Rasionalitas Hukum Syariah
Rasionalitas Hukum Syariah
Oleh : Choirul Anam
(Renungan agak panjang sambil menunggu kereta. Jika berkenan membaca mohon diluangkan waktu sampai selesai agar tidak salah paham. Pembacaan sekilas sangat tidak direkomendasikan)
Orang sering mengira bahwa hukum syariah merupakan hukum yang tidak rasional, karena menyerahkan segala urusan publik kepada seuatu yang dianggap misterius dan tidak terverifikasi. Seakan manusia tidak mau berupaya serius, tidak mau berikhtiyar, meninggalkan daya kritis, dan nalar sehatnya, lalu menyerahkan dan meminta agar Tuhan ikut campur dalam menyelesaikan masalah-masalahpublik. Bahkan ada yang mengatakan bahwa maraknya seruan penegakan syariah akhir-akhir ini, dipandang sebagai keputus-asaan dan kegagalan umat Islam dalam menjalani kompetisi hidup yang semakin sengit dengan umat-umat lain. Mandulnya umat Islam dalam perpolitikan global dan lokal, terpuruknya ekonomi di semua lini, dan rendahnya penguasaan sains dan teknologi, bahkan berujung pada dibantainya dan disudutkannya umat Islam di berbagai negara, dianggap sebagai bukti bahwa umat Islam sedang berada dalam kekalahan dan keputus-asaan akut. Ketidak-berdayaan mereka kemudian bukan diselesaikan dengan usaha yang sistematis dan ikhtiyar yang serius, tetapi diselesaikan dengan mengadu kepada hal gaib, dengan harapan masalah dapat diselesaikan persis seperti kehadiran jin pada cerita aladin, sementara mereka tidak berbuat apa-apa kecuali hanya bersila dengan mulut berkomat-kamit dan melantangkan kesetiaan pada tangan gaib tersebut. Sehingga, dikatakan, sikap umat Islam ini merupakan sikap kekanak-kanakan, persis seperti sikap anak cengeng, yang tak bisa menyelesaikan masalah, lalu mengadu kepada orang tuanya untuk ikut campur menyelesaikan permasalahan hidupnya.
Masih menurut mereka, masalah itu harus diselesaikan secara logis dan sesuai mekanisme alam, bukan mengadukannya ke tangan gaib, yaitu dengan mengumandangkan mantra-mantra syariah. Pemecahan masalah secara rasional bahkan dianggap sebagai kedewasaan berpikir dan ciri manusia modern, sebaliknya mengadukan masalah kepada tangan-tangan misterius yang tak terjangkau merupakan ciri masyarakat kuno dan terbelakang, yang malas berfikir, malas bekerja keras, dan tak berani menyelesaikan masalah dengan menatap masalah secara gentleman.
Terdapat beberapa pertanyaan menarik untuk diajukan di sini: benarkah syariah itu bukan sistem hukum yang rasional? Benarkah mengajukan syariah sebagai solusi adalah bukti kemalasan berpikir dan ketidak-mauan beriktiyar? Benarkah memperjuangkan syariah merupakan sikap kekanak-kanankan yang mengadukan masalah riil ke sesuatu yang dianggap misterius, serta karena keputus-asaan dan kekalahan bersaing?
Tulisan lumayan singkat ini akan membahas hal-hal krusial tersebut.
*****
Benarkah syariah Islam itu sistem hukum yang rasional?
Hukum syariah menurut definisinya adalah: khitabus syaari’ al muta’alliqu bi af’alil-ibad (seruan pembuat aturan –Allah dan Rasul-Nya– yang dipahami oleh manusia).
Dengan mencermati definisi hukum syariah tersebut, maka ada dua hal penting yang harus dipahami secara utuh: Pertama, tentang sumber hukum atau pembuat aturan, dan kedua tentang pemahaman manusia dan prosesnya.
