Siapa Keluarga Istri yang Jadi Mahram Bagi Suaminya?

mahram-2

Siapa Keluarga Istri yang Jadi Mahram Bagi Suaminya?

Ada beberapa sebab yang menjadikan seorang menjadi mahram mu’abbad bagi orang lain. Yakni sebab hubungan darah/nasab atau kekerabatan (Al-Qarabah), hubungan yang terjadi akibat pernikahan (mushaharah), dan hubungan persusuan (radha’ah).

Yang disebut dengan mahram mu’abbad adalah mereka yang haram dinikahi selama-lamanya. Apapun yang terjadi. Sedangkan mereka yang tidak boleh dinikahi dalam keadaan tertentu yang sifatnya temporer itu disebut mahram mu’aqqat.

Kemahraman mu’abbad yang disebabkan oleh terjadinya pernikahan disebut dengan Al-Mushaharah. Ketika sepasang laki-laki dan wanita memasuki pintu pernikahan, ada konsekwensi kemahraman yang terjadi karenanya. Sebagian dari keluarga suami akan menjadi mahram mua’bbad bagi istrinya. Begitupula sebaliknya.

Kemahraman juga terjadi saat salah satu orang tua kita yang sedang menjanda atau menduda menikah lagi. Juga terjadi saat kita menikahkan anak laki-laki dengan seorang wanita.

Dalam surah An-Nisa : 22 disebutkan:

وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu…”

Lalu di ayat berikutnya dalam surah An-Nisa : 23 juga disebutkan:

وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

“……ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu);…”

Dari ayat diatas diketahui bahwa bagi seorang laki-laki, pihak-pihak yang menjadi mahram mu’abbad baginya adalah:

– Istri ayah (ibu tiri),

– Mertua wanita (Ibu Mertua),

– Anak perempuan istri (anak tiri), jika ia sudah pernah berhubungan intim dengan si istri,

– Menantu wanita (Istri dari anak)

1. Istri Ayah (Ibu Tiri)

Maksudnya adalah wanita lain yang dinikahi oleh ayahnya, selain wanita yang menjadi ibu kandungnya, sebagaimana disebut dalam An-Nisa : 22 diatas.

Dalam poin ini masuk juga istri kakek atau istri buyut. Yakni wanita yang dinikahi oleh ayah atau kakek. Baik itu kakek dari jalur ayah (ayahnya ayah) atau dari jalur ibu (kakeknya ibu).

Kemahraman antara seorang laki-laki dengan istri ayahnya (ibu tiri) terjadi semata-mata karena terjadinya akad nikah antara ayahnya dan wanita tersebut. Tanpa disyaratkan terjadinya jima’ diantara keduanya. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah jilid 36, hal 213)

Maka, jika ayahnya menikahi seorang wanita kemudian menceraikan wanita itu sebelum sempat berhubungan intim dengannya, maka ia tetap tidak boleh menikahi wanita itu (mantan ibu tiri) selama-lamanya. Karena wanita yang pernah dinikahi oleh ayahnya (mantan ibu tiri) menjadi mahram mu’abbad baginya.

2. Ibu Mertua ( Orang Tua Istri)

Pihak-pihak yang termasuk dalam poin ini adalah: Ibu dari istri, atau neneknya. Sebagaimana disebut dalam an-Nisa: 23 diatas.

Para ulama fiqih dari empat madzhab besar, yakni Al-Hanafiyyah, As-Syafi’iyyah, Al-Malikiyyah dan Al-Hanabilah bahwa kemahraman antara seorang laki-laki dengan ibu mertuanya bisa terjadi jika ia dan istrinya pernah berhubungan suami istri dengan sah. Artinya mereka pernah berjima’ setelah akad nikah yang sah terjadi. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah jilid 36, hal 213)

Akan tetapi, ulama fiqih diatas berbeda pendapat dalam kasus dimana laki-laki itu menikahi orang wanita dengan akad nikah yang sah, lalu tak lama kemudian menceraikan istrinya, atau istrinya meninggal sebelum mereka pernah melakukan hubungan intim. Apakah dalam hal ini laki-laki itu tetap menjadi mahram mu’abbad bagi ibu mertuanya atau tidak?

Juga mengenai seorang laki-laki yang pernah berzina dengan seorang wanita, apakah zina itu menyebabkan kemahraman antara dirinya dengan ibu dari wanita yang dia zinai?

