Piagam Jakarta dan Makna Sila Pertama
Piagam Jakarta dan Makna Sila Pertama
Oleh: M. Fuad Nasar – Peminat sejarah, Wakil Sekretaris Baznas.
Mustanir.com – Prof. Mr. Kasman Singodimedjo, tokoh Islam dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam ceramah Ramadhan tanggal 17 Agustus 1979 di Masjid Arief Rahman Hakim Universitas Indonesia – Salemba, Jakarta, menyatakan, “Kemerdekaan RI dicetuskan tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. Apa yang tersedia pada tanggal 17 Agustus 1945 itu? Yang tersedia adalah Rancangan UUD dan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), karena piagam sudah dibuat pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan.”
Mengenai Piagam Jakarta, salah satu tokoh pendiri negara Republik Indonesia dan Pahlawan Nasional Mahaputra Prof. Dr. Mr. H. Muhammad Yamin menegaskan dalam bukunya Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, “Piagam Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fascisme, serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San Franscisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi RI. Piagam Jakarta itulah yang menjadi Mukaddimah (preambule) Konstitusi RI serta Undang-Undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi-politik yang ditentukan di dalam piagam persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula kalimat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus 1945 itu. Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi.”
Susunan rumus dasar Pancasila pertama kali dituangkan di dalam naskah Piagam Jakarta yang merupakan konsensus nasional tentang dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara mengalami proses panjang melalui serangkaian diskusi dan perdebatan serta melibatkan banyak orang, terutama yang menonjol waktu itu golongan nasionalis dan Islam. Pancasila menjadi falsafah bangsa lahir dari perbedaan pendapat dan keterbukaan sesama pemimpin bangsa wakil-wakil rakyat Indonesia yang duduk di dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Seperti diketahui proses awal Pancasila ialah pidato yang diucapkan Bung Karno di depan sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Bung Karno mengajukan lima prinsip sebagai dasar negara Indonesia, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan sosial, danKetuhanan. Semula Bung Karno menyebut lima prinsip itu “Panca Dharma”, dan menurutnya atas saran seorang ahli bahasa (konon adalah Mr. Muhammad Yamin) dianggap lebih tepat dengan istilah “Pancasila”.
Apabila dicermati rumusan Pancasila dalam pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 tidak sama dengan rumusan Pancasila yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 dan berlaku sampai sekarang. Dalam pidatonya Bung Karno menawarkan kemungkinan Pancasila diperas menjadi “Trisila” yang masih dapat diperas lagi menjadi “Ekasila”, yaitu gotong royong.
Sebelum Bung Karno menyampaikan pidato tentang dasar negara, sidang BPUPKI tanggal 29 Mei dan 31 Mei 1945 telah mendengarkan pidato dari para anggota BPUPKI lainnya, seperti Mr. Muhammad Yamin dan pidato yang bernas dari Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus mengemukakan agar negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam, di atas petunjuk-petunjuk Al Quran dan Hadits, agar menjadi negara yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah itu mengingatkan bahwa sudah enam abad Islam menjadi agama kebangsaan Indonesia dan tiga abad sebelum Belanda menjajah disini, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia. Pada tanggal 31 Mei 1945 sidang BPUPKI juga telah menyimak pidato tentang rancangan dasar negara dari Mr. Soepomo. Dalam pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, sepuluh kali mengutip pidato Ki Bagus Hadikusumo yang diucapkan sebelumnya di muka sidang BPUPKI 31 Mei 1945.
Sidang BPUPKI membentuk Panitia Kecil atau Panitia Sembilan untuk mendapatkan satu modus, satu persetujuan, antara golongan Islam dan golongan kebangsaan di dalam satu rancangan pembukaan hukum dasar negara. Di dalam rancangan pembukaan (preambule) Undang-Undang Dasar yang disusun oleh Panitia Sembilan, rumusan “Pancasila” yang diperkenalkan oleh Bung Karno disempurnakan baik susunan maupun urutannya.
