Syarh Hadits Arbain ke 36: Rangkuman Amal Sholeh
Syarh Hadits Arbain ke 36: Rangkuman Amal Sholeh
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كاَنَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوْتِ اللهِ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُوْنَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَأَ فِي عَمَلِهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
(رواه مسلم)
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya. Siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, akan Allah mudahkan baginya jalan ke syurga. Sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah membaca kitab-kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk disisi-Nya. Dan siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya.
(Riwayat Muslim)
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
URGENSI HADITS
Imam Nawawi berkata, “Ini adalah hadits yang sangat penting. Ia memuat berbagai ilmu, berbagai kaidah dan berbagai adab.” Ibnu ‘Alan menambahkan, “Juga mencakup berbagai fadlail [keutamaan], manfaat dan hukum.
KANDUNGAN HADITS
1. Orang-orang muslim ibarat satu tubuh.
Sesungguhnya antara individu-individu yang berada dalam masyarakat Islam adalah bagaikan satu tubuh. Setiap anggota masyarakat merasakan apa yang dirasakan anggota masyarakat lainnya. Sama-sama merasakan kegembiraan atau kesedihan.
Rasulullah saw. bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayangnya bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka sekujur tubuh akan merasakan kurang tidur dan panas.” (HR Muttafaq ‘alaiHi)
2. Berbagai macam problematika di dunia
Sesungguhnya kehidupan penuh dengan segala problematika, dan seringkali dialami oleh seorang muslim. Karenanya muslim yang lain dituntut untuk membantu menyelesaikan berbagai problematika tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan cara-cara berikut:
a. Menolong dari kedhaliman
Seorang muslim tidak akan mendhalimi saudaranya sesama muslim. Namun ini belumlah cukup untuk mendapatkan keridlaan Allah Ta’ala jika tidak diiringi dengan usaha yang gigih untuk turut menjauhkan saudaranya dari kedhaliman orang lain.
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak mendhaliminya dan tidak membiarkannya didhalimi.” (Muttafaq ‘AlaiHi) riwayat Muslim menyebutkan, “Dan tidak menghinakannya.”
Rasulullah saw. juga bersabda, “Tolonglah saudaramu, baik ia melakukan kedhaliman ataupun ia didhalimi.” Seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulallah, saya memang harus menolongnya ketika ia didhalimi, lalu bagaimana jika ia melakukan kedhaliman, bagaimana saya harus menolongnya?” Rasulullah saw. bersabda, “Kamu menghalanginya untuk tidak berbuat dhalim, berarti kamu telah menolongnya.” (Muttafaq ‘alaiHi)
Terutama jika kedhaliman yang dirasakan oleh saudara kita akibat komitmennya terhadap Islam. Allah befirman: “Jika mereka minta pertolongan kepadamu [urusan pembelaan agama] maka kamu wajib memberikan pertolongan.” (al-Anfaal: 72)
Menolong seorang mukmin diwajibkan dalam kondisi apapun, baik kedhaliman itu kasat mata atau tidak, terhadap jiwa, harta maupun kehormatan.
Sahl bin Hanif ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mengetahui seorang mukmin dihinakan dan ia mampu menolongnya, namun tidak mau menolongnya, maka Allah akan menghinakannya di depan semua makhluk pada hari kiamat.” (HR Imam Ahmad)
b. Membebaskan dari tahanan musuh
Jika seorang muslim ditahan musuh, maka orang-orang muslim yang lain harus bersegera untuk membebaskannya. Jika tidak maka bisa jadi orang-orang kafir itu berupaya menggoyah keyakinannya. Abu Musa al-Asy’ari ra. berakata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang yang sakit, dan bebaskanlah orang yang berada dalam tahanan musuh.” (HR Bukhari dan Abu Dawud)
c. Memberikan hutang jika diperlukan.