Berbicara tentang hukum apapun, pasti bicara tentang sumber hukum dan proses memahami atau menggali hukum dari sumber hukumnya.
Tentang sumber hukum, tentu sumber-nya bermacam-macam. Dalam demokrasi sumbernya adalah manusia dan dalam syariah Islam sumbernya adalah wahyu pencipta alam. Pertanyaannya adalah mana yang lebih rasional?
Pembahasan secara rasional tentang: apakah manusia sebagai yang tertinggi ataukah pencipta alam sebagai yang paling tinggi sebagai sumber hukum, merupakan pembahasan tentang akidah yang membutuhkan pembahasan secara khusus dan butuh pembahasan yang sangat mendalam. Saya tidak membahasanya di sini. Insya Allah, saya akan membahasanya pada lain waktu.
Sekarang, diasumsikan pembahasan tentang akidah sudah selesai, yaitu bahwa menurut keyakinan demokrasi manusia adalah sesuatu tertinggi dan yang paling layak sebagai sumber hukum; sementara menurut keyakinan Islam, Tuhan pencipta alam adalah sesuatu tertinggi dan yang paling layak sebagai sumber hukum. OK, ini tidak kita bahas sekarang. Asumsikan saja, keduanya sama benarnya.
Berikutnya, jika Tuhan (Allah swt) dianggap sebagai sumber hukum oleh Islam dan manusia dianggap sebagai sumber hukum oleh demokrasi: mana wujud riilnya?
Maka Islam dengan sangat gambalng menjawab, bahwa sumber hukum pokok untuk hukum syariah adalah firman Allah termaktub di dalam al-qur’an. Sangat jelas dan terverifikasi. Al-qur’an adalah kitab yang jelas wujudnya. Surat-suratnya jelas. Ayat-ayatnya juga jelas. Orang yang beriman maupun yang ingkar dapat memegangnya. Sama sekali bukan ilusi, apalagi khayalan yang diada-adakan. Memang, banyak yang meragukan kebenaran al-qur’an. Itu masalah lain. Namun, dalam hal ini al-qur’an menjawab dengan sangat obyektif dan sangat fair, jika memang manusia meragukan al-qur’an, maka manusia diminta membuat yang semisal dengannya. Bahkan tidak usah semisal, tetapi cukup membuat satu surat saja yang isinya hanya tiga ayat. Tantangan ini bukan ditujukan kepada satu orang, tetapi seluruh manusia dan jin diminta berkolaborasi untuk membuat satu surat saja yang semisal. Ini tantangan yang ilmiah, obyektif, dan sangat fair.
Memang kita tidak harus percaya dengan al-qur’an, bahkan kita bisa aja mengolok-olok al-qur’an. Namun, harus digaris-bawahibahwa ketidak-percayaan kita dan olok-olok kita kepada al-qur’an, sama sekali bukan jawaban ilmiah atas tantangan al-qur’an. Al-qur’an hanya terbukti salah, jika ada yang mampu menjawab tantangannya. Selama tantangan al-qu’an tidak mampu dijawab, setinggi apapun ejekan kita atau sehebat apapus klaim prestasi kita, maka klaim al-qur’an bahwa ia adalah kalamullah tidak terpatahkan secara ilmiah dan rasional. Ini persis seperti klaim Einstein dalam teori relativitas, semua orang boleh menertawakan dan tak percaya, tetapi selama kita tak mampu membuktikan bahwa teorinya adalah salah, maka ketidak-percayaan kita dan penertawaan kita sama sekali tak ada nilainya secara ilmiah. Jadi singkatnya, al-quran sebagai sumber hukum itu jelas dan terverifikasi secara ilmiah. Ketidak-percayaan orang-orang sama sekali tidak menggugurkan pernyataan tersebut.