Perubahan rumusan Pancasila yang sangat prinsipil ialah prinsip “Ketuhanan” yang oleh Bung Karno ditempatkan sebagai urutan kelima, dalam rumusan Panitia Sembilan dijadikan prinsip yang pertama. Mengutip penjelasan Bung Hatta; Panitia Sembilan mengubah urutan fundamen Pancasila itu, meletakkan fundamen moral di atas, fundamen politik di bawahnya. Dengan meletakkan dasar moral di atas, negara dan pemerintahannya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sidang BPUPKI tanggal 22 Juni 1945 menerima rumusan Panitia Sembilan sebagai rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang atas usul Mr. Muhammad Yamin dinamakan “Piagam Jakarta”. Rumusan dasar negara yang dicantumkan di dalam dokumen Piagam Jakarta tidak menggunakan kata-kata Pancasila. Susunan dan urutan Pancasila dalam Piagam Jakarta adalah sebagai berikut: Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, danKeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Proses terbentuknya rumusan Pancasila menjadi tema pembahasan Prawoto Mangkusasmito dalam bukuPertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi. Berikut penjelasan Prawoto yang pernah menjabat Wakil Perdana Menteri RI dan Ketua Umum (Terakhir) Partai Masyumi : “Pancasila sebagai dasar negara untuk pertama kali mendapatkan rumusnya yang lengkap pada tanggal 22 Juni 1945 dalam satu dokumen yang disusun dan ditandatangani oleh sebuah panitia terdiri dari 9 orang anggota Badan Penyelidik, yaitu Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Panitia kecil dibentuk oleh rapat yang dihadiri 38 anggota Badan Penyelidik yang ada di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 itu dan rapat tersebut dipimpin Ir. Sukarno. Rumusan Pancasila yang pertama itu kemudian terkenal dengan nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.”
Tulisan Prawoto Mangkusasmito mengungkap kedudukan Piagam Jakarta sebagai dokumen historis dan dokumen politik yang memuat ‘gentlemen’s agreement’ (menurut istilah Dr. Soekiman Wirjosandjojo) atau istilah Bung Karno “persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan” tentang dasar negara Republik Indonesia. Dr. H. Anwar Harjono, SH mengatakan, “Jiwanya Pancasila dan UUD 45 ada pada Piagam Jakarta, bukan dari yang lain.”
Seperti diutarakan di atas, Piagam Jakarta merupakan rumusan kompromistis antara golongan Islam (nasionalis islami) yang menginginkan negara Indonesia dibangun di atas dasar-dasar ajaran Islam dan golongan kebangsaan (nasionalis sekuler) yang menginginkan negara nasional dengan pemisahan secara mutlak agama dari kehidupan bernegara. Piagam Jakarta dapat disebut sebagai “jantung” cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dan dokumen kesepakatan tertinggi mengenai dasar negara Republik Indonesia.
Menurut sejarah yang disampaikan Bung Hatta, sore hari 17 Agustus 1945 beliau menerima tamu seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang menyampaikan suatu hal yang amat penting bagi Indonesia. Opsir itu, Bung Hatta sendiri lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan terhadap bagian dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi: “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Jika bagian kalimat itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.
Dalam buku Sekitar Proklamasi, terdapat penjelasan Bung Hatta bahwa ia tidak menerima begitu saja keberatan dimaksud, “Saya katakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menanda-tanganinya.” tulis Bung Hatta.
Singkat cerita Bung Hatta akhirnya menerima keberatan dimaksud dan berjanji akan menyampaikan kepada sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, esok harinya. Pagi hari tanggal 18 Agustus 1945 menjelang dimulainya sidang PPKI dengan agenda pengesahan Undang-Undang Dasar, Bung Hatta melobi tiga orang anggota PPKI yang mewakili golongan Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan. Dalam keterangan Prawoto, K.H.A.Wahid Hasjim tidak hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945 karena sedang perjalanan ke Jawa Timur.
Wakil Presiden Pertama RI itu meminta para tokoh Islam tersebut berkenan menghapus tujuh kata dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo, pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya eksponen perjuangan Islam yang paling senior pada waktu itu semula keberatan. mengingat rumusan kalimat mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya merupakan hasil musyawarah-mufakat dalam sidang BPUPKI 22 Juni 1945. Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar menerima saran Bung Hatta. Keputusan terakhir ada pada Ki Bagus Hadikusumo.