Jika seorang muslim mengalami krisis keuangan, dan membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan primernya: sandang, pangan, papan, pengobatan, dan lain sebagainya maka masyarakat muslim wajib untuk segera membantunya. Minimal memberi pinjaman yang baik, sebagai ganti dari praktek riba yang banyak beredar dalam masyarakat dewasa ini. Firman Allah: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (al-Muzzammil: 20)
Dengan demikian akan terealisasi masyarakat yang saling menopang, dan juga akan mendapatkan pahala dari Allah swt. firman Allah swt: “Siapakah yang memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik [menafkahkan hartanya di jalan Allah] maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (al-Baqarah: 245)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menghutangi seorang muslim satu dirham sebanyak dua kali maka baginya pahala satu kali shadaqah.” (HR Ibnu Hibban)
Bahkan sangat boleh jadi pahala yang memberikan pinjaman itu melebihi shadaqah, tentunya sesuai dengan kondisi orang yang memberikan hutang dan yang dihutangi.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pada malam ketika aku melakukan perjalanan dari Makkah ke Baitul Maqdis [Isra’] saya melihat sebuah tulisan di pintu surga: shadaqah akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, sedangkan pemberian utang akan dilipatgandakan delapan belas kali lipat. Lalu aku bertanya, “Wahai Jibril, apa yang menyebabkan pemberian utang lebih baik daripada shadaqah?” Jibril menjawab, “Karena orang yang meminta [memerlukan shadaqah] kadang memiliki [sesuatu yang diberikan kepadanya], akan tetapi orang yang memberikan pinjaman, pada dasarnya memberikan sesuatu karena memang benar-benar dibutuhkan.” (HR Ibnu Majah)
3. Kesusahan pada hari kiamat.
Alangkah perihnya penderitaan di hari kiamat. Karenanya, seorang muslim sangat memerlukan amal shalih agar bisa selamat pada hari itu, hingga bisa menuju surga.
Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Allah mengumpulkan semua makhluk, baik yang hidup di masa lampau ataupun yang akan datang, di satu tempat. Pada hari itu mereka mendengar suara penyeru, pandangan menembus mereka, dan matahari sangat dekat di atas mereka, hingga mereka merasakan kesusahan dan penderitaan yang mereka tidak mampu menahannya. Mereka saling bertanya, “Tidakkah kalian melihat apa yang sedang kalian alami? Tidakkah kalian melihat siapa yang dapat memberikan syafaat kepada kalian di sisi Tuhan kalian?”(HR Bukhari dan Muslim)
‘Aisyah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat semua manusia dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak berkhitan.” Saya kemudian bertanya, “Ya Rasulullah, semua laki-laki dan perempuan, dan mereka saling melihat satu sama lain?” Rasulullah menjawab, “Hari itu sangat dahsyat sehingga mereka tidak akan memikirkan hal lain.” (Muttafaq ‘alaiHi)
Ibnu ‘Umar berkata: Berkenaan dengan firman Allah, ‘[yaitu] hari [ketika] manusia menghadap Tuhan semesta alam.’ (al-Muthaffifiin: 5) Rasulullah saw. bersabda, “Salah seorang di antara kamu berdiri dalam genangan keringatnya sampai tengah-tengah daun telinganya.”
Dalam penderitaan yang dahsyat tersebut, seorang mukmin akan mendapatkan keadilan dari Allah swt. Allah akan membalas apa yang telah mereka kerjakan di dunia. Jika seorang muslim di dunianya mengentaskan orang-orang mukmin dari kesusahannya, maka Allah akan mengeluarkannya dari berbagai kesusahan pada hari kiamat, bahkan berlipat ganda dari apa yang telah dilakukan di dunia.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mengeluarkan seorang muslim dari kesusahan dunia, maka Allah akan mengeluarkannya dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat.”
4. Memudahkan orang yang mendapat kesulitan.
Kesulitan seseorang yang paling berat biasanya adalah berkenaan dengan hutang yang tidak bisa dibayar saat jatuh tempo, bisa juga lantaran banyaknya tanggungan keluarga, akan tetapi tidak mampu memberikannya.
Dalam kondisi apapun, yang pasti umat Islam dituntut untuk mempermudah orang yang mendapat kesulitan, dan ini bisa dilakukan dan dua jalan:
a. Orang yang memberikan pinjaman hutang menangguhkan waktu pembayaran hingga orang yang berhutang memiliki kelonggaran untuk membayarnya. Solusi seperti ini diwajibkan. Allah swt. berfirman: “Dan jika [orang yang berhutang itu] dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…” (al-Baqarah: 280)
b. Memutihkan sebagian atau seluruh hutang [menganggap lunas]. Memberi kemudahan dengan cara seperti ini sifatnya sunnah dan mulia di sisi Allah swt. Dia berfirman: ““Dan jika [orang yang berhutang itu] dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Jika kamu menshadaqahkannya, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 280)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menangguhkan kesulitan orang yang berhutang atau membebaskan hutangnya, maka Allah akan memberi naungan dengan naungan-Nya.” (HR Muslim)
“Barangsiapa yang ingin diselamatkan Allah dari kesusahan pada hari kiamat, hendaklah ia memudahkan kesulitan orang yang berhutang atau memutihkannya [menganggap lunas].” (HR Muslim)
Bahkan sebenarnya Allah memberi balasan di dunia bagi siapa saja yang melakukan hal tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang ingin dikabulkan doanya dan dibebaskan dari segala kesusahannya, hendaklah ia memudahkan orang yang kesulitan dalam membayar hutang.” (HR Ahmad)
5. Kemudahan yang diberikan Allah Ta’ala.
Manusia pasti akan bertemu dengan Allah swt. pada hari dimana harta dan anak-anak tidak ada manfaat lagi. Allah swt. berfirman, “Kerajaan yang haq pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang MahaPemurah. Dan hari itu adalah hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir.” (al-Furqaan: 26)
“Apabila ditiupkan sangkakala, maka waktu itu adalah waktu datangnya hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.” (al-Muddatstsir: 8-10)
Tidak diragukan lagi, bahwa hari itu adalah waktu datangnya hari yang penuh penderitaan bagi orang-orang yang mengingkari berbagai nikmat Allah, tidak beribadah dan tidak bersyukur kepada-Nya. Bahkan sedikitpun tidak peduli memberikan bantuan kepada makhluk Allah swt.
Sedangkan orang-orang yang beriman kepada Allah, beribadah kepada-Nya dengan sebenar-benar ibadah, mensyukuri seluruh nikmat-Nya, dan mau menolong serta mempermudah orang-orang yang berada dalam kesulitan, sebagai refleksi dari pengakuan terhadap karunia Allah yang telah diberikan kepadanya, maka bisa dipastikan Allah akan memberikan ganjaran terhadap kebaikan yang telah dilakukan dengan mengampuni segala kesalahannya dan menjadikan kemudahan baginya pada hari yang penuh kesusahan tersebut.
Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang telah memberikan hutang kepada banyak orang. Ia berkata kepada pembantunya, ‘Jika kamu mendapati orang yang kesulitan membayar hutang, maka maafkanlah dia. semoga Allah akan mengampuni dosa-dosa kita.’ Maka ketika ia bertemu Allah, Allah mengampuni segala dosanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ibnu Mar’ud ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Seorang laki-laki dari umat sebelum kalian dihisab. Tidak didapatkan satu kebaikan pun padanya, kecuali dia suka bergaul dengan orang lain dan suka memberi kemudahan. Dia menyuruh para pembantunya untuk memaafkan orang yang kesulitan.” Maka Allah swt. berfirman, “Kamilah yang lebih berhak untuk memberi maaf daripada orang itu. Sudah, berilah ia maaf.”
6. Di bawah naungan Allah swt.
Sahl bin Hanif ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membantu mujahid di jalan Allah, orang yang mendapat kesulitan dalam hutang, atau budak yang ingin memerdekakan dirinya, niscaya Allah akan menaunginya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan Allah swt.” (HR Ahmad)
7. Keteladanan dalam mentaati Allah swt.
Jika ada teladan dari orang-orang sebelum kita, maka generasi shahabat ra. juga merupakan teladan yang paling baik. Mereka inilah yang benar-benar merefleksikan ayat, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, jika mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasulullah saw. menghukum [mengadili] di antara mereka, mereka berkata, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ (an-Nuur: 51)”
Mereka ini senantiasa memberikan kemudahan kepada orang-orang yang mendapat kesusahan, semua itu dilakukan sebagai refleksi dari akhlak yang mereka dapatkan langsung dari Rasulullah saw. juga hasil dari ketaatan kepada Allah swt.
a. Suatu ketika Ka’ab bin Malik ra. menagih hutang kepada Ibnu Abi Khadrad di masjid. Suara keduanya meninggi hingga didengar Rasulullah saw. maka Rasulullah saw. menyingkap tirai rumahnya dan memanggil, “Wahai Ka’ab.” Ka’ab menjawab, “Labbaik ya Rasulullah.” Rasulullah saw. berkata, “Bebaskanlah separuh hutangnya.” Ka’ab menjawab, “Saya sudah melakukannya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah saw. berkata kepada Ibnu Abi Khadrad, “Berdiri dan bayarlah hutangmu.”
b. ‘Aisyah ra. berkata, “Rasulullah saw. mendengar dua orang yang sedang bertengkar di balik pintu. Orang yang satu meminta kepada yang satunya agar mengurangi seagian beban hutangnya. Akan tetapi orang yang satunya menolak, seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan melakukan hal itu.” Maka Rasulullah saw. keluar dan berkata, “Siapa yang bersumpah dengan nama Allah untuk tidak melakukan suatu kebaikan?” orang tersebut menjawab, “Saya, ya Rasulullah. Hutangnya aku bebaskan. Itu lebih baik.” (Muttafaq ‘alaiH)
Sungguh mereka layak mendapat ridla dari Allah. Mereka adalah generasi yang tidak memerlukan perintah berkali-kali untuk melakukan kebaikan. Mereka merasa cukup dengan isyarat.
8. Menutupi aib sesama muslim.
Banyak nash yang mendorong untuk menutupi aib atau rahasia seorang muslim. Banyak juga nash-nash yang memperingatkan agar tidak mencari-cari aib seorang muslim untuk dipermalukan di depan orang banyak. Salah satu hadits tersebut adalah hadits yang sedang kita bahas ini, dan banyak lagi yang lain, antaranya:
Ibnu ‘Abbas ra. berkata: bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menutup aib saudaranya sesama muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat. Sedangkan barangsiapa yang membuka aib seorang muslim maka Allah akan membuka aibnya sehingga ia akan mendapat malu, walaupun ia di rumahnya sendiri.” (HR Ibnu Majah)
Sebagian salafush shalih berkata, “Saya melihat suatu kaum yang tidak tampak memiliki aib [kekurangan]. Akan tetapi mereka suka menyebut-nyebut kekurangan orang lain, maka orang lain pun suka menyebut aib mereka. di sisi lain saya melihat kaum yang memiliki aib, namun mereka menahan diri untuk tidak menyebutkan aib orang lain, maka aib mereka pun terlupakan.””
Mencari-cari kekurangan sesama muslim adalah satu tanda kemunafikan dan indikasi bahwa keimanan belum mengakar dalam hati orang tersebut.
Ibnu ‘Umar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. naik ke atas mimbar dan memanggil dengan suara keras, “Wahai orang-orang yang telah masuk Islam namun hanya sebatas lisan dan belum meyakini dengan hatinya, janganlah kalian menyakiti orang-orang muslim, jangan menghina mereka, dan jangan mencari-cari aib mereka. karena siapapun yang mencari-cari aib sesama muslim, maka Allah akan mencari-cari aibnya, lalu Allah akan menghinakannya meskipun ia sedang berada di tengah perjalanan.” (HR Tirmidzi)
Abu Barzah al-Aslami ra. berkata, “Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
9. Menutupi aib maksiat.
Jika seorang muslim melihat kesalahan seorang muslim, apakah ia harus merahasiakan atau justru membeberkan kepada orang lain? Masalah ini tergantung pada kondisi orang tersebut.
a. Orang yang diketahui tidak pernah melakukan maksiat.
Artinya orang tersebut tidak pernah diketahui sedikitpun melakukan suatu kemaksiatan. Orang seperti ini jika terperosok dalam suatu kesalahan, maka wajib untuk dirahasiakan. Tidak boleh membeberkan atau membicarakan kesalahan yang telah diperbuat, karena hal ini merupakan ghibah yang dilarang bahkan bisa dikategorikan dalam usaha menyebarluaskan keburukan.
Firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Allah Mahamengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (an-Nuur: 19)
Sebagian ulama berkata, “Bahwa maksudnya adalah menyebarkan perbuatan keji yang dilakukan oleh seorang mukmin karena kealpaan, atau perbuatan keji itu baru sebatas tuduhan yang sebenarnya si tertuduh tidak melakukannya.”
Adapula yang berkata, “Bahwa berusahalah untuk menutupi kemaksiatan, karena tersebarluasnya kemaksiatan merupakan aib bagi umat Islam dan sebaik-baik perkara adalah menutupi aib.”
Yang dimaksud dengan kemaksiatan di sini adalah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak membiasakan diri dengan kemaksiatan. Ini bukan berarti tidak menasehatinya atau tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadapnya, justru itulah yang seharusnya dilakukan karena merupakan hak muslim terhadap muslim lainnya.
b. Orang yang diketahui selalu melakukan kemaksiatan.
Mereka ini adalah orang-orang yang tidak peduli dengan kemaksiatan yang mereka lakukan. Menghadapi orang semacam ini, tidak perlu repot-repot merahasiakan kemaksiatan mereka, bahkan disunnahkan menyebarluaskan di masyarakat, atau bisa jadi wajib, sehingga masyarakat berhati-hati terhadap kejahatan yang dilakukannya.
Jika kejahatan semakin bertambah dan tidak takut samasekali terhadap masyarakat, maka harus dilaporkan kepada pihak yang berwajib agar ia mendapat hukuman atas kejahatannya.
Merahasiakan kejahatan kejahatan seperti ini hanya akan membuat orang-orang seperti ini merasa tenang bahkan kejahatan mereka semakin menjadi-jadi. Mereka membuat kerusakan di muka bumi dan menyebarluaskan kekacauan di tengah masyarakat. Mereka ini sudah selayaknya untuk dicari dan ditangkap agar bibit-bibit fitnah terbasmi dari tengah masyarakat.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai Unais, pergilah untuk menyelidiki wanita ini, jika ia mengaku maka rajamlah ia.” (Muttafaq ‘alaiHi)
Sabda Rasulullah saw. ini sehubungan dengan adanya pengaduan bahwa seseorang telah berzina dengan wanita yang dimaksud dalam hadits.
10. Mengadukan dosa yang telah dilakukan ke hakim (pengadilan)
Seorang muslim jika melakukan suatu kesalahan dan kesalahan yang dilakukan tidak diketahui orang lain, maka ia disunnahkan untuk bertaubat, sedangkan kesalahan yang dilakukan hanya menjadi urusan dia dan Tuhannya.
Abdullah bin Mas’ud ra. menceritakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, saya telah bersenang-senang dengan seorang wanita di perbatasan kota, tetapi saya tidak sampai menyetubuhinya, maka bagaimana ini? Putuskanlah hukuman sekehendakmu. Umar ra. berkata, “Allah sebenarnya telah merahasiakan masalahmu andai kamu juga merahasiakannya.” (HR Bukhari)
Jika ia mengadukan masalahnya kepada hakim, dengan rasa penyesalan, dan ia tidak merincikan kesalahan yang ia lakukan, maka hakim disunnahkan untuk tidak mengorek lebih jauh dosa yang dilakukan. Bahkan sedapat mungkin menyarankan orang bersangkutan untuk merahasiakan dosa yang dilakukannya.
Anas bin Malik ra. menceritakan bahwa saat itu ia bersama Rasulullah saw. lalu datang seorang laki-laki dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah melanggar hukum, maka hukumlah saya.”Rasulullah saw. tidak berkomentar. Saat waktu shalat datang, laki-laki itupun shalat bersama Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw. selesai shalat, laki-laki itu kembali berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah melanggar hukum, maka tegakkanlah kitabullah [ketentuan Allah] kepadaku.” Rasulullah bertanya, “Bukankah kamu sudah shalat bersama kami?” ia menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh Allah telah mengampuni dosamu.”(HR Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah ra. juga menceritakan kisah lain, saat Rasulullah saw. berada di masjid, seorang laki-laki datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya sudah berzina.” Mendengar ucapan tersebut, Rasulullah memalingkan wajah ke arah lain. Laki-laki itu bergeser ke arah pandangan Rasulullah saw. dan menyatakan hal yang sama. Setelah hal itu berulang empat kali, Rasulullah saw. bertanya, “Apakah kamu gila?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Kamu sudah menikah?” ia menjawab, “Sudah.” Rasulullah saw. berkata kepada para shahabat, “Bawalah dia dan rajamlah.” (HR Bukhari)
Ibnu Abbas menceritakan, ketika Maiz bin Malik datang kepada Rasulullah saw. dan mengaku telah berbuat zina, beliau berkata, “Bisa jadi kamu Cuma mencium, menyentuh atau memandangnya.”
Ini semua apabila yang melakukan kemaksiatan adalah dirinya sendiri. Sedangkan jika orang lain yang melakukannya, maka ketentuannya sepertiyang telah diterangkan pada poin 9 di atas.