Sekarang, tentang demokrasi yang menyatakan manusia sebagai sumber hukum, kita uji secara ilmiah. Pertama kali tetap kita asumsikan bahwa manusia sebagai sumber hukum. Lalu, pertanyaannya, manusia yang mana yang jadi sumber hukum? Apakah ada satu KITAB (BUKU) yang ditulis oleh semua manusia yang menggambarkan kehendak manusia? Secara obyektif, jawaban pertanyaan ini, sangat mudah. Sebab, ternyata manusia itu banyak, tidak hanya satu, dan di dunia ini, tidak ada SATU BUKU yang ditulis oleh semua manusia. Di perpustakaan mana pun di dunia ini, kita tak akan menjumpainya.
Lalu, kegagalan membuktikan bahwa semua manusia sebagai sumber hukum, lalu dialihkan (ditransformasi) bahwa yang menjadi sumber hukum adalah mayoritas manusia. Jawaban ini tampaknya melegakan kita, tetapi ini sebetulnya tambah memusingkan kita. Jika sumber hukum adalah suara mayoritas manusia, berarti ada suara manusia lain yang harus dibuang dan tidak diakui. Berapa mayoritas itu? Secara matematis dijawab mayoritas adalah 50+1%. Berarti ada manusia lain (hingga sampai sekitar 49%) yang suaranya dinafikan. Padahal mereka sama-sama manusia. Dari sini secara alami, ada manusia yang dipertuhankan karena dianggap sebagai sumber hukum, tetapi ada manusia lain yang dianggap lawan tuhan, yang suaranya bertentangan dengan sumber hukum. Dengan demikian, tirnani mayoritas akan benar-benar ada secara konseptual pada sistem demokrasi ini.
Itu sama sekali kita tidak bicara tentang bagaimana membuktikan bahwa yang mayoritas itu benar? Bagaimana memverifikasinya? Apa alat ukurnya yang logis?
Ada yang menjawab: tidak usah terlalu filosofis, yang penting praktiknya. Tetapi, sebenarnya jawaban ini menggambarkan dengan SANGAT GAMBLANG bahwa secara KONSEPTUAL, demokrasi itu problematik dan dibangun di atas premis-premis yang tak logis. Bagaimana bisa dijawab “jangan terlalu filosofis”, padahal pertanyaan yang diajukan adalah tentang hal yang filosofis.
Bila kita bicara praktik, justru lebih parah lagi. Demokrasi dengan slogan: “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, praktik riilnya justru “dari pengusaha, oleh pengusaha dan untuk pengusaha”. Ada yang mengatakan itu penyimpangan demokrasi, lalu pertanyaannya: mana contoh demokrasi yang tidak menyimpang, yang katanya: “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”?
Jadi, jawaban tentang sumber hukum, syariah jauh lebih dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah dan logis, dibanding denan demokrasi dengan paradigma dasar manusia sebagai sumber hukum.
*****
Setelah bicara tentang sumber hukum, berikutnya kita akan beralih ke pembahasan penggalian hukum. Jadi, pembahasa kedua adalah tentang proses penggalian hukum sehingga hukum itu dapat dipahami dan diterapkan dalam realitas kehidupan.
Pengakuan umat Islam bahwa al-qur’an adalah sumber hukum (ditambah dengan sumber hukum lain yang ditunjukkan oleh al-qur’an seperti hadits, ijma shahabat dan qiyas syar’i) tidak lantas selesai dan hukum langsung diperoleh. Sekali lagi, ini baru bicara sumber hukum. Ibaratnya kita baru bicara tentang bahan makanan, belum bicara tentang proses memasaknya sehingga dapat dimakan.
Memang harus diakui bahwa ada sumber makanan yang dapat langsung dimakan tanpa proses memasak, tetapi sebagian besar makanan yang dimakan manusia adalah makanan yang sudah mengalami proses dimasak. Kacang adalah sumber makanan yang dapat langsung dimakan. Jika dimasak dan digabung dengan sumber lain, maka ada makanan baru yang bernama pecel, sayur, dan lain-lain. Sama dengan hukum Islam. Ada masalah yang jawaban hukumnya dapat diambil SECARA LANGSUNG dari al-qur’an, namun sebagian besar masalah jawaban hukum syariah Islam harus digali dari sumber hukum (al-qu’ran dan yang ditunjukkan olehnya).
Proses penggaliannya harus dilakukan dengan metode-metode yang jelas, yaitu metode TERSTRUKTUR dan TERTELUSUR. Prosesnya bukan dengan bim salabim, tetapi dengan proses yang sangat logis. Proses bukan semau gue. Proses bukan turun dari langit bersama turunnya hujan. Proses itu dinamakan proses ijtihad. Metode-metodenya terkodifikasi pada ilmu yang dinamakan ushul fiqih. Orang yang memahami hukum tidak boleh dengan teori POKOKNYA, tetapi harus proses penggalian yang terstruktur dan tertelusur.
Siapa saja yang ingin mengkaji bagaimana proses penggalian hukum, dapat mengkaji kitab-kitab ushul fiqih. Di sana dijelaskan dengan sangat gamblang bahwa ada ratusan ribu kaidah yang sangat TERSTRUKTUR DAN TERTELUSUR. Misalnya, ketika Allah memerintah manusia “makanlah”, bagaimana hukum syariah tentang “makan”, maka PERINTAH UNTUK makan tadi dapat bermakna “harus dilakukan (wajib)”, “sebaiknya dilakukan (sunnah)”, “terserah (mubah)”, “sebaiknya tidak dilakukan (makruh)”, dan “tidak boleh dilakukan (haram)”. Untuk memahami “teks” itu kita harus mengkaji semua indikasi dan korelasi yang terkait, lalu diambil keputusan hukum.
Jadi, mengatakan kembali ke hukum syariah, berarti meninggalkan proses berfikir kritis, MERUPAKAN PERNYATAAN ORANG YANG SAMA SEKALI TIDAK KRITIS. Pernyataan tersebut, sama sekali tidak merujuk pada fakta syariah Islam itu sendiri, tetapi hanya klaim tanpa bukti.
Mungkin banyak yang mengatakan bahwa syariah Islam itu tak logis, lalu dicontohkan yang paling mudah seperti haramnya babi. Lalu ditanyakan, mana logika tentang haramnya babi?
Pernyataan dan pertanyaan ini, sebetulnya pernyataan orang yang sangat tidak memahami duduk masalah yang terjadi, sehingga tidak ilmiah, sekaligus pertanyaan yang tidak logis dan tidak pada tempatnya. Sebab pertanyaan ini, mencampur antara sumber (bahan) dan proses. Sekedar contoh, seorang juru masak yang handal, jika ditanya mengapa makanan itu pedas? Tentu dia akan dengan mudah menjawab secara logis dan ilmiah bahwa makanan itu pedas karena dicampur cabai (atau sambal). Jika penanya tidak puas, lalu mengejar dengan pertanyaan: mengapa cabai pedas? Maka ini adalah pertanyaan tidak ilmiah yang ditujukan ke juru masak (atau koki). Pertanyaan ini sangat tidak layak ditujukan ke koki, sebab sudah mempertanyakan sumber, bukan proses pembuatan makanan. “Pertanyaan tersebut bukan pertanyaan untuk koki, tetapi pertanyaan tentang fakta lain yang perlu dijawab diforum lain”.
Babi haram atau tidak boleh dimakan, karena di dalam al-qur’an mengatakan “hurrimat” dan “al-khinzir”. Kata “hurrimat” setelah dikaji artinya adalah diharamkan, artinya tidak boleh dimakan. Sementara “al-khinzir” setelah dikaji menunjukkan fakta yaitu suatu hewan yang bernama babi. Inilah alasan logis proses memahami bahwa babi adalah haram. Jika ditanyakan lagi, apa alsan logis mengapa haram? Jawabnya: jangan tanya koki. Pertanyaan tersebut bukan pertanyaan tentang hukum syariah, tetapi pertanyaan tentang akidah. Jadi perlu forum lain untuk mambahas hal itu, yaitu pada forum akidah. Inilah jawaban yang logis.
Sebagai hasil proses, memang bisa jadi ada perbedaan hasil pemahaman. Mungkin ada yang mengatakan bahwa hukum sesuatu adalah “sunnah”, tetapi yang lain mengatakan bahwa hukum sesuatu itu “wajib”. Ada yag mengatakan berarti sama saja dengan demokrasi yang mengakui perbedaan. Jawabnya, sangat berbeda. Syariah itu berbeda pada proses dan hasil, bukan berbeda pada konsep filosofis. Sementara dalam demokrasi, perbedaan mulai dari hal yang fundamental, yaitu tentang sumber hukum.
Lalu bagaimana mengimplementasikan hukum yang berbeda dalam kehidupan? Apakah semua harus diseragamkan? Apakah semua harus dipaksakan?
Jika ada yang menjawab bahwa hukum syariah harus seragam, maka itu merupakan jawaban dari orang yang sama sekai tak paham hukum syariah.
Dipahami oleh umat Islam, bahwa jika perbedaan itu terjadi pada wilayah privat, maka hukum syariah itu berlaku bagi masing-masing individu. Bagi yang memahami memanjangkan jenggot adalah “wajib”, maka wajib baginya memanjangkan jenggot dan haram hukumnya memotonya. Bagi yang memahami bahwa memanjangkan jenggot adalah “sunnah”, maka baik baginya memanjangkan jenggot, tetapi tidak mengapa jika meotongnya. Tidak boleh ada pemaksaan dan penyeragaman dalam kasus seperti ini.
Sementara, jika perbedaan dalam wilayah publik, sementara di tengah-tengah publik ada orang yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan atas perbedaan, maka keputusan orang tersebutlah yang jadi hukum syariah bagi publik. Orang inilah yang disebut sebagai imam atau Khalifah. Kaidah yang sangat masyhur di tengah-tengah umat Islam, “amrul imam yarfa’ul khilaf (keputusan Imam dapat menghilangkan perbedaan)”. Dari mana kaidah ini, kaidah ini digali atau dimasak dari keputusan para sahabat Nabi, yang oleh al-qur’an dinyatakan memiliki otoritas hukum.
Apakah Imam boleh seenaknya dalam mengambil keputusan? Tentu saja tidak boleh. Imam ketika memutuskan harus bersumber pada sumber hukum yang dibenarkan, dan memproses hukum tersebut dengan metode yang terstruktur dan tertelusur. Jika keputusan tersebut dianggap keliru, maka sangat terbuka peluang untuk kritik atau meluruskan keputusan tersebut.
Singkatnya, hukum syariah itu bukan sesuatu yang tiba-tiba ada. Hukum syariah bukan berdasar sesuatu yang misterius apalagi berbau klenik. Tetapi sumber hukum syariah itu sesuatu yang sangat terverifikasi, mulai dari sumbernya, prosesnya, hingga produk hukumnya. Jika ada buku-buku dan kitab-kitab dari para ulama yang berisi himpunan hukum, tanpa menyebutkan proses penggaliannya, itu juga sama sekali tidak menunjukkan bahwa hukum itu datang dengan tiba-tiba. Sebab, buku atau kitab hukum apapun, memang gaya penulisannya bisa berbeda-beda. Ada yang disertai proses penggaliannya, dan ada yang tidak menyertakan prosesnya.
Jadi, sekali lagi, menyatakan hukum syariah sebagai upaya kemalasan berfikir, merupakan KEMALASAN BEFIKIR ITU SENDIRI. Menuduh orang lain tidak mandi, hanya karena dia tidak mandi, merupakan tuduhan keji yang sangat dijauhi oleh orang-orang yang berfikir kritis dan obyektif.
*****
Di atas tadi adalah pembahasan tentang pertanyaan: benarkah syariah itu bukan sistem hukum yang rasional?
Sekarang kita akan membahas pertanyaan kedua: Benarkah mengajukan syariah sebagai solusi adalah bukti kemalasan berpikir dan ketidak-mauan berikhtiyar?
Secara jujur harus dikatakan bahwa jawaban atas pertanyaan tersebut mungkin iya, mungkin juga tidak.
Memang, ada orang yang mengajukan syariah sebagai solusi hanya karena kemalasan berfikir. Mereka tidak tahu duduk masalah yang sebenarnya, kemudian hanya mengikuti trend dan orang-orang di sekitarnya yang menyuarakan syariah. Begitu syariah tidak laku, maka dia pun meninggalkan perjuangan syariah, layaknya barang dagangan. Namun, tidak semua orang begitu.
Tidak dipungkiri, banyak sekali orang yang mengajukan syariah, setelah mengkaji fakta syariah dan fakta berbagai problem-problem real, dan fakta atas solusi-solusi empirik yang ada. Dari kajian yang mendalam tersebut, akhirnya mereka menemukan bahwa solusi mendasar atas problem kemanusiaan adalah syariah.
Meraka sama sekali bukan malas berfikir, tetapi kesimpulan tersebut adalah capaian ujung dari proses berfikirnya yang menembus berbagai aliran-aliran dan madzhab-madzahab pemikiran. Meraka sama sekali bukan tak mau berikhtiyar, tetapi syariah adalah kesimpulan dari ikhtiyar akhir dalam memahami hakikat masalah dan solusinya.
Saat, ada orang mengalami keracunan saat makan pecel, misalnya, maka penyebab dan solusinya bisa sangat beragam. Jika yang salah adalah proses memasaknya, maka solusinya adalah memperbaiki proses memasaknya. Lalu perlu dilakukan upaya serius dan sungguh-sungguhagar proses memasaknya dapat dilakukan dengan benar. Tapi jika yang jadi masalah adalah kacangnya (sumbernya) yang beracun, maka metode masak yang paling canggih sekalipun akan tetap mengakibatkan keracunan. Maka dalam hal ini, solusi yang sesungghnya bukan menawarkan cara memasaknya yang baik, tetapi mempermasalahkan sumber yang ada, kemudian mencari sumber kacang lain yang terbukti baik. Kita katakan bahwa selama sumber kacangnya beracun, maka dimasak dengan cara apapun akan menyebabkan keracunan.
Ini bukan kesimpulan orang yang malas berfikir, atau malas berikhtiyar. Sebaliknya, ini adalah kesimpulan dari orang yang benar-benar mau berfikir secara mendalam dan beriktiyar sescara penuh. Mereka berani menghadapi kemungkinan apapun sumber masalah, baik masalah itu adalah masalah mendasar atau masalah artifisial. Orang yang malas berfikir, sejak awal justru membatasi masalah hanya dengan masalah artifisial, karena disadari masalah artifisial jauh lebih mudah diselesaikan dibanding masalah fundamental.
Orang yang menyuarakan bahwa solusi atas kehidupan umat Islam dan umat manusia adalah syariah, sama sekali bukan didasarkan atas kemalasan berfikir atau kemalasan beriktiyar. Justru karena mereka sadar sesadar-sadarnya, setelah berfikir dan berfikir, merenung dan merenung, berikhtiyar dan berikhtiyar.
*****
Sekarang kita beralih ke petanyaan ketiga: Benarkah memperjuangkan syariah merupakan sikap kekanak-kanankan dan karena keputus-asaan dan kekalahan bersaing?
Jawabnya seperti pertanyaan kedua: bisa iya bisa tidak.
