Korupsi Makin Tak Terkendali Akibat Penerapan Sistem Demokrasi

MUSTANIR.net – Di bawah sistem demokrasi kapitalistik global, persoalan korupsi bukan hanya dialami Indonesia saja. Fenomena korupsi yang tak terkendali juga menjadi persoalan yang tak kunjung usai di berbagai negara yang menerapkan sistem demokrasi kapitalistik. Apalagi kasus korupsi ini tidak hanya muncul di tingkat nasional saja, tetapi bahkan mulai dari tingkat lokal, yakni di desa-desa.

Fakta di atas jelas menegaskan bahwa kasus korupsi bukan hanya sekadar persoalan individu semata, melainkan konsekuensi logis dari sistem yang diterapkan. Ini makin mengukuhkan bahwa demokrasi kapitalistik telah menjadi lahan subur bagi tumbuh biaknya korupsi.

Berikut beberapa analisa berkelindannya kasus korupsi dengan penerapan sistem demokrasi kapitalistik, di antaranya:

• Pertama, demokrasi menjadi sistem yang memelihara korupsi.

Klaim yang menyatakan bahwa demokrasi menjadi sistem terbaik untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, justru telah melahirkan begitu banyak celah munculnya praktik-praktik korupsi. Telah banyak diketahui, pesta demokrasi tiap lima tahunan menelan biaya yang cukup fantastis.

Kebutuhan dana besar ini menjadikan para politisi berlomba-lomba mencari donasi dari para pemodal. Inilah yang kemudian melahirkan balas budi dari politisi yang berhasil menduduki kursi pemerintahan kepada pemodal, yakni kapitalis oligarki dalam bentuk proyek atau regulasi. Terbukti nyata dari banyaknya kebijakan-kebijakan yang lebih menindas dan mencengkeram rakyat, tetapi menguntungkan bagi segelintir kapitalis oligarki.

Kemudian hal-hal yang tidak dapat disangkal bahwa demokrasi berasaskan pada suara terbanyak atau mayoritas. Hal ini mengakibatkan, para penguasa yang terpilih akan cenderung mengutamakan kepentingan kelompoknya saja daripada mengutamakan kepentingan rakyat yang memilihnya. Penguasa dalam sistem ini lebih cenderung tidak mengabdi untuk rakyat melainkan sekadar mengejar kepentingan pribadi.

Bahkan, meskipun lembaga antikorupsi (KPK) telah dibentuk khusus untuk memberantas kasus korupsi, pada akhirnya lembaga ini pun tumpul tak ada nyali menikam para ‘tikus berdasi’. Tak dapat dipungkiri karena faktanya lembaga ini akan terkooptasi oleh kepentingan politik dan kekuasaan.

Hukum yang tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah juga telah menjadi ciri khas sistem demokrasi kapitalistik. Demokrasi cenderung melahirkan regulasi-regulasi yang melindungi kepentingan para kapitalis, sementara rakyat kecil teramat sulit mendapatkan keadilan. Kasus korupsi makin tak terkendali karena para pelaku berada di dalam lingkaran kekuasaan itu sendiri, yang memiliki keleluasaan untuk mengotak-atik hukum yang berlaku.

• Ke dua, kapitalisme atas nama keuntungan telah menyuburkan korupsi.

Kapitalisme menjadikan materi sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara menjadi ciri khas sistem ini. Inilah yang menjadikan mengapa dalam sistem ini, si kaya yang makin kaya dan si miskin makin miskin. Sehingga menciptakan jurang ketimpangan ekonomi yang makin dalam.

Di bawah sistem ini, seakan negara ‘bertekuk lutut’ di depan para kapitalis oligarki. Berbagai sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak dikangkangi oleh para kapitalis, sedangkan rakyat kecil kesulitan bahkan sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Atas nama keuntungan materi semata, uang menjadi alat utama mendapatkan kekuasaan. Akhirnya menjadi celah adanya politik transaksional, suap, lobi hingga kolusi antara penguasa dan korporasi. Di sinilah berbagai regulasi ‘dibeli’, mengakibatkan kebijakan lebih menguntungkan kapitalis oligarki ketimbang kepentingan rakyat. Alhasil, kapitalisme menjadikan segelintir kapitalis oligarki sebagai pengendali negara demi kepentingan pribadi, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Inilah yang menjadikan korupsi makin tak terkendali lagi karena berkelindan dengan sistem yang diterapkan. Korupsi makin tak terkendali merupakan akibat penerapan sistem demokrasi kapitalistik.

Dampak Korupsi Makin Tak Terkendali terhadap Kehidupan Masyarakat

Korupsi yang terus mengakar kuat dalam sistem demokrasi kapitalistik, sudah pasti membawa dampak besar bagi kehidupan masyarakat, di antaranya:

• Pertama, munculnya ketimpangan sosial dan ekonomi.

