Transisi Kekuasaan Baru Suriah
MUSTANIR.net – Jalan menuju Damaskus ternyata sangat pendek. Hanya butuh waktu dua minggu, oposisi menghunus brutal, pemerintah Assad dirobohkan.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Pastinya kejatuhan rezim Assad memberi peluang kepada oposisi yang didukung penuh masyarakat melakukan transisi kekuasaan baru, reformasi politik meliputi struktur dan sistem dengan harapan dapat terbangun kehidupan Suriah yang lebih baik.
Namun inilah titik paling krusial, proses transisi untuk mengisi kekosongan kekuasaan pasca jatuhnya rezim Assad, di satu sisi dapat memicu ketidakstabilan lebih lanjut jika tidak dikelola dengan cermat.
Faktanya, kejatuhan rezim Assad tidak berdiri di atas aktor dan latar belakang tunggal. Penggulingan Assad dimotori oleh banyak pihak dan didasarkan pada percampuran kepentingan.
Di dalamnya terlibat aktor lokal, yakni selusin kelompok oposisi yang didukung rakyat nasional, ada aktor regional serta aktor global.
Percampuran aktor dan kepentingan yang berbeda-beda ini jika tidak dikelola dengan cermat, momen transisi kekuasaan justru bisa menjadi ajang persaingan antar aktor lokal, aktor regional, dan aktor global dalam rangka memperebutkan hegemoni dengan ekses yang kontraproduktif.
Dalam pidato kemenangannya, pemimpin oposisi paling dominan HTS, al-Julani menyampaikan pesan yang mewakili aspirasi masyarakat lokal: “Jangan ada campur tangan asing”.
Al-Julani bisa dengan seenaknya berargumen bahwa kejatuhan Assad memberi kesempatan bagi para pejuang oposisi yang didukung rakyat membentuk pemerintahan baru yang terlepas dari campur tangan pihak asing.
Asumsinya, dengan meruntuhkan rezim Asaad, kelompok oposisi suskses melenyapkan intervensi dan kendali pihak asing di Suriah. Ditandai dengan lenyapnya proyek hegemoni Iran, meruntuhkan posisi istimewa Hizbullah, serta menjatuhkan dominasi Rusia yang selama ini melindungi dan mengendalikan Rezim Assad.
Al-Julani bisa segampang itu mempromosikan pemerintahan baru yang berdaulat. Tapi dunia tahu, Suriah telah berubah menjadi salah satu titik sentral yang sangat menentukan dinamika politik di kawasan. Gambaran Suriah saat ini layaknya benang kusut yang sangat rumit diuraikan, dilepaskan dari intervensi dan campur tangan aktor asing.
Apakah al-Julani lupa bahwa dia sendiri yang membuka diri dan memprovokasi faksi-faksi perlawanan di Idlib untuk menerima masuknya pasukan Turki di Idlib pada akhir 2017?
Apakah al-Julani lupa, dia sendiri yang meyakinkan faksi oposisi di Idlib bahwa kehadiran Turki dapat menjadi sumber kekuatan baru bagi oposisi untuk menahan kemajuan langkah militer Assad menghancurkan benteng pertahanan terakhir oposisi di Idlib?
Al-Julani adalah aktor lokal yang paling bertanggung jawab bagi masuknya kepentingan Turki di Idlib. Selain mendukung HTS dan faksi pendukungnya, Turki juga dipersilakan mencaplok Free Syrian Army yang terdiri dari pembelot militer Suriah kemudian diletakkan dalam wadah baru bernama Syrian National Army (SNA) pada 2017.
SNA dijadikan Turki sebagai payung bagi sejumlah faksi oposisi yang diberikan pendanaan, pengiriman senjata, dan pelatihan militer oleh Turki.
Sejauh ini eksistensi SNA yang turut didukung HTS yang dipimpin al-Julani telah memberi keuntungan ganda bagi Turki memperkuat posisi diplomatiknya dalam negosiasi dengan Rusia, Iran, dan bahkan Amerika Serikat.
Turki memperalat SNA dan HTS untuk menyerang Assad, masalah tekanan domestik akibat gelombang pengungsi Suriah, menegosiasikan pembatasan pengaruh YPG, yaitu sayap militer Partai Persatuan Demokratik (PYD) Kurdi di Suriah yang memiliki hubungan erat dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) untuk kepentingan batas wilayahnya.
Dalam serangan terakhir, HTS dan SNA yang didukung Turki dapat dikatakan sebagai motor penggerak utama jatuhnya rezim Assad. Dengan kenyataan ini, apakah Turki sebagai aktor asing akan membiarkan transisi kekuasaan baru Suriah berjalan tanpa intervensi dan campur tangannya?