Ingin disampaikan secara jujur di sini, bahwa orang-orang yang menyerukan syariah tidak berfikir bahwa syariah hanya akan membawa kebaikan (katakanlah kemenangan) bagi dirinya atau kelompoknya, tetapi visi perjuangannya adalah untuk umat manusia.
Jika ada anggapan bahwa perjuangan syariah karena didorong ambisi individu atau kelompok atau ambis umat Islam yang berwawasan sempit, maka itu anggapan yang tidak sesuai realitas. Tentu boleh-boleh saja punya anggapan apapun kepada orang lain. Tetapi realitasnya, tidak ada ambisi pribadi, kelompok, atau hanya untuk umat Islam. Wawasan umat Islam yang memperuangkan syariah Islam adalah visi global kemnusia, bukan hanya itu tetapi mengabungkan visi dunia dan akhirat.
Perjuangan penegakan syariah didorong oleh niat tulus dari hati yang paling dalam dan hasi pemikiran jernih, bahwa perjuangannya adalah visi hidupnya sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah. Tidak ada urusan menang atau kalah dari umat dan bangsa lain.
Jika saat ini (saat meninggalkan syariah) umat Islam kalah dengan bangsa lain, itu tidak menjadi visi utamanya bahwa agar tidak kalah, tetapi itu hanya menjadi tambahan fakta bahwa saat umat Islam meninggalkan syariah, mereka jadi bulan-bulanan. Tetapi, perlu kita ingat, bahwa yang jadi bulan-bulanan bukan hanya umat Islam. Tetapi umat-umat dan bangsa-bangsa lan di dunia juga menjadi budak atas manusia dan bangsa lainnya. Kelaparan dan tragedi kemanusia di Afrika misalnya, bukan karena mereka umat Islam, tetapi karena dunia kapitalis memang sama sekali tidak peduli dengan mereka. Bahkan di negera-negara kapitalis, rakyat sendiri yang lemah, juga akan dikorbankan. Kapitalalis dunia hanya peduli satu hal, yaitu dikuasainya kekayaan-kekayaan alam dunia. Mereka hanya mengenal dua istilah: memakan atau dimakan.
Kemudian jika dikatakan bahwa umat Islam yang menyuarakan syariah adalah orang-orang putus-asa, maka tentu tidak dibenarkan oleh realita. Orang yang putus asa tidak akan mau berjuang, apalagi memperjuangkan sesuatu yang berlawanan dengan mainstream.
Justru sebaliknya, mereka yang meninggalkan syariah, karena dianggap tidak laku dan tidak akan diakui dunia, itulah yang putus asa. Mereka berjuang dan bersuara bukan didasari oleh visi besar, tetapi berjuang hanya demi kata “yang lebih mudah”, “lebih diterima”, atau “lebih populis”. Hanya orang-orang putus asa aja yang melakukan hal itu.
Jika dikatakan bahwa perjuangan syariah adalah karena dorongan sifat kekanak-kanakan karena dianggap mengadu kepada yang diyakininya Maha Besar, memang itu salah?
Mengadu itu memang ada kalanya kelakuan kanak-kanan karena ketidak mampuannya menyelesaikan masalah. Tetapi mengadu itu juga adakalanya karena didorong oleh kedalaman dan kejernihan fikirannya, yaitu mengadu ke pihak yang tepat.
Rasulullah sebagai manusia berusaha sekuat tenaga, melakukan yang terbaik yang bisa dia usahakan, melakukan proses yang paling sistematis, lalu hasilnya diadukan kepada Sang Maha Pencipta. Namun tidak berarti mereka cengeng dan berikhtiyar ala kadarnya. Sebaliknya, keyakinan ada Maha Hebat tempat dia mengadu, mendorongnya untuk berikhtiyar terbaik, melkuakn proses yang terencana dan berfikir kritis dengan memanfaatkan semua kemungkinan yang ada, sekecil apapun itu.
Wallahu a’lam.