sabilillah—dibutuhkan persatuan dan perpaduan kaum muslimin yang solid. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam telah berhasil mempersaudarakan kalangan Muhajirin dan Anshar, hingga menjelma dalam bentuk kekuatan. Dengan ini, mereka mampu menggulung dua imperium besar saat itu, Romawi dan Persia.
Kedatangan Islam sebagai penerang bagi penduduk Madinah pun sanggup menyatukan dua suku besar yang senantiasa bermusuhan, Aus dan Khazraj. Syaikh Ibnu Katsir mengisahkan dalam tafisrnya ketika menafsirkan surat Ali-Imran ayat 103. Beliau menyebutkan bahwa ayat ini mengisahkan tentang keadaan suku Aus dan Khazraj. Pada masa Jahiliyah kedua suku tersebut saling bermusuhan dan berperang selama 120 tahun.
Setelah memeluk Islam, Allah ta’ala menyatukan hati mereka. Sehingga, mereka pun menjadi bersaudara dan saling menyayangi. Ketika orang-orang Aus dan Khazraj sedang berkumpul dalam satu majelis, ada seorang Yahudi lewat. Dengan bersemangat, si Yahudi kembali mengungkit-ungkit permusuhan dan peperangan mereka saat perang Buats.
Maka, permusuhan antara kedua suku tersebut mulai memanas kembali. Kemarahan mulai timbul, saling cerca pun tak terelakkan, lalu keduanya saling mengangkat senjata. Akhirnya, ketegangan tersebut disampaikan kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa salam. Kemudian beliau mendatangi mereka untuk menenangkan dan melunakkan hati mereka, seraya bersabda, “Apakah kalian masih sibuk dengan seruan-seruan jahiliyah, sedangkan aku masih berada di tengah-tengah kalian?”
Setelah itu, beliau membacakan ayat ini.
واَعْتصِمُواْ بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah kamu sekalian berpecah belah…” (Ali Imron ayat 103)
Mendengar penuturan Nabi, mereka pun menyesal atas apa yang telah terjadi. Perdamaian kembali tercapai, dan diakhiri dengan berpelukan dan menanggalkan senjata. Maka, ayat tersebut tentunnya menjadi landasan global bagi umat Islam –baik dalam medan jihad ataupun medan lainnya—untuk selalu berpegang teguh dengan tali Allah.
Menurut Ibnu Mas’ud, yang dimaksud “tali Allah” adalah Al-Jama’ah. Al-Qurthubi menyatakan, “ Sesungguhnya Allah memerintahkan supaya bersatu padu dan melarang berpecah belah, karena perpecahan itu adalah kerusakan dan persatuan (Al-Jama’ah) itu adalah keselamatan.” (Tafsir Al-Qurthubi IV/159)
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa “tali Allah” adalah Dinul Islam. Selain itu, ada juga yang berpendapat maknanya adalah ketaatan kepada Allah, ikhlas dalam bertaubat, dan janji Allah. Imam Fakhrurazi dalam Tafsir Al-Kabir menyimpulkan bahwa seluruh penafsiran tersebut pada hakekatnya saling melengkapi.
Kemudian lafadz جَمِيْعًا adalah sebagai “Haal”, yang menjelaskan tentang cara berpegang teguh kepada tali Allah. Yaitu dengan cara bersatu padu atau berjama’ah. (Tafsir Abi Su’ud Juz I/66) Hal ini senada dengan makna yang di berikan oleh para Mufassirin, diantaranya sahabat Abdullah bin Mas’ud yang menyebutkan bahwa maksudnya adalah “Al-Jama’ah” (Tafsir Qurthubi Juz III/159, Tafsir Jami’ul Bayan Juz IV/21).
Begitu pula adanya Qorinah Lafdziyah (lafadz yang menyertai), yaitu “wala tafarroqu” setelah kalimat “Jami’an”. Al-Alamah Ibnu Katsir berkata bahwa maksudnya adalah Allah memerintahkan kepada mereka dengan berjama’ah dan melarang mereka dari berfirqah-firqah (berpecah belah). (Tafsir Ibnu Katsir juz I/189)
Kemudian makna وَلاَ تَفَـرَّقوُا adalah larangan berpecah belah seperti berpecah belahnya orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam melaksanakan agama mereka.
Persatuan dalam jihad
Sudah menjadi maklum, amalan jihad adalah pintu terbesar dalam sebuahamar ma’ruf nahi munkar. Ini karena pada dasarnya amalan jihad mengubah tatanan yang buruk menjadi sesuatu yang lebih baik. Juga, memerangi orang-orang musyrik dan kafir yang telah berbuat kerusakan serta mengembalikan kemuliaan kaum muslimin.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Imam Al-Jashah dalam Ahkam Al- Qur’an bahwa amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan persatuan dan kesatuan yang solid, kekuatan dan imarah (kepemimpinan). Sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar…” (At-Taubah : 71)
Begitu pula Al-Jihad, harus dilaksanakan dengan persatuan, persaudaraan, dan kekuatan penuh. Hingga terwujudnya kejayaan Islam di muka bumi dengan izin Allah. Tanpa itu semua, kebangkitan umat Islam adalah hal yang mustahil.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَأَنْ تُنَاصِحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ
“Sesungguhnya Allah ridha untuk kalian tiga perkara dan membenci atas kalian tiga perkara. Allah ridha untuk kalian; jika kalian beribadah kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, kalian semua berpegang teguh dengan tali Allah dan tidak berpecah belah, dan kalian menasehati orang yang oleh Allah diangkat sebagai pemimpin kalian.” (HR. Muslim no. 1715, Malik dalam Al-Muwatha’ no. 1796 dan Ahmad no. 8799)
Persatuan dan kesatuan haruslah diutamakan daripada ego dan kepentingan pribadi. Seperti yang dicontohkan sahabat Khalid bin Walid saat dicopot jabatannya oleh khalifah Umar bin Khattab, lalu diganti dengan Abu Ubaidah bin Jarrah dalam perangan Yarmuk. Untuk mempertahankan persatuan mujahidin saat itu, Khalid dengan lapang dada menerima keputusan khalifah tersebut dan berkata lantang, “Saya berjuang untuk kejayaan Islam. Bukan karena Umar!”
Inilah sebuah contoh nyata akan persatuan yang membuahkan kejayaan. Teladan yang baik bagi kita untuk mengedepankan rasa persaudaraan daripada ego pribadi. Tentu persaudaraan yang dimaksud adalah persatuan dalam aqidah shahihah dalam Islam.
Berbeda dengan slogan persatuan yang didengungkan kaum Syiah. Mereka seringkali menyuarakan persatuan dan taqrib antara Sunni dan Syiah. Perkara ini amat mustahil, karena keduanya terbentang jurang perbedaan yang sangat dalam. Isu persatuan dan taqrib adalah sebuah agenda politik Syiah yang dimainkan ketika mereka dalam keadaan minoritas. Ketika mereka mayoritas, maka penindasan kaum Sunni yang terjadi. Hal ini sudah menjadi rahasia umum jika kita menilik ke negara Syiah Iran, tempat di mana orang-orang Sunni terasing di negeri mereka sendiri.
Begitulah yang dimaksud dengan persatuan dan kesatuan Islam. Bersatu padu dalam satu barisan yang sama, berlandaskan aqidah yang benar guna memperjuangkan kejayaan Islam. Bersatu dalam satu umat untuk bekerja secara bersama dalam melaksanakan amal Islami. Jika persatuan Islam dalam satu barisan ini dapat diwujudkan, dengan izin Allah fajar kemenangan Islam akan segera terbit. (kiblatnet/adj)