Apakah al-Julani bisa menjamin bahwa Turki hanya bertugas membantu opoisisi dan rakyat Suriah menjatuhkan rezim Assad, lalu setelah itu berpuas diri, tidak turut campur mengintervensi berjalannya proses transisi kekuasaan baru di Suriah?
Tidak masalah jika intervensi Turki di Suriah ditujukan untuk kepentingan keamanan dan kestabilan politik bagi kedua negara. Namun ambisi Turki adalah melenyapkan kelompok PKK Kurdi yang berkonflik dengannya sejak 1980-an. Bagi Turki, keberadaan Kurdi di perbatasan Suriah merupakan ancaman. Turki khawatir bahwa keberhasilan YPG Kurdi Suriah membentuk wilayah otonomi dapat memicu ambisi serupa di wilayah Kurdi PKK membentuk negara baru di wilayah tenggara Turki.
Catatan pentingnya adalah perjuangan Kurdi Suriah yang tergabung kelompok SDF yang dibentuk pada Oktober 2015 itu didirikan, didanai, dan dikung oleh Amerika.
Suka tidak suka, eksistensi Turki lewat tangan HTS dan SNA untuk masuk dan mencampuri transisi kekuasaan Suriah dengan kepentingan utama melenyapkan SDF yang didominasi YPG Kurdi, tentu saja akan turut mengundang respon Amerika untuk masuk dan ikut campur dalam proses pembentukan kekuasaan baru di Suriah.
Tanpa dipicu oleh Turki yang bernafsu melenyapkan SDF sebagai kelompok proxy-nya, Amerika sejauh ini memang telah terlibat dalam konflik internal Suriah. Puncaknya pada September 2014, Amerika membentuk pasukan koalisi dalam rangka melenyapkan ISIS dan Front al-Nusrah.
Faktanya dalam rentang 2014-2024, di depan layar, pendekatan Amerika hanya berfokus pada penghancuran ISIS. Sebaliknya Amerika sangat menoleransi Assad dan para pendukungnya (Suriah dan Iran).
Tapi di belakang layar, lewat side effect policy-nya, Amerika justru memimpin penyerangan terhadap Assad, Rusia, dan Iran dengan memberikan dukungan terbatas kepada HTS yang dipimpin al-Julani.
HTS awalnya dikenal sebagai Front al-Nusrah yang dicap Amerika sebagai kelompok teror. Anehnya, HTS tidak ditargetkan sebagaimana Amerika menghancurkan ISIS. Amerika justru membiarkan HTS berkembang menjadi kelompok oposisi dominan di Suriah.
Amerika juga tidak menargetkan penghancuran HTS termasuk, menolak untuk memburu dan membunuh para pimpinannya, terkhusus al-Julani yang dituding sebagai penggerak kelompok teror.
Pembiaran ini memberi petunjuk praktik belakang layar Amerika bahwa Paman Sam sengaja membuka jalan bagi HTS berkembang dan terus menyerang hingga sukses menjatuhkan Assad.
Dalam kaitan ini, HTS yang didukung side effect policy Amerika bermain searah dengan SNA yang didukung Turki menjadi motor penggerak utama kelompok oposisi jatuhkan Assad.
Dapatkah kita menjelaskan, apakah tidak ada koordinasi dan kerja sama antara Turki dan Amerika di balik kesuksesan HTS dan SNA pimpin kelompok oposisi jatuhkan Assad?
Adakah yang bisa menjamin bahwa dukungan Amerika dan Turki di balik kesuksesan HTS dan SNA jatuhkan Assad, dilakukan tanpa menuntut bayaran? Setelah itu, Turki dan Amerika tidak punya kepentingan dan ambisi untuk mencampuri proses transisi kekuasaan Suriah?
Pasti ada koordinasi dan kerja sama belakang layar antara Turki yang mendukung SNA, dan Amerika yang mendukung HTS dalam menjatuhkan Assad.
There is no free lunch. Amerika dan Turki pasti punya ambisi terlibat dan mencampuri transisi kekuasaan baru Suriah demi kepentingan masing-masing.
Sebaliknya, al-Julani sebagai pemimpin kudeta Assad juga sangat membutuhkan dukungan lanjutan Turki dan Amerika untuk membangun kekuasaan baru Suriah.
HTS dan al-Julani adalah organisasi teroris yang ditetapkan Amerika dan PBB. Status ini akan menghadirkan tantangan tersendiri. Di mana penetapan cap teroris tersebut membuka jalan bagi Amerika dan mitra internasional untuk masuk dan mencampuri transisi kekuasaan Suriah.