11. Jika mengetahui orang yang sedang melakukan maksiat.
Perkara-perkara di atas adalah manakala kemaksiatan tersebut telah usai dilakukan. Adapun jika seseorang mengetahui seseorang yang sedang melakukan kemaksiatan, maka ia tidak boleh mendiamkan atau merahasiakannya. Namun justru harus bersegera untuk mencegah, jika mampu. Jika tidak mampu, maka harus segera melaporkan kepada pihak berwajib. Ini sebagai refleksi dari sabda Nabi, “Barangsiapa mengetahui kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangan.”
12. Meminta maaf bagi orang yang melakukan maksiat.
Jika seorang muslim terperosok dalam kesalahan, sedangkan ia tidak pernah terlihat melakukan kemaksiatan dan dalam masyarakat dikenal bahwa dia adalah orang yang istiqamah dan shalih, maka bagi siapa saja yang mengetahui kesalahan tersebut disunnahkan untuk merahasiakan, bahkan dianjurkan untuk meminta maaf kepada orang yang dirugikan.
Rasulullah saw. bersabda, “Lupakanlah kesalahan orang-orang yang dikenal keistiqamahannya.” (HR Abu Dawud)
Namun bila yang melakukan maksiat dikenal dengan kefasikan dan kejahatannya ditengah masyarakat, maka maksiat yang dilakukan orang itu harus diungkap, dan tidak perlu minta maaf. Semua itu dilakukan agar kejahatan terkuak dan orang-orang yang serupa akan merasa takut dan jera. Imam Malik berkata, “Adapun orang yang dikenal dengan kejahatannya, maka tidaka perlu mendapat ampun. Ia harus dijatuhi hukuman.”
13. Ampunan tidak bisa diberikan ketika kesalahan sudah ditangani hakim.
Anjuran untuk mengampuni orang yang berbuat kesalahan di atas berlaku ketika masalahnya belum diangkat ke pengadilan. Jika suatu kasus sudah diangkat ke pengadilan, maka diharamkan memberi ampunan, bahkan hanya sekedar jadi penengah [untuk diringankan hukumnya] merupakan suatu kemaksiatan dan akan mendapatkan dosa.
Imam Malik berkata, “Jika seseorang tidak pernah diketahui menyakiti orang lain, kemudian melakukan satu kesalahan, maka boleh diampuni selama masalahnya belum ditangani pengadilan.”
Dasar dari hal ini adalah hadits yang diceritakan ‘Aisyah, “Suku Quraisy merasa sedih karena ulah wanita Makhzumy yang mencuri. Mereka kemudian bertanya, “Siapa yang bisa melobby Rasulullah saw. agar ia tidak dipotong tangannya?” mereka kemudian menunjuk Usamah bin Zaid ra. karena kedekatannya dengan Rasulullah saw. Usamah ra. lalu melobby Rasulullah saw. Mendengar apa yang diinginkan Usamah, Rasulullah saw. pun bersabda, “Apakah kamu memintakan keringanan berkaitan dengan hukum Allah?” Rasulullah saw. lalu berdiri dan berkhutbah, “Sesungguhnya yang menghancurkan umat sebelum kamu adalah kebiasaan mereka yang mengampuni pencuri dari golongan bangsawan. Sedangkan jika yang melakukan pencurian adalah rakyat jelata, maka hukum mereka tegakkan. Demi Allah andai Fathimah putri Muhammad mencuri, tentu akan aku potong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam suatu riwayat disebutkan, ketika selendang Shafwan Ibnu Umayah ra. dicuri, Rasulullah memerintahkan untuk memotong tangan pencuri. Shafwan lalu berkata kepada Rasulullah saw., “Saya tidak menginginkan itu ya Rasulullah, biarlah selendang saya itu saya shadaqahkan kepadanya.” Rasulullah saw. menjawab, “Mengapa tidak engkau lakukan itu sebelum membawanya [pencuri] kemari.” (HR Nasa’i, Ibnu Majah, Malik, hadits Mursal)
Malik ra. meriwayatkan dalam al-Muwatha’, Sesungguhnya Zubair bin Awam ra. bertemu dengan seorang lelaki yang menangkap pencuri dan hendak membawanya kepada penguasa. Maka Zubair memohonnnya untuk memaafkan pencuri itu. Namun laki-laki itu berkata, “Tidak, hingga saya tiba di tempat sultan.” Zubair berkata, “Jika kamu telah tiba di tempat sultan, maka Allah melaknat orang yang memintakan ampun dan yang memberi ampun.”
Adapun hikmahnya jika pengampunan bisa diberikan ketika kasus sudah berada di tangan hakim, maka kerusakan akan semakin merajalela di tengah masyarakat. Segala hak akan terabaikan, para pelaku kerusakan dan perbuatan keji lainnya akan merasa di atas angin. Mereka akan berusaha mengendalikan hakim. Wibawa hakim akan semakin tidak ada sama sekali di hadapan mereka. dalam kondisi seperti ini harapan orang-orang yang berusaha menegakkan kebaikan akan semakin berkurang, bahkan masyarakat benar-benar berada di tepi jurang kehancuran.
Karenanya para hakim diminta untuk tegas dalam masalah ini, dengan meneladani Rasulullah saw. dalam berbagai sikapnya sebagaimana di atas.
Firman Allah: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (an-Nuur: 63)
14. Penafsiran lain.
Ibnu Hajar al-Haitamy memberikan penafsiran lain tentang “menutupi atau merahasiakan.” Beliau berkata, “Yang dimaksud dengan menutupi adalah menutupi aurat yang konkrit maupun abstrak dengan mencarikan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Misalnya menolong seseorang yang ingin menikah, dengan cara membantu secara langsung. Atau mencarikan pekerjaan bagi saudaranya yang sedang menganggur, atau yang lainnya.”
Alangkah indahnya jika kaum muslimin saat ini memahami makna ini. Karena masyarakakt akan terhindar dari kejahatan dan kerusakan, terutama yang kita saksikan dari kenakalan para pemuda dan pemudi yang disebabkan ketidakmampuan mereka untuk menikah dan banyaknya rintangan yang dihadapi oleh generasi muda dalam usaha untuk membentengi diri mereka dari kemaksiatan. Sementara kaum muslimin tenggelam dalam kelalaian, dikuasai oleh budaya impor dan tradisi usang yang bertentangan dengan Islam. Mereka dikuasai oleh budaya bermegah-megahan, saling membanggakan diri dan ambisi mencari popularitas. Maka jadilah para pemuda kita yang suci sebagai korban. Padahal Rasulullah telah berpesan kepada umat ini agar memperhatikan generasi muda. Untuk itu umat Islam dituntut untuk berusaha memberikan kecukupan kebutuhan materi dan ruhani kepada anak-anaknya, sehingga agama dan masyarakatnya terjaga, serta mendapatkan keselamatan di sisi Tuhannya.
15. Tolong menolong antara sesama muslim, dan pertolongan Allah kepada mereka.
16. Teladan yang baik dan salafush shalih.
Rasulullah adalah teladan dalam setiap apa yang ia serukan. Beliau adalah contoh yang paling agung dalam memberikan bantuan terhadap para shahabatnya, terutama shahabat yang memerlukan.
Putri Khabab bin Arut ra. berkata, “Suatu ketika Khabab pergi berperang. Lalu Rasulullah mengunjungi kami, bahkan beliau sempat memerah susu hingga memenuhi mangkuk besar. Setelah Khabab datang, ia memerahnya, dan sejak itu, susu hasil perahan kembali seperti semula.” (HR Ahmad)
Demikian pula para shahabat Nabi. Mereka adalah murid-murid yang cerdas, dan pengikut yang baik. Mereka ikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. begitu juga generasi setelah mereka. semoga Allah meridlai mereka semua.
Abu Bakar ra. misalnya, sebelum menjadi khalifah beliau suka membantu memerah susu di kampung yang banyak ditinggal pergi kaum lelakinya. Ketika beliau diangkat menjadi khalifah, salah seorang wanita dari kampung tersebut berkata, “Sekarang dia tidak akan memerah susu lagi.” Ketika ucapan itu sampai ke telinga Abu Bakar, iapun berkata, “Tidak…saya berharap apa yang saya alami sekarang tidak membuatku berubah dari apa yang telah aku kerjakan.”