Berbagai sumber daya alam yang seharusnya menjadi modal besar bagi negara untuk mencukupi kebutuhan dasar seluruh rakyatnya, telah habis tak tersisa dikangkangi oleh para kapitalis oligarki. Bahkan tidak berhenti sampai di situ, berbagai fasilitas umum seperti jalan juga dikuasai oleh para kapitalis. Pun juga pendidikan dan kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar rakyat tak lepas menjadi ladang bisnis bagi mereka. Karpet merah benar-benar digelar bagi kapitalis oligarki, menjadikan rakyat sebagai objek yang diperas.

• Ke dua, pelemahan kedaulatan negara.

Sistem demokrasi kapitalistik tak pelak menjadikan negara bukan lagi sebagai pelayan rakyat melainkan pelayan kapitalis oligarki. Negara menempatkan dirinya sebagai regulator antara rakyat dan kapitalis. Negara sebagai penjaga stabilitas kepentingan kapitalis oligarki, tidak lagi berjalan untuk kepentingan rakyat. Di balik kebijakan populisnya pun tak lepas dari menyiapkan karpet merah untuk kepentingan para kapitalis.

• Ke tiga, dekadensi moral dan budaya politik kotor.

Dalam sistem demokrasi kapitalistik, pada akhirnya menjadikan korupsi sebagai hal wajar dalam politik dan pemerintahan. Demokrasi kapitalistik mengukuhkan budaya politik kotor. Nampak, meskipun diberantas, tetapi terus berkembang biak. Para pelaku ‘tikus berdasi’ tak pernah tertunduk malu saat diadili. Menampakkan dekadensi moral para elit politik di tubuh demokrasi kapitalistik. Ini makin menjadikan rakyat kehilangan kepercayaannya terhadap penguasa yang ada dalam sistem ini.

• Ke empat, kemandulan pembangunan dan ketidakadilan hukum.

Akibat utama dari korupsi jelas adalah menghambat laju pembangunan. Dana-dana yang disunat menyebabkan kemandulan pembangunan, proyek tak berjalan sesuai yang diharapkan. Tak ada solusi selain kualitas pembangunan yang ala kadarnya. Sedangkan dari sisi aparat penegak hukum, seperti komisi pemberantasan korupsi telah lama dikebiri, dipaksa tunduk di bawah kepentingan politik kekuasaan. Ketidakadilan hukum telah lama dipertontonkan di dalam sistem demokrasi kapitalistik, hukuman para ‘tikus berdasi’ yang menelan uang rakyat dari milyaran hingga ratusan triliunan dianggap terlalu ringan.

Strategi Ampuh untuk Memberantas Korupsi

Pohon yang akarnya telah membusuk tak mungkin lagi dapat terselamatkan dengan hanya sekadar memotong ranting dan daunnya saja, tetapi harus dengan mencabutnya dan mengganti dengan pohon yang baru. Maka tak bisa tidak, korupsi yang makin tak terkendali di dalam lingkaran penerapan sistem demokrasi kapitalistik hanya dapat terselesaikan dengan mengganti sistem yang rusak tersebut. Dibutuhkan perubahan secara sistemis, bukan sekadar reformasi semata. Solusi tambal sulam tidak akan dapat menyelesaikan akar masalah.

Dibutuhkan sistem pemerintahan yang amanah dan shahih. Sistem yang mampu mengembalikan harta milik umum kembali kepada rakyat. Sistem yang mampu memberikan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, bebas dari intervensi politik manapun. Dan sistem yang mampu menghapus politik uang dan kekuasaan oligarki.

Sistem politik dan sistem pemerintahan yang memenuhi persyaratan di atas hanya ada dalam sistem politik Islam. Dalam sistem Islam, meniscayakan pemerintah bersih dan bebas korupsi. Karena telah jelas syariat Islam mengharamkan segala bentuk suap-menyuap. Sistem Islam adalah sistem shahih yang diturunkan oleh Allah, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dan terbebas dari segala bentuk kepentingan segelintir manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi kapitalistik.

Dikutip dari al-waie.id, berikut strategi Islam dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, di antaranya:

• Pertama. Sistem politik Islam.

Sistem politik Islam adalah sistem politik yang bisa memangkas biaya politik yang mahal. Khalifah (kepala negara), dipilih dalam waktu yang singkat (paling lama 3 hari 3 malam), jadi tidak dalam waktu yang lama seperti dalam sistem demokrasi. Pemilihan khalifah pun tidak bersifat regular, seperti lima tahun sekali yang menyedot biaya sangat mahal. Khalifah tetap sebagai kepala negara selama tidak melanggar syariat Islam. Begitu juga dengan kepala daerah yang dipilih oleh khalifah kapan saja dan dapat diberhentikan kapan saja.

Jadi, negara tidak disibukkan oleh Pilkada rutin yang menguras energi dan uang. Dengan sistem politik Islam, dominasi pemilik modal dalam pembuatan UU yang berbahaya pun akan dipangkas habis. Pasalnya, dalam Islam kedaulatan ada di tangan hukum syariat, bukan manusia. Karena itu pemilik modal yang mempunyai banyak kepentingan tidak bisa mempengaruhi hukum seperti dalam sistem demokrasi.

• Ke dua. Teladan pemimpin.

Dan selain sistemnya, salah satu unsur terpenting dalam pemberantasan korupsi adalah teladan pemimpin. Jika ada gerakan pemberantasan korupsi, maka pemimpin tertinggilah yang semestinya memimpin gerakan ini. Pemimpin memiliki kewenangan dan pengaruh paling tinggi.

Dengan kewenangan itu, ia bisa melakukan segala daya agar usaha penting ini bisa berhasil. Pemimpin yang bersih, tidak korup dan tegas dalam menindak para pelaku korupsi akan memberikan pengaruh sangat besar, bukan hanya kepada aparat birokrasi, tetapi juga kepada masyarakat luas. Akan berkembang atmosfer anti korupsi yang sangat kuat di tengah masyarakat.

Ada beberapa hal penting yang harus ditunjukkan oleh seorang pemimpin sebagai teladan dalam pemberantasan korupsi:

Pertama, pemimpin harus memiliki jiwa wara’ dan zuhud dari kemungkinan mengambil harta yang tidak halal. Apalagi terhadap yang jelas-jelas haram.

Ke dua, teladan pemimpin diperlukan dalam mencegah agar tidak ada anggota keluarganya yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Jamak terjadi di mana-mana, keluarga atau orang dekat akan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki kepentingan bisnis atau lainnya.

Dulu, Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena digembalakan bersama beberapa unta lain di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara.

Ke tiga, teladan paling penting adalah dalam hal larangan menerima suap dan hadiah. Suap biasanya diberikan sebagai imbalan atas keputusan atau jasa berkaitan dengan suatu kepentingan, yang semestinya wajib diputuskan atau dilakukan oleh seorang pegawai tanpa imbalan apa pun karena ia telah digaji.

Abdulllah bin Rawahah, ketika menjalankan perintah Nabi ﷺ untuk membagi dua hasil bumi Khaibar —separuh untuk orang Yahudi separoh lagi untuk kaum Muslim— datang orang Yahudi mencoba menyuap dirinya dengan sejumlah perhiasan agar Abdullah mau memberikan lebih dari separuh kepada mereka. Tawaran itu ditolak keras seraya berkata, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram dan kaum Muslim tidak memakan suap.” Mendengar ini, orang Yahudi menyahut, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tetap tegak.” (Imam Malik dalam aI-Muwaththa’)

Tentang hadiah kepada pejabat negara Rasulullah ﷺ berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Ahmad)

Rasulullah ﷺ berkata, “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud)

Dengan teladan dari pemimpin, tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan tidak sulit dilakukan. Sebaliknya, apa jadinya bila justru pemimpin itu yang melakukan korupsi dan melindungi korupsi yang dilakukan bawahannya?

Lalu dengan kewenangannya bukan memperkuat lembaga pemberantasan korupsi, tetapi malah memperlemah. Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali. Akibatnya, pemberantasan korupsi hanya berhenti sebatas retorika kosong belaka.

• Ke tiga. Pengawasan masyarakat.

Masyarakat dapat berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan tindak penyelewengan di kalangan birokrat. Masyarakat yang bermental instan (ingin serba cepat) akan cenderung menempuh jalan pintas untuk mendapatkan pelayanan cepat dari birokrat atau mencapai tujuan-tujuan pribadi dengan mengiming-imingi sejumlah uang atau pemberian lain.

Sebaliknya, masyarakat mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan termasuk para birokratnya. Mereka akan menolak bila oknum birokrat mengajak mereka berbuat menyimpang. Pengawasan masyarakat akan mempersempit ruang gerak penyimpangan kaum birokrat.

Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi birokrat, Khalifah Umar pada awal kepemimpinannya mengatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walau pun dengan pedang.” Menyambut seruan Umar, berdirilah seorang laki-laki yang dengan lantang berkata, “Kalau begitu, demi Allah, aku akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu, Umar amat bergembira. Bukan malah menangkap atau menuduh dirinya menghina kepala negara.

Jadi tidak ada pilihan lain untuk membendung laju korupsi ini, selain harus mencabut akar permasalahannya. Dengan mengganti sistem demokrasi kapitalistik menjadi sistem shahih dari Dzat yang Maha Pencipta dan Pengatur kehidupan, yaitu sistem Islam yang menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Rasyidah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah ﷺ dan para Khulafaur Rasyidin. []

Sumber: Dewi Srimurtiningsih, Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

About Author

Categories