Kesediaan Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata menyangkut syariat Islam menjadi “kunci” pengesahan Pembukaan UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip dasar negara Pancasila. Bung Hatta yang bertanggungjawab atas dihapusnya “tujuh kata” pada Piagam Jakarta agar Indonesia tidak pecah sebagai bangsa menggaris-bawahi: “Pada waktu itu kami dapat menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan ‘Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.”
Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo mengemukakan, “Perubahan tujuh kata rumus “Ke-Tuhanan” itu amat penting, karena “Yang Maha Esa” menentukan arti dari Ketuhanan. Pancasila yang kini secara geruisloos menjadi filsafat negara kita itu, tidak mengenal Ke-Tuhanan sembarang ketuhanan. Sekali lagi bukan ketuhanan sembarang ketuhanan, tetapi yang dikenal oleh Pancasila ialah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah.”
Prawoto Mangkusasmito beberapa tahun setelah itu menanyakan kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu “tauhid”. Hal yang sama ditanyakan pula kepada Mr. Teuku M. Hasan, saksi sejarah yang hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945, tokoh asal Aceh itu tidak membantahnya.
Umat Islam – kata Mohammad Natsir, Pahlawan Nasional dan Perdana Menteri RI tahun 1950-1951 – sejak awal kemerdekaan sadar bahwa kita hidup dalam masyarakat yang majemuk (pluralistik) dan umat Islam Indonesia tidak pernah menohok teman seiring. Dalam kaitan itu, Alamsjah Ratu Perwiranegara semasa menjabat Menteri Agama menegaskan: “Pancasila adalah pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.”
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali Kepada UUD 1945 menyatakan: “bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Akan tetapi realita sejarah menunjukkan, selama beberapa dekade yang lampau Piagam Jakarta diselimuti “kabut apriori” dan pandangan subyektif rezim yang sedang berkuasa. Di masa itu membicarakan Piagam Jakarta seolah mengandung konotasi politik tidak setia kepada Pancasila. Setiap upaya memperjuangkan peraturan perundang-undangan yang menyangkut kepentingan umat Islam disalahpahami sebagai langkah terselubung menghidupkan Piagam Jakarta. Persepsi dan praduga yang tidak tepat perlu diluruskan demi kebenaran sejarah bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Saya kira tepat sekali pandangan yang disampaikan tokoh Islam dan mantan Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri dalam Kata Pengantar buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari, sebagai berikut: “Piagam Jakarta tidak kehilangan fungsinya maupun peranannya sebagai alat pemersatu seluruh bangsa Indonesia seperti yang pernah diucapkan oleh Presiden Soekarno dalam rapat peringatan lahirnya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1965 di Istora Jakarta. Dan, 9 tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta itu sendiri pun merupakan perekat persatuan bangsa Indonesia.”
Sumber Pustaka:
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1981.
Fatwa, A.M., Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa. Jakarta: The Fatwa Center, 2010.
Hakiem, Lukman, editor, Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia; Pemikiran dan Kiprah Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan KH Abdul Kahar Mudzakkir. Jakarta: PP Muhammadiyah, 2013.
Hakiem, Lukman, “Dasar Negara Pancasila Dari 29 Mei 1945 Hingga 22 Juli 1959”, lampiran dalam buku A. M. Fatwa, Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa. Jakarta: The Fatwa Center, 2010.
Hatta, Mohammad, “Menuju Negara Hukum”, pidato pada penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia tanggal 30 Agustus 1975, di dalam buku Mohammad Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.
Hatta, Mohammad, Pengertian Pancasila. Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.
Hatta, Mohammad, Sekitar Proklamasi. Djakarta: Tintamas, 1970.
Mangkusasmito, Prawoto, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman, Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun. Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Sekretariat Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jakarta: 1995.
Yamin, Muhammad, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Djakarta: Djambatan, 1952.