Dalam hal ini ulama Fiqih berbeda pendapat:

Pertama, Madzhab Al-Hanafiyyah

Ulama fiqih dari madzhab Hanafi mengatakan bahwa jika seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, atau pernah menyentuhnya, atau menciumnya dengan syahwat, atau melihat kemaluannya dengan syahwat, maka semua perbuatan itu akan menjadikannya mahram mu’abbad dengan ibu dan anak perempuan dari wanita yang dizinai itu.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Barang siapa yang melihat kemaluan seorang wanita maka tidak halal baginya (untuk menikahi) ibu wanita itu, juga tidak pula (boleh menikahi) anak perempuan dari wanita tersebut.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Dalam madzhab ini perbuatan zina maupun percumbuan yang mengarah pada zina sudah cukup untuk menjadi syarat terjadinya kemahraman dari jalur mushaharah. Akan tetapi jika dari hasil perzinaan itu lahir anak laki-laki, maka ibu dan anak perempuan dari wanita yang dia zinai tidak lantas menjadi mahram bagi anak laki-laki yang lahir dari hasil perzinaan itu. (Al-Fatawa Al-Hindiyah jilid 1 hal 274-275)

Misalnya A (laki-laki) berzina dengan B (janda punya seorang anak perempuan). Kemudian dari hasil zina itu lahir seorang anak laki-laki bernama C. Maka dalam madzhab Al-Hanafiyyah, sebab terjadinya zina itu si A otomatis menjadi haram untuk menikahi ibu dan anak perempuan dari si B, wanita yang dia zinai itu. Akan tetapi, C tidak berada di posisi sebagaimana ayahnya (A). Karena perbuatan zina yang dilakukan ayahnya tidak lantas menjadikannya mahram bagi ibu dan anak perempuan dari A.

Kedua, Madzhab Al-Hanabilah:

Perbuatan zina dapat menjadikan seorang laki-laki menjadi mahram dengan ibu dari wanita yang dizinainya. Akan tetapi percumbuan yang tidak sampai terjadi zina tidaklah menjadikannya mahram dengan ibu dan anak perempuan dari wanita yang dicumbui tersebut.

Ada satu persamaan antara madzhab Al-Hanafiyyah dan Al-Malikiyyah, yakni watha’ (jima’) itu dapat menjadi sebab terjadinya kemahraman. Baik jima’ itu terjadi di dalam pernikahan yang sah atau diluar pernikahan.

Maka, jika ada seorang laki-laki yang berzina dengan ibu mertuanya (ibu dari istrinya) atau dengan anak perempuan dari istrinya, maka pasca perzinaan itu laki-laki itu menjadi mahram mu’abbad bagi istrinya. Dan oleh sebab itu, wajib baginya untuk memutuskan tali pernikahan dengan istrinya. Jika tidak, maka seorang qadhi atau hakim mahkamah syariah harus memisahkan keduanya. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 6 hal 576-577)

Ketiga, Madzhab Al-Malikiyyah dan As-Syafi’iyyah:

Ulama dari madzhab Al-Malikiyyah dan As-Syafi’iyyah mengatakan bahwa zina tidak menjadikan kemahraman dari sisi manapun. Maka, jikapun ada kasus dimana seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, maka itu tidak lantas menjadikannya mahram dengan ibu atau anak perempuan dari wanita yang dia zinai. Tidak juga terjadi kemahraman antara wanita yang dizinainya itu dengan ayah atau anak laki-laki dari seorang laki-laki yang menzinainya.

Seandainya juga ada seorang laki-laki berzina dengan ibu mertuanya atau dengan anak perempuan dari istrinya (anak tiri), maka perbuatan zina itu tidak menjadikannya mahram mu’abbadah dengan istrinya.

Hal itu berdasar pada hadits dimana Rasulullah SAW ditanya mengenai seorang laki-laki yang berhubungan intim dengan seorang wanita di luar pernikahan (berzina), apakah boleh menikahi anak perempuan dari wanita yang pernah ia zinai itu. Juga bertanya mengenai laki-laki yang menzinai seorang anak perempuan, apakah boleh menikahi ibu dari anak perempuan yang ia zinai itu.

Saat itu Rasulullah menjawab:

“Perbuatan haram (zina) tidak mengharamkan perbuatan yang halal (pernikahan). Sesungguhnya yang bisa menjadikan kemahraman itu adakah perbuatan yang dilakukan dalam pernikahan yang halal”. (HR. At-Thabrani)

Dan sesungguhnya adanya hubungan kemahraman dari jalur mushaharah merupakan nikmat dari Allah, sebab itu dapat mempererat hubungan tali persaudaraan dan kekerabatan antar dua keluarga yang disatukan dalam pernikahan. Sedangkan zina adalah hal yang tidak dibenarkan, maka perbuatan itu tidaklah layak menjadi sebab kemahraman.

Oleh sebab itu, Imam As-Syaf’i pernah menulis dalam argumentasinya yang ditujukan pada Muhammad Bin Hasan:

“Watha’ itu ada dua. Ada watha’ yang menyebabkan seorang wanita itu dimuliakan dan terjaga kehormatannya (jima’ dalam pernikahan yang sah), adapula watha’ yang menyebabkannya dirajam (zina). Salah satunya adalah nikmat dimana Allah menciptakan darinya hubungan nasab & hubungan mushaharah, juga mewajibkan masing-masing untuk menjaga hak pasangannya. Sedangkan watha’ yang satu lagi merupakan musibah. Maka, bagaimanakah keduanya dapat disamakan hukumnya?” (Al-Khatib As-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj, jilid 3 hal 178)

3. Anak Perempuan Istri (Anak Tiri)

Surah An-Nisa ayat 23 diatas menjelaskan secara eksplisit dan jelas bahwa kemahraman antara seorang laki-laki dengan anak perempuan istrinya (anak tiri) akan terjadi dengan satu syarat; yakni setelah pernikahan terjadi hubungan intim antara ia dengan istrinya.