Amerika memiliki kepentingan krusial di Suriah. Salah satunya, menjamin Suriah tidak lagi memberi ancaman kepada Israel terutama dalam kasus Lebanon dan Palestina. Selain sudah berhasil memukul mundur Iran dan Rusia bersamaan dengan jatuhnya Assad, Amerika juga harus memastikan dengan cara mencampuri transisi kekuasaan Suriah. Menjamin kekuasaan baru Suriah tidak dikendalikan kepentingan pihak lain yang mengancam masa depan Amerika dan Israel.
Jika HTS dan al-Julani menutup pintu bagi Amerika dalam proses transisi kekuasaan, maka Amerika bisa memainkan cap terorisme untuk merekayasa pelenyapan HTS sebagai kelompok dominan.
Sebaliknya, Amerika juga bisa mencabut cap terorisme yang melekat pada HTS untuk memutihkan nama Suriah sebagai negara yang lebih stabil. Amerika melalui dialog dengan Turki, dapat menggunakan pengaruh tersebut untuk memastikan HTS bertindak sebagai aktor yang dapat diterima dalam situasi Suriah, dan menegaskan bahwa HTS tidak lagi mengancam keamanan regional terutama keamanan Israel, seperti yang dilakukan Iran dan Suriah di masa kekuasaan Assad.
Mudah saja bagi Amerika menemukan alasan putihkan HTS dari cap teroris. Hal ini sudah direncanakan sejak awal. Bahwa sejak pertama al-Julani mendeklarasikan pemisahan diri dari Front al-Nusrah, menjadi sinyal bahwa kelompok ini tidak lagi terafiliasi dengan al-Qaeda.
Alasan pemutihan HTS dari cap teroris tersebut bisa dijadikan rekomendasi bagi Amerika kepada kelompok internasional yang dikendalikannya untuk mendukung pemerintahan baru Suriah memulihkan ekonomi, dan mencegah munculnya kembali kelompok ekstremis.
Infrastruktur dasar di Suriah sudah ada. Tinggal bagaimana Amerika mengarahkan kelompok global di bawah kendalinya memberikan bantuan langsung kepada rakyat Suriah. Amerika bisa saja mengizinkan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) dan badan-badan bantuan lain yang didukung AS untuk mengirim bantuan mendesak ke Suriah.
Ingat, HTS bukan satu-satunya kelompok dalam oposisi Suriah yang sekarang mengendalikan Damaskus. Masih banyak kelompok lainnya. Siapa yang dominan dalam proses transisi kekuasaan di antara kelompok-kelompok itu tergantung pada siapa yang mendapatkan bantuan eksternal.
Amerika adalah pihak eksternal paling dominan saat ini di Suriah. Jika HTS dan SNA menolak keterlibatan Amerika, sangat mudah bagi Amerika merekayasa kejatuhan mereka dan merekayasa dominasi oposisi yang lain.
Memang ada Turki sebagai pihak dominan lainnya. Tapi apakah Turki bisa melawan dominasi Amerika? Sulit selama masih menjadi jongos NATO.
Amerika dan Turki bisa mencampuri transisi kekuasaan Suriah untuk kepentingan mereka yang selaras di Suriah barat. Amerika Serikat dapat bekerja sama dengan Yordania, Qatar, dan Israel yang juga punya kepentingan di atas Suriah.
Namun pada akhirnya, tergantung bagaimana kelompok oposisi bersikap. Apakah mau tetap berada di bawah kendali pihak asing, ataukah keras kepala seperti al-Qaeda di Afghanistan. Memanfaatkan Amerika lenyapkan kependudukan Uni Soviet, tapi pada akhirnya, melepehkan Amerika dari proses transisi kekuasaan.
Namun bagaimanapun juga, alternatif politik saat ini setelah jatuhnya Assad masih jauh dari ideal karena oposisi masih terpecah-pecah. Pemimpin pemberontak Abu Mohammad al-Jolani memiliki masa lalu yang dipertanyakan terkait dengan terorisme internasional yang dapat menjadi alasan bagi Amerika mematahkan dominasinya.
Selain itu, faksi pemberontak memiliki berbagai kesetiaan kepada kekuatan regional, terutama Turki dan juga masih didukung aktor global, terutama Amerika.
Potensi masuknya campur tangan aktor asing, terutama Amerika di bawah pimpinan Trump nanti, bukan tidak mungkin untuk membayangkan para pemimpin baru di Damaskus menormalisasi hubungan dengan Israel dan mengatur ulang dinamika regional untuk menandai pemutusan sejati dengan doktrin Ba’athist Assad.
Salah satunya membangun dinamika yang lebih lembut dengan Israel sebagaimana ambisi Perjanjian Abraham yang diprakarsai Trump. Semua kemungkinan harus diatensi. Bahwa semua hal yang tidak terpikirkan, mungkin saja terjadi. []
Sumber: Faisal Lohy