Solusi Islam Atasi Krisis Beras
Solusi Islam Atasi Krisis Beras
Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag (Akademisi, Tinggal di Purwakarta – Jawa Barat, Twitter: @yansprasetiadi)
Melonjaknya harga beras di pasaran dalam beberapa waktu ini sudah membuat resah masyarakat. Pasalnya, beras termasuk bagian dari kebutuhan pokok rakyat banyak, sehingga kenaikan harga beras tentunya akan sangat memukul rakyat negeri ini, padahal sebelumnya masyarakat sudah sangat tersiksa dengan kenaikan harga BBM, kelangkaan gas elpiji 3 Kg, dan kenaikan tarif dasar listrik.
(baca juga: Harga Beras Melangit, dimana Pemerintah?)
Tercatat di Pasar Induk Cipinang-Jakarta hingga 20 Februari 2015, harga beras jenis Muncul I naik 23,76 persen dari Rp 10.100 per kilogram menjadi Rp 12.500 per kilogram, muncul II naik 31,87 persen dari Rp 9.100 menjadi Rp 11.200, dan Muncul III naik dari Rp 8.600 menjadi Rp 11 ribu per kilogram. Di kelas medium, beras IR64 I naik 18,52 persen dari Rp 9.450 menjadi 11.200 per kilogram, IR II naik 19,32 persen dari Rp 8.800 menjadi Rp 10.500 per kilogram, dan IR III naik dari Rp 8.200 menjadi Rp 10 ribu per kilogram. (tempo.co, 22/2/2015).
Tak hanya di Jakarta, di daerah pun harga beras semakin meroket. Di Subang kenaikan bahkan bisa mencapai 40 persen. Di sejumlah pasar tradisional Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, harga beras manpu melonjak mencapai Rp 12.000 – 13.000 per kilogram. Padahal, harga sebelumnya Rp 9.000 – 10.000 per kilogram. Untuk beras kualitas menengah, harga mencapai Rp 11.000 atau naik dari harga sebelumnya Rp 8.000 per kilogram. Kemudian harga beras kualitas rendah mencapai Rp 10.500 per kilogram, atau naik dari harga sebelumnya Rp 7.500 per kilogram. (nasional.republika.co.id, 24/2/2015).
Untuk mengatasi itu, pemerintah mengklaim sudah melakukan operasi pasar dan menyiapkan 1,4 juta ton beras di gudang bulog. Selain itu pemerintah pun optimis, bahwa bulan Maret akan ada panen raya, sehingga gudang bulog akan menerima pasokan stok yang cukup untuk kebutuhan rakyat Indonesia.
Namun ini adalah alasan klise, karena faktanya, kenaikan harga pangan, semisal beras selalu terjadi berulang-ulang. Dan pemerintahan sebelumnya juga hampir selalu melakukan langkah serupa. Tapi hingga kini problem harga dan krisis pangan di Indonesia tak kunjung selesai. Hal ini menunjukan ada masalah serius yang ditutupi pemerintah berkaitan dengan kebijakan pangan di Indonesia. Ironis memang, negeri yang dikenal sebagai negeri agraris ini senantiasa mengalami krisis pangan.
Salah Kebijakan Sebabkan Krisis
Kenaikan harga beras kali ini, merupakan tanda nyata bahwa negeri ini mengalami krisis pangan. Problem pangan di Indonesia tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang disinyalir tidak pro-rakyat, terutama bagi petani. Beberapa kebijakan pemerintah konvensional yang perlu dikritisi, karena berpotensi mengantarkan masyarakat pada keterpurukan ekonomi, termasuk sektor pangan, adalah sebagai berikut:
Pertama, lemahnya peran pemerintah dalam proses intensifikasi pertanian (peningkatan produktifitas tanah) sehingga menyebabkan kegiatan pertanian semakin lesu dan pada akhirnya akan menurunkan produksi. Deputi Bidang Statistik Distribusi Barang dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mengungkapkan penurunan produksi padi tahun 2014 terjadi di Pulau Jawa sebesar 0,83 juta ton. (kabarbisnis.com, 2/3/2015).