Akan tetapi, jika setelah menikah dengan akad nikah yang sah ternyata mereka belum pernah berhubungan intim, kemudian setelah itu bercerai, maka laki-laki itu boleh menikahi anak perempuan dari mantan istrinya itu. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 36 hal 215)

Misalnya, Ali menikah dengan Zainab, seorang janda yang memiliki anak perempuan (Ruqayyah) dari pernikahan sebelumnya. Jika setelah menikah Ali menggauli Zainab, maka sejak saat itu terjadi kemahraman antara dia dengan Ruqayyah, anak tirinya. Kemahraman yang sifatnya selamanya (mu’abbad). Bahkan, jika suatu saat Zainab diceraikan atau ditinggal mati oleh Ali, kemahraman antara Ruqayyah dan Ali tidak akan berubah. Dan Ali tidak boleh menikahi Ruqayyah sampai kapanpun.

Akan tetapi, jika kasusnya berbeda:

Jika Ali berzina dengan Zainab, kemudian menikah dengan akad nikah yang sah, lalu kemudian keduanya bercerai sebelum terjadi jima’ (berhubungan intim suami-istri) paska pernikahan yang sah itu, apakah Ali tetap menjadi mahram mu’abbad bagi Ruqayyah? Disini para ulama berbeda pendapat sebagaimana yang sudah Penulis jelaskan dalam poin ‘2’ (Ibu Mertua).

4. Menantu Perempuan ( Istri dari Anak)

Pihak yang dimaksud dalam poin ini adalah istri dari anak laki-laki atau istri dari cucu laki-laki. Seorang laki-laki menjadi mahram mu’abbad bagi menantu wanitanya.

Ulama fiqih dari empat madzhab mengatakan bahwa kemahraman ini tidak mensyaratkan terjadinya hubungan suami-istri. Maka, begitu anak lelakinya menjalani akad nikah yang sah dengan seorang wanita, maka dirinya dan istri dari anaknya (menantu) telah menjadi mahram mu’abbad. Bahkan walaupun nanti mereka tak lagi ada dalam ikatan pernikahan, sebab perceraian maupun kematian. (Al-Kasani, Bada’i AS-Sanai’, jilid 2 hal 260 / Ibnul Humam, Fathul Qadir, jilid 3 hal 121 / As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, jilid 3 hal 177)

Misalnya A punya anak lelaki bernama B. Suatu saat B menikah dengan C, maka saat akad nikah yang sah telah terjadi, di saat itu pula terjadi kemahraman mu’abbad antara A dan C. Bahkan walaupun suatu saat nanti B dan C tak lagi menjadi suami-istri. Baik karena adanya perceraian ataupun jika kelak C menjanda karena B meninggal dunia.

Penutup

Empat pihak itulah yang masuk dalam daftar mahram bagi seorang laki-laki ketika terjadi pernikahan. Baik pernikahan itu dilakukan oleh dia sendiri, orang tua, atau bahkan anaknya.

Poin ini tidak menjadikan seorang laki-laki menjadi mahram bagi orangtua dari menantunya (besan). Maka sesama besan boleh menikah satu sama lain. Artinya, jika ibu si istri menjanda, maka ia boleh menikah dengan ayah dari suaminya.

Kemahraman yang sifatnya selamanya (mu’abbad) memiliki beberapa konsekwensi, antara lain:

– Bolehnya saling melihat sebagian aurat.

– Bolehnya bepergian atau safar berdua.

– Bolehnya berkhalwat

Adapun kakak atau adik dari pasangan (ipar) tidaklah masuk dalam kategori mahram mu’abbad atau kemahraman yang bersifat selamanya. Saudara ipar hanya menjadi mahram mu’aqqat atau mahram yang sifatnya sementara atau temporer.

Mengapa disebut sementara? Sebab, selama seseorang masih menjadi suami bagi istrinya, maka kakak dan adik perempuan iparnya tidak boleh ia nikahi. Karena laki-laki tidak boleh menikahi seorang wanita beserta saudaranya dalam waktu bersamaan. Juga tidak boleh menikahi seorang wanita beserta bibinya sekaligus.

Akan tetapi, ketika ia dan istrinya tidak lagi menjadi sepasang suami istri, baik itu disebabkan adanya perceraian maupun kematian, maka ia boleh menikahi kakak atau adik perempuan dari (mantan) istrinya. Kenapa? karena kemahraman antara dia dengan iparnya hanya bersifat sementara atau mu’aqqat. Dan illat (sebab) kemahraman mu’aqqat itu sudah hilang.

Orang-orang yang menjadi mahram mu’aqqat itu tidak memberikan konsekwensi yang sama dengan mereka yang menjadi mahram mu’abbad. Artinya, dia dengan saudara ipar tidak boleh saling melihat aurat satu sama lain. Juga tidak boleh bepergian dan berkhalwat berdua tanpa disertai orang lain.

Wallahu a’lam bishshsawab

Aini Aryani, Lc.

 

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories