Syarh Hadits Arbain ke 31: Zuhud
Syarh Hadits Arbain ke 31: Zuhud
عَنْ أَبِي الْعَبَّاس سَهْل بِنْ سَعْد السَّاعِدِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : ياَ رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ : ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ .
[حديث حسن رواه ابن ماجة وغيره بأسانيد حسنة]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث
Dari Abu Abbas Sahl bin Sa’ad Assa’idi radhiallahuanhu dia berkata : Seseorang mendatangi Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata : Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku sebuah amalan yang jika aku kerjakan, Allah dan manusia akan mencintaiku, maka beliau bersabda: Zuhudlah terhadap dunia maka engkau akan dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia maka engkau akan dicintai manusia.
(Hadits hasan riwayat Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad hasan) .
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث:
Hadits ini berisikan dua pesan Nabi saw. yang sangat penting.
– Pertama: zuhud terhadap dunia dan bahwa zuhud merupakan faktor penyebab kecintaan Allah terhadap hamba-Nya.
– Zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain. Ini merupakan penyebab untuk mendapatkan kasih sayang dan penghormatan dari orang lain.
Tidak bisa dipungkiri bahwa seorang muslim tidak akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, kecuali jika ia mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang sesama manusia. Cinta Allah dapat diraih dengan mengutamakan kepentingan akhirat daripada kepentingan dunia. Sedangkan kasih sayang sesama manusia dapat diraih dengan tidak serakah ingin memiliki harta dunia yang dimiliki orang lain, dan lebih mengutamakan amal shalih. Karena amal shalih akan lebih bermanfaat bagi akhiratnya.
Karena itulah, Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, “Hadits ini adalah satu dari empat hadits yang menjadi siklus ajaran Islam.”
KANDUNGAN HADITS
1. Pengertian Zuhud
Ada banyak definisi yang diberikan oleh Shalafush shalih terhadap zuhud. Namun semuanya bermaura kepada sebuah definisi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Abu Idris al-Khaulani ra. berkata, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini keberadaan yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Jika ditimpa musibah, maka kita lebih berharap untuk mendapatkan pahala.”
Jadi pada dasarnya, zuhud bisa disimpulkan dalam tiga hal. Ketiganya adalah amalan hati. Karena itulah, Abu Sulaiman ad-Darany berkata, “Janganlah kamu bersaksi bahwa seseorang itu orang yang zuhud, karena zuhud tempatnya di hati.”
Tiga hal tersebut adalah:
a. Lebih meyakini keberadaan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan. Sikap seperti ini lahir dari keyakinan yang benar dan tertanam sangat kuat bahwa Allah swt. akan dan selalu menjamin rizky hamba-Nya.
Firman Allah: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkynya.” (Huud: 6)
“Dan di langit terdapat [sebab-sebab] rezekinya.” (adz-Dzaariyaat: 22)
b. Jika seseorang mendapatkan musibah dalam urusan dunia, misalnya: hilangnya harta benda, meninggalnya anak, maka ia lebih berharap akan mendapatkan pahala atas musibah tersebut, daripada meraung-raung seraya meminta agar musibah tersebut tidak terjadi. Sikap seperti ini hanya bisa ditumbuhkan oleh keimanan yang sempurna. Sikap ini menunjukkan betapa seseorang menganggap dunia adalah sesuatu yang remeh.
Ibnu Umar ra. berkata, dalam doanya Rasulullah saw. menyebutkan, “Ya Allah, berikanlah kepada kami, rasa takut kepada-Mu yang bisa menyampaikan kami kepada surga-Mu dan keyakinan yang bisa menjadikan kami menganggap remeh berbagai musibah duniawi.”
c. Baik pujian maupun cercaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh pada kebenaran. Ini adalah merupakan tanda sikap zuhud terhadap dunia. Ibnu Mas’ud berkata, “Yakin adalah tidak mengharapkan keridlaan manusia dengan cara yang membuat Allah murka.”
Berikut beberapa ungkapan para ulama seputar zuhud:
Hasan al-Basri berkata, “Seorang yang zuhud adalah jika ia melihat orang lain ia berkata: ‘Ia lebih baik dariku.’”
Wahb bin al-Ward berkata, “Zuhud adalah hendaknya kamu tidak sedik ketika kehilangan dunia dan tidak bangga ketika mendapatkannya.”
Az-Zuhri berkata, ketika ditanya tentang zuhud, “Tidak tergoda oleh yang haram, dan tidak tertipu oleh yang halal.”
Sufyan bin Uyainah berkata, “Seseorang yang zuhud adalah jika mendapat nikmat ia bersyukur, dan jika ditimpa musibah ia sabar.”
Rabi’ah berkata, “Zuhud yang paling utama adalah mengumpulkan sesuatu yang benar dan meletakkannya dengan benar.”
Suyan ats-Tsauri berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan. Bukan dengan memakan makanan yang tidak enak dan mengenakan pakaian yang jelek.”
Imam Ahmad berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan dan tidak serakah terhadap harta yang dimiliki orang lain.”
2. Macam-macam Zuhud.
Menurut sebagian salafush Shalih, zuhud ada tiga:
a. Zuhud terhadap kemusyrikan
b. Zuhud terhadap perkara-perkara yang dilarang
c. Zuhud terhadap perkara-perkara yang diperbolehkan.
Dua macam zuhud pertama adalah wajib, sedangkan yang ketiga bukanlah yang wajib.
Ibnul Mubarak berkata, bahwa Ma’la bin Abi Muthi’ berkata, “Zuhud ada tiga bentuk:
a. Segala perbuatan atau ucapan hanya karena Allah, dan bukan untuk mendaptkan keuntungan duniawi.
b. Hanya membatasi diri pada hal-hal yang bermanfaat.
c. Zuhud terhadap hal-hal yang halal. Ini hanya sebatas anjuran.
Ibrahim bin Adham berkata, “Zuhud ada tiga jenis: zuhud wajib, zuhud keutamaan, dan zuhud keselamatan. Zuhud wajib adalah zuhud terhadap hal-hal yang dilarang. Zuhud keutamaan adalah zuhud terhadap hal-hal yang dibolehkan. Sedangkan zuhud keselamatan adalah zuhud terhadap hal-hal yang syubhat.”
Imam Ahmad Ahmad berkata, “Zuhud ada tiga bentuk:
a. Meninggalkan yang dilarang. Ini adalah zuhudnya orang-orang awam
b. Meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan akan tetapi melebihi kebutuhan. Ini adalah zuhudnya khowash (orang-orang khusus)
c. Meninggalkan hal-hal yang memalingkan dari mengingat Allah. Ini adalah zuhudnya arifin (orang-orang yang memahami ajaran Islam dengan sempurna)
3. Langkah-langkah untuk meraih sifat zuhud.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang muslim, untuk meraih sifat zuhud. Diantaranya:
a. Memikirkan kehidupan akhirat dan hari perhitungan. Dengan begitu ia dapat mengalahkan godaan syetan dan hawa nafsunya. Ia juga tidak tergoda oleh gemerlapnya dunia yang sementara. Diriwayatkan bahwa Haritsah ra. berkata kepada Rasulullah saw., “Pagi ini saya menjadi orang mukmin yang sebenarnya.” Beliau berkata kepadanya: “Seorang mukmin yang benar itu memiliki hakekat. Lantas apa hakekat dari keimananmu?” ia menjawab: “Saya jauhkan diriku dari dunia, hingga di mataku batu dan permata tampak sama. Saya seakan-akan melihat singgasana Tuhanku tampak nyata. Saya seakan-akan melihat penduduk surga bersenang-senang di dalam surga, dan penduduk neraka disiksa di dalam neraka.” beliau berkata, “Hai Haritsah, kamu telah mengetahuinya. Karena itu, tetaplah seperti itu.”
b. Menumbuhkan perasaan bahwa kenikmatan dunia dapat memalingkan hati dari dzikir kepada Allah, dan dapat mengurangi derajat di sisi-Nya. Juga dapat memperlambat proses hisab, karena akan ditanya tentang bagaimana ia mensyukuri nikmat tersebut. Firman Allah: “Kemudian kamu pasti akan ditanya, pada hari itu, tentang kenikmatan [yang kamu megah-megahan di dunia].” (at-Takaatsur: 8)
c. Memahami sepenuhnya bahwa dunia adalah perkara yang tidak ada harganya dan akan cepat sirna jika dibanding dengan apa yang ada di sisi Allah. “Seandainya dunia ini, di sisi Allah, sebanding dengan sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum orang kafir, walau seteguk air.”
d. Selalu menghadirkan perasaan bahwa dunia adalah terkutuk. Rasulullah bersabda, “Dunia adalah terkutuk dan terkutuk juga apa-apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan yang mengikutinya, orang yang berilmu, atau orang yang mencari ilmu.” (HR Ibnu Majah. Sanad hadits ini hasan)
Riwayat lain menyebutkan: “Kecuali hal-hal yang dipergunakan untuk mencari ridla Allah.” Artinya, dunia dan isinya hanya akan menjauhkan manusia dari Allah, kecualii ilmu yang bermanfaat yang dapat membimbing manusia untuk mengenal, mendekat, dan mengingat Allah.
4. Dunia itu sepele, jangan sampai tertipu.
Orang-orang yang zuhud terhadap dunia, akan semakin bertambah kezuhudannya, manakala membaca firman-firman Allah swt. dan hadits-hadits Rasulullah saw. Ia akan mendapatkan bahwa dunia hanyalah sesuatu yang tidak berharga. Karenanya, ia tidak akan tertipu dengan dunia.
Firman Allah, “tetapi kamu [orang-orang] kafir memilih kehidupan dunia. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’laa: 16-17)
“Katakanlah: ‘Kesenangan dunia hanya sebentar. Sedangkan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (an-Nisaa’: 77)
“Maka janganlah sekali-sekali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan [pula] penipu [setan] memperdayakanmu dalam [menaati] Allah.” (Lukman: 33)
“Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia ini [dibandingkan dengan] akhirat, hanyalah kesenangan [yang sedikit].” (ar-Ra’d: 26)
Jabir bin Abdullah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. lewat di sebuah pasar. Sementara orang-orang sibuk dengan urusan dunia. Ketika melihat bangkai seekor anak kambing congek, beliau mengambilnya dan bertanya, “Siapa di antara kalian yang mau membeli ini satu dirham?” Mereka menjawab: “Kami tidak mau. Kami apakan bangkai itu?” Beliau bertanya, “Bagaimana, kalau ini kalian miliki secara gratis?” Mereka menjawab: “Demi Allah, seandainya ia masih hidup, kami tidak tertarik karean kambing itu kambing congek. Apalagi sudah menjadi bangkai.” Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia ini leibih rendah derajatnya daripada bangkai ini, di sisi Allah.” (HR Muslim)
Al-Mustaurid al-Fihri berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah dunia, jika dibandingkan dengan akhirat, melainkan semupama salah seorang di antara kamu memasukkan ujung jarinya ke lautan, maka lihatlah air yang menempel di ujung jari.” (HR Muslim)
5. Cercaan terhadap dunia tidak ditujukan kepada waktu atau tempat. Cercaan itu disebutkan dalam al-Qur’an maupun hadits, bukan tertuju pada masa, yaiti siang dan malam yang saling bergantian hingga hari kiamat. Karena Allah menjadikan keduanya bergantian untuk memberi kesempatan bagi orang yang mau mengambil pelajaran dan mau bersyukur.
Cercaan tersebut juga bukan tertuju pada tempat, yaitu bumi yang telah dijadikan Allah sebagai tempat berpijak. Bukan pula pada tumbuhan dan makhluk-makhluk yang diciptakan Allah sebagai nikmat bagi hamba-hamba-Nya. Bagaimanapun kenikmatan tersebut telah diberikan Allah kepada kita, untuk dimanfaatkan. Bahkan segala kenikmatan yang ada adalah bukti bahwa Allah itu ada dan Mahakuasa.
Akan tetapi cercaan tersebut pada dasarnya adalah cercaan terhadap sikap dan perilaku di dunia. Karena sering kali manusia menyalahi ajaran para Rasul, dan melakukan hal-hal yang menimbulkan mudlarat.
Firman Allah, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudina tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning.” (al-Hadid: 20)
Ibnu Rajab al-Hambali membagi manusia dalam dua golongan:
1. Pertama, golongan yang mengingkari kehidupan setelah mati. Mereka tidak mempercayai semua amalannya di dunia akan mendapatkan balasan. Mereka inilah yang disebut dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, merasa puas dengan kehidupan dunia, merasa tentaram dengan kehidupan ini, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Tempat mereka adalah neraka, sebagai balasan atas apa yang mereka perbuat.” (Yunus: 7)
Mereka hanya mengejar kesenangan dunia, sebelum ajal menjemput mereka. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang [di dunia] dan makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)
Di antara mereka, ada yang menyerukan untuk berlaku zuhud. Mereka berfikir, bahwa banyaknya urusan dunia hanya akan menambah pusing, bahkan manakala hati semakin cinta dunia maka ia akan semakin merasa pedih saat berpisah dengan dunia.
2. Kedua, golongan yang mempercayai adanya kehidupan setelah mati. Mereka meyakini bahwa semua perbuatan di dunia akan mendapatkan balasan. Mereka inilah pengikut para rasul. Golongan ini terbagi menjadi tiga kelompok:
a. Dhalim terhadap dirinya
b. Pertengahan
c. Senantiasa berlomba dalam kebaikan.
Kelompok yang paling banyak adalah kelompk pertama. mereka ini terbuai dengan kesenangan dunia. Bahkan dunia menjadi tujuan utamanya. Mereka tidak menyadari bahwa kenikmatan dunia hanyalah menopang untuk mengumpulkan bekal menuju akhirat, meskipun mereka mengklaim beriman terhadap akhirat.
Sedangkan kelompok kedua adalah orang-orang yang memahami hakekat kehidupan dunia, namun masih terlampau berlebihan dalam mereguk kenikmatan yang dibolehkan. Meskipun tindakan itu tidak berdosa, namun akan mengurangi derajatnya di sisi Allah swt.
Ibnu Umar ra. pernah berkata, “Setiap kali seseorang mendapatkan dunia, niscaya derajatnya di sisi Allah berkurang, meskipun ia orang yang dermawan.”
Qatadah bin Nu’man ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menjauhkan orang tersebut dari dunia, seperti kalian menjauhkan orang sakit dari makanan dan minuman yang membahayakan. (HR Tirmidzi)
Abdullah bin Umar ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin, dan surga bagi orang kafir.” (HR Muslim)
Adapun kelompok ketiga adalah kelompok yang paling sedikit. Mereka inilah yang betul-betul memahami hakekat kehidupan dunia dan mengimplementasikan pemahaman mereka dalam kehidupan nyata.
Mereka memahami bahwa dunia hanyalah ujian bagi manusia, agar dapat diketahui siapa yang paling baik amalnya. Mereka juga memahami semua kenikmatan dunia tidaklah kekal.
Firman Allah, “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan [pula] apa yang di atasnya menjadi rata lagi tandus.” (al-Kahfi: 8)
Karena itu mereka mengambil segala kenikmatan dunia hanyalah sekedarnya. Atau diibaratkan dalam sebuah hadits, seperti sekadar melepas lelah.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda, “Aku tidak ada urusan dengan dunia. Perumpamaanku dengan dunia, ibarat seorang musafir yang bernaung di bawah pohon, setelah itu ia melanjutkan perjalanan.”
Di antara mereka ada yang mengambil kenikmatan dunia hanya sekadar untuk menyambung hidup. Gaya hidup seperti inilah yang sering ditempuh mereka yang juhud.
Di antara mereka ada yang mengambil kenikmatan dunia hanya sekedar yang mereka butuhkan, agar kuat dalam melakukan ibadah kepada Allah.
Rasulullah bersabda, “Aku dikaruniai rasa suka kepada wanita dan wewangian.” (HR Ahmad dan Nasa’i)
‘Aisyah ra. berkata, “Rasulullah saw. sukan kepada wanita, wewangian dan makanan. Ia mendapatkan wanita dan wewangian. Sedangkan makanan beliau tidak mendapatkannya.” (HR Ahmad) beliau juga bersabda, “Dunia adalah sebaik-baik tempat bagi orang yang menjadikannya bekal untuk akhirat demi mencari ridla Tuhannya. Dan dunia adalah seburuk-buruk tempat bagi orang yang terlena dengannya sehingga tercampak di akhirat dan tidak mendapatkan ridla Allah.” (al-Hakim)
6. Cara mendapatkan kecintaan Allah.
Kita bisa mendapatkan mahabbatullah [cinta Allah] dengan bersikap zuhud terhadap dunia, karena Allah mencintai orang yang menaati-Nya. Dengan zuhud terhadap dunia, berarti kita hanya mengisi ruang hati kita dengan kecintaan kita kepada Allah, maka Allah pun akan mencintai kita. Lain halnya dengan orang yang mencintai dunia. Ruang hatinya akan terisi kecintaan dunia, hingga tidak mungkin menyatu dengan kecintaan Allah.
Karena itu dalam riwayat Rasulullah saw. bersabda, “Cinta dunia adalah pangkal segala dosa.”
Allah adalah Dzat yang tiada sekutu bagi-Nya. Karenanya, Dia tidak suka jika ada yang menempati hati hamba-Nya selain Dia.
Andaikan tetap dipaksakan maka orang tersebut telah menyekutukan Allah di dalam hatinya dengan kecintaan terhadap dunia.
Cinta dunia yang dilarang adalah cinta dunia yang membuatnya lupa kepada Allah. Sedangkan cinta dunia yang dimaksud untuk kebaikan dan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, maka hal tersebut sangatlah baik. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik harta yang baik adalah hartanya laki-laki yang baik [shalih]. Harta tersebut digunakan untuk menyambung silaturahim dan untuk melakukan kebaikan.” (HR Ahmad)
7. Cara mendapatkan kasih sayang sesama manusia
Hadits di atas mengajarkan kepada kita bagaimana mendapatkan kasih sayang dari sesama manusia. Yaitu dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ketika kita membiarkan mereka dengan apa yang mereka senangi, maka mereka akan suka kepada kita. Sebaliknya, jika kita menginginkan apa yang mereka senangi, mereka akan membenci kita.
Hasan al-Bashri berkata, “Seseorang akan tetap disenangi sesama manusia selama ia tidak tamak terhadap apa-apa yang mereka miliki. Karena jika ia tamak, maka mereka akan membencinya.”
Seorang Badui bertanya kepada penduduk Bashrah, “Siapakah pemimpin kalian?” Mereka menjawab, “Hasan al-Bashri.” Ia bertanya, “Dengan apa ia menjadi pemimpin kalian?” Mereka menjawab, “Orang-orang membutuhkan ilmunya, sedangkan ia tidak memerlukan dunia yang mereka miliki.” Ia berkata, “Alangkah baiknya orang ini.”
Etika seperti itu perlu sekali dimiliki oleh para pemimpin dan ulama. Ketika pemimpin bersikap zuhud, rakyat akan menyukai dan mengikuti aturannya. Demikian juga ulama, jika mereka zuhud, umat akan menghormati ucapannya dan akan mematuhi nasehatnya.
Ibnu Salam pernah bertanya kepada Ka’ab ra. di hadapan Umar ra., “Apa yang menjadikan ilmu itu cepat hilang, padahal sebelumnya telah dihafal dan dijaga?” Ka’ab ra. menjawab, “Tamak, perangai buruk, dan meminta-minta.” Ibnu Salam berkata, “Benar.”
8. Zuhudnya Rasulullah dan para shahabatnya
Jika kita ingin mengetahui contoh keteladanan dalam masalah zuhud, maka kita akan mendapatkanya pada diri Rasulullah saw. baik ucapannya maupun perbuatannya. Bagaimanapun ucapan dan perbuatan Rasulullah saw. adalah hasil didikan Allah swt.
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu dari kepada mereka apa-apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (ThaaHaa: 131)
Selama hidupnya, sebelum dan sesudah hijrah, dalam keadaan senang maupun susah, Rasulullah saw. senantiasa bersikap zuhud terhadap segala kenikmatan dunia, mengejar kepentingan akhirat dan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Sikap ini kemudian ditiru oleh para shahabat ra. Mereka kemudian menjadi orang-orang yang patut menjadi teladan bagi orang-orang yang berusaha bersikap zuhud.
Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang yang bertanya, “Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” lalu Ibnu Umar menunjukkan Kuburan Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar, seraya berkata, “Mereka yang kamu tanyakan?”
Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata kepada teman-temannya, “Shalat, puasa dan jihad kalian, lebih banyak dari yang dilakukan oleh para shahabat ra. Akan tetapi kebaikan mereka lebih banyak daripada kalian.” Mereka bertanya, “Bagaimana bisa terjadi?” Ia menjawab, “Mereka lebih zuhud dari pada kalian. Mereka mendapatkan banyak harta dunia, akan tetapi harta itu mereka belanjakan untuk perjuangan Islam.”
Abu Sulaiman pernah berkata, “Utsman ra. dan Abdurrahman bin Auf ra. adalah gudang harta. Keduanya membelanjakan harta itu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Semua tingkah lakunya dilakukan sepenuh hati dan didasari pengetahuan yang luas.”
9. Zuhud yang tidak benar.
Zuhud yang benar adalah seperti yang telah dijelaskan di atas. Adapun zuhud yang tidak benar adalah menolak semua jenis kenikmatan dunia dan tidak mau merasakannya sedikitpun. Zuhud dengan pengertian seperti ini dianut oleh sebagian umat Islam pada masa pemerintahan Abasiyah mulai melemah. Mereka mengenakan baju compang-camping dan tidak mau bekerja. Hidup mereka adalah hanya menggantungkan dari shadaqah orang lain. Dengan kondisi seperti ini, mereka mengklaim bahwa dirinya adalah orang yang zuhud. Padahal Islam sama sekali tidak menghendaki perilaku hina yang membawa kehancuran tersebut.
Umat Islam dewasa ini telah bisa menjauhi pemikiran seperti ini, mereka berusaha dan berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan dunia yang halal. Bahkan ada kekhawatiran, berkibat lupa akan akhirat. Karenanya kita harus selalu berusaha mencari sarana yang dapat mengingatkan kita kepada Allah, dan membawa kita kepada sikap zuhud, agar kita selamat dari godaan setan dan tidak terlena dengan dunia.
(dari berbagai sumber/adj)