Penurunan produksi ini akan diperparah dengan wacana presiden Jokowi yang akan menghapus subsidi pupuk tahun ini (2015), sebagaimana dinyatakan oleh Aviliani, Sekretaris Umum ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Jokowi di Kantor Presiden, Jalan Veteran, Jakarta. (finance.detik.com, 6/1/2015). Hal ini tidak aneh, sebab pasca reformasi 1998, sejak Indonesia tunduk kepada IMF, subsidi di bidang pertanian dikurangi, pembangunan pertanian melambat, liberalisasi pasar diberlakukan dan peran Bulog dikebiri.
Kedua, tidak hanya proses intensifikasi, pada proses ekstensifikasi, yaitu perluasan area pertanian, peran pemerintah juga sangat lemah. Bahkan beberapa kebijakan pemerintah justru menyebabkan penciutan area pertanian. Alih fungsi yang terjadi adalah perubahan lahan pertanian menjadi penambahan pemukiman (real estate), pembangunan jalan, kawasan industri, dll. Ironisnya, alih fungsi lahan tersebut justru terjadi pada area lahan-lahan produktif, sementara pada sisi lain proses tersebut tidak disertai pembukaan lahan pertanian baru, sehingga lahan pertanian produktif mengalami penyusutan dari tahun ke tahun. (Dr. M. Kusman Sadik, hizbut-tahrir.or.id, 6/8/2012).
Menurut Badan Pusat Statistik, tahun 2010 secara nasional lahan pertanian menyusut sebesar 27 ribu hektar. Sementara pada tahun 2009, menurut Badan Ketahanan Pangan Nasional telah terjadi alih fungsi lahan pertanian hingga mencapai 110 ribu hektar. Hal ini diperparah dengan lemahnya pemerintah mengintegrasikan ketersediaan lahan, dan membiarkan infrastruktur pertanian tidak terurus. Misal, lebih dari 52 persen irigasi rusak parah. (republika.co.id, 10/2/2012). Bahkan menurut Suswono, mantan Menteri Pertanian sebelumnya, konversi lahan pertanian (baca: penyusutan) bisa mencapai 60 atau 100 ribu hektare per tahunnya. (tempo.co, 11/6/ 2014).
Ketiga, terlalu fokus pada ketersediaan stock, namun abai terhadap kondisi distribusi pangan. Ini menyebabkan distribusi pangan yang buruk. Distribusi yang buruk ini terjadi ketika harga dijadikan sebagai unsur tunggal pengendali distribusi. Artinya, orang dipaksa mendapatkan bahan makanan dengan cara membeli; tidak ada mekanisme lain kecuali dengan cara membeli. Kalau dia tidak mampu membeli berarti dia tidak berhak mendapatkan bahan pangan tersebut. (Ir. Anwar Iman, hizbut-tahrir.or.id, 5/5/2008). Inilah prinsip dasar ekonomi kapitalistik, sehingga memposisikan pemerintah hanya sekedar regulator (wasit) dan bukan protektor (pelindung) rakyatnya.
Keempat, pemerintah lemah terhadap para mafia beras. Meski ketentuan hukum bagi penimbun sudah diatur dalam UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, namun dengan kondisi hukum dan politik transaksional yang ada di Indonesia, siapapun berhak pesimis hukum tersebut bisa dijalankan. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum di negeri ini, para politisi yang akan bersaing dalam kancah perpolitikan Indonesia selalu didukung para cukong dan pengusaha hitam, yang kelak mereka ber-simbiosis mutualisme dengan politisi yang mampu memanipulasi aparat, agar bisnis mafia, termasuk sektor beras mereka aman. Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel pun mengungkapkan dengan terang-terangan soal keberadaan mafia beras di Indonesia saat ini. (finance.detik.com, 23/2/2015).
Solusi Islam Atasi Kenaikan Harga
Dalam konteks solusi jangka pendek, Islam memiliki aturan yang efektif dalam mengatasi melonjaknya harga pangan, termasuk beras, yakni dengan dua cara:
Pertama, memastikan mekanisme pasar berjalan dengan sehat dan baik.
Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi Islam dan transaksi khususnya terkait dengan produksi, distribusi, perdagangan dan transaksi; juga dengan melarang dan menghilangkan semua distorsi pasar seperti penimbunan, penaikan atau penurunan harga yang tidak wajar untuk merusak pasar; meminimalkan informasi asimetris dengan menyediakan dan meng-up-date informasi tentang pasar, stok, perkembangan harga, dsb; pelaksanaan fungsi qadhi hisbah (hakim ketertiban publik) secara aktif dan efektif dalam memonitor transaksi di pasar; dan sebagainya. (Yahya Abdurrahman, Takrifat: Tas’îr, Jurnal Al-Wa’ie, 2012).
Salah satu penyebab kenaikan harga adalah penimbunan yang dilakukan pihak-pihak tertentu, sehingga harga pangan melonjak. Islam melarang praktek penimbunan, Rasul saw bersabda (artinya): “Siapa saja yang melakukan penimbunan, dia telah berbuat salah.” (HR. Muslim, 3012). Abu Umamah al-Bahili berkata (artinya): “Rasulullah saw melarang penimbunan makanan.” (HR. Al-Hakim, 2122; Al-Baihaqi, 10765).
Jika pedagang, importir atau siapapun menimbun, ia dipaksa untuk mengeluarkan barang dan memasukkannya ke pasar. Jika efeknya besar, maka pelakunya juga bisa dijatuhi sanksi tambahan sesuai syariah. Di samping itu Islam tidak membenarkan adanya intervensi terhadap harga. Rasul bersabda (artinya): “Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum Muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.” (HR. Ahmad, 19426; Al-Hakim, 2128; Al-Baihaqi, 16875).
Adanya asosiasi importir, pedagang, dan yang semisalnya, jika itu menghasilkan kesepakatan harga, maka itu termasuk intervensi dan dilarang. (Abu Muhtadi, mediaumat.com, 7/10/2013).
Kedua, menjaga keseimbangan supply and demand (penawaran dan permintaan).
Jika terjadi ketidakseimbangan supply and demand, yakni harga naik-turun dengan drastis, negara dalam Islam, melalui lembaga pengendali seperti Bulog, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan komoditi dari daerah lain. (Ibid).
Ini berdasarkan tindakan Khalifah Umar ra ketika terjadi musim paceklik di Madinah. Beliau mengirim surat kepada Abu Musa ra di Bashrah: “Bantulah umat Muhammad saw!” Setelah itu ia pun mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin al-‘Ash ra di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, meliputi makanan dan bahan pokok berupa gandum. Bantuan Amr ra dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah kemudian dari sana baru dibawa ke Makkah. (Ibnu Katsir,Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, VII/103; Ibnu Sa’ad, At-Thabaqât al-Kubra III/310-317).
Ibn Syabbah meriwayatkan dari Al-Walîd bin Muslim ra, dia berkata: “Aku telah diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa Umar ra mengizinkan ‘Amr bin ‘Ash ra untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah melalui laut Ailah pada tahun paceklik” (Akhbâr al-Madînah, II/745). Dalam riwayat lain, Abu Ubaidah ra pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar ra memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah. (Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, IV/100).
Apabila pasokan dari daerah lain juga tidak mencukupi, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor. Impor hukumnya mubah. Ia masuk dalam keumuman kebolehan melakukan aktivitas jual beli. Allah swt berfirman: “Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275). Ayat ini umum, menyangkut perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Karenanya, impor bisa cepat dilakukan tanpa harus dibatasi dengan persoalan kuota. Di samping itu, semua warga negara diperbolehkan melakukan impor dan ekspor, kecuali komoditas yang dilarang karena kemaslahatan umat dan negara. Secara otomatis, kebijakan ini tentunya akan menghilangkan kemunculan para mafia beras.
Solusi Islam Atasi Krisis Pangan
Dalam konteks jangka panjang, Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan swasembada pangan, dimana swasembada merupakan sebuah keharusan agar sebuah negara terbebas dari krisis pangan berulang dan berkepanjangan. Secara umum hal ini tampak dalam politik pertanian yang akan dijalankan sebuah negara Islam (khilafah) sebagai berikut:
Pertama, kebijakan di sektor hulu yaitu kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi ditempuh dengan jalan penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik. Untuk itu, khilafah akan menerapkan kebijakan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian. Keberadaan diwan ‘atha (biro subsidi) dalam baitul mal akan mampu menjamin berbagai keperluan para petani, ini menjadi prioritas pengeluaran baitul mal. Kepada para petani diberikan berbagai bantuan, dukungan dan fasilitas dalam berbagai bentuk; baik modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budidaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dll; baik secara langsung atau semacam subsidi. Maka seluruh lahan yang ada akan produktif. Negara juga akan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dsb, sehingga arus distribusi lancar. (Abu Muhtadi, mediaumat.com, 7/10/2013).
Ekstensifikasi pertanian dilakukan untuk meningkatkan luas lahan pertanian yang diolah. Untuk itu negara menerapkan kebijakan yang mendukung terciptanya perluasan lahan pertanian tersebut. Di antaranya negara akan menjamin kepemilikan lahan pertanian yang diperoleh dengan jalan menghidupkan lahan mati (ihya’ al-mawat) dan pemagaran (tahjîr) bila para petani tidak menggarapnya secara langsung. Negara pun dapat memberikan tanah pertanian (iqtha’) yang dimiliki negara kepada siapa pun yang mampu mengolahnya. Persoalan keterbatasan lahan juga dapat diselesaikan dengan pembukaan lahan baru, seperti mengeringkan rawa dan merekayasa menjadi lahan pertanian lalu dibagikan kepada rakyat yang mampu mengolahnya, seperti yang dilakukan masa Umar bin Khattab di Irak. (Ibid).
Selain itu, negara akan menerapkan kebijakan yang dapat mencegah proses alih fungsi lahan pertanian (konversi) menjadi lahan non pertanian. Hanya daerah yang kurang subur yang diperbolehkan menjadi area perumahan dan perindustrian. Di samping itu, negara juga tidak akan membiarkan lahan-lahan tidur, yaitu lahan-lahan produktif yang tidak ditanami oleh pemiliknya. Jika lahan tersebut dibiarkan selama tiga tahun maka lahan tersebut diambil oleh negara untuk diberikan kepada mereka yang mampu mengolahnya. Rasulullah saw bersabda (artinya): “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya. Apabila dia menelantarkannya, maka hendaknya tanah tersebut diambil darinya.” (HR. Al-Bukhari, 2172).
Kedua, kebijakan di sektor industri pertanian. Negara hanya akan mendorong berkembangnya sektor riil saja, sedangkan sektor non riil yang diharamkan seperti bank riba dan pasar modal tidak akan diizinkan melakukan aktivitas. Sebab sektor non riil hanya membuat masyarakat menyimpan dananya di bank demi bunga. Akibatnya, uang tidak berputar semestinya, pertumbuhan barang dan jasa pun menjadi mandek, akhirnya terjadilah inflasi. Dengan kebijakan ini, maka masyarakat atau para investor akan terpaksa ataupun atas kesadaran sendiri akan berinvestasi pada sektor riil semata, baik industri, perdagangan ataupun pertanian. Karena itu sektor riil akan tumbuh dan berkembang secara sehat sehingga akan menggerakkan roda-roda perekonomian.
Demikianlah secara ringkas solusi Islam dalam mengatasi krisis pangan yang mendera negeri ini. Solusi diatas tentu akan berjalan ketika diimplementasikan dalam konteks kebijakan negara, dan dijalankan bersama dengan berbagai hukum syariah lainnya, sehingga kestabilan harga pangan dapat dijamin, ketersediaan komoditas, swasembada, dan pertumbuhan yang disertai kestabilan ekonomi dapat diwujudkan. Wallahu a’lam.
(baca juga: Harga Beras Melangit, dimana Pemerintah?)