Umar bin Khaththab juga demikian. Ia sering menolong janda tua, mengambil air untuk mereka pada malam hari. Suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah ra. melihat Umar memasuki rumah seorang wanita pada malam hari. Paginya Thalhah menyelidiki rumah tersebut, ternyata di rumahnya ada seorang wanita tua lumpuh, dan buta. Thalhah kemudian bertanya kepada wanita tadi, “Apa yang dilakukan oleh laki-laki tadi malam?” ia menjawab, “Dia sejak lama mengunjungiku. Memberi ini dan itu, membantuku, dan meringankan kesulitanku.” Mendengar jawaban itu semua Thalhah lalu mencerca dirinya sendiri, “Celaka engkau ya Thalhah, pantaskah engkau menyelidiki Umar?!”
Abu Wail ra. berkeliling kepada wanita-wanita tua yang ada dikampungnya setiap hari. Dia membelikan kebutuhan mereka dan membantu keperluan mereka yang lain.
Mujahid berkata, “Saya menemui Ibnu Umar dalam sebuah perjalanan untuk melayani kebutuhannya. Namun justru dialah yang melayani kebutuhanku.”
Hasan al-Bashri mengutus murid-muridnya kepada seorang laki-laki. Dia berkata kepada mereka, “Datangilah Tsabit al-Banani dan ajaklah dia pergi bersama kalian.” Maka mereka datangi ke Tsabit, namun dia berkata kepada mereka, “Saya sedang beriktikaf.” Mereka kembali kepada Hasan dan menceritakan hal itu. Beliau berkata kepada mereka, “Katakanlah kepadanya, ‘Wahai A’masy,tidakkah kamu tahu bahwa berjalanmu untuk memenuhi kebutuhan saudaramu sesama muslim lebih baik daripada haji setelah haji.’” Mereka pun kembali kepada Tsabit, dan mengatakan apa yang diperintahkan oleh Hasan. Maka Tsabit meninggalkan iktikafnya dan pergi bersama mereka.
17. Jadilah pembela, niscaya kamu mendapat pahala.
18. Jalan menuju surga.
Islam adalah syarat untuk mendapatkan keselamatan di sisi Allah swt. Sementara Islam tidak akan terlaksana kecuali dengan ilmu, karena seseorang tidak akan mengenal Allah kecuali dengan ilmu. Maka ilmu adalah jalan yang paling pendek yang bisa mengantarkan seseorang kepada Allah swt.
Tidak heran jika Rasulullah saw. menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah jalan menuju surga. Ini jelas disebutkan dalam hadits di atas, “Dan barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk memperoleh ilmu, maka Allah akan memberikan jalan kemudahan baginya menuju surga…”
Bukti terkuat atas apa yang dikatakan di atas, bisa dilihat bahwa Allah swt. menjadikan wahyu pertamnya kepada Rasulullah saw. dengan menitik beratkan masalah ilmu dan sarana untuk mendapatkan ilmu. Juga mengingatkan betapa pentingnya ilmu untuk mengenali kebesaran Sang Pencipta dan rahasia penciptaan.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 1-5)
19. Kedudukan ilmu dalam Islam.
Karena ilmu merupakan jalan menuju surga, maka ilmu mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam. Karena itu orang-orang yang berilmu menempati kedudukan yang tinggi di sisi Allah swt. bahkan mendekati kedudukan para Nabi. Allah swt. berfirman: “Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (al-Mujadilah: 11)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham maupun dinar, akan tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang cukup.” (HR Tirmidzi dan lainnya)
20. Hukum menuntut ilmu.
Mencari ilmu hukumnya wajib, yang terinci dalam dua kategori:
a. Fardlu ‘Ain
Semua muslim diwajibkan untuk menuntutnya. Yaitu hal-hal yang harus diketahui setiap muslim, agar aqidahnya tidak sesat, ibadahnya benar, dan perilakunya sesuai dengan syariat Allah. Inilah yang diperintahkan dalam ayat-Nya,
“Maka ketahuilah, bahwa tiada Ilah [yang Haq] melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Ini juga yang dimaksud dalam hadits Nabi, “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.” (HR Ibnu Majah)
b. Fardlu kifayah
Yaitu menuntut ilmu dengan maksud untuk mendalami berbagai ilmu syar’i dan mengambil spesialisasi terhadap suatu ilmu yang dibutuhkan masyarakat muslim, untuk menjaga eksistensinya dan demi terciptanya negara yang penuh dengan kebenaran dan keadilan, hingga menjadi negara yang kuat dan berwibawa serta tidak ada satupun musuh yang berani mengacaukannya.
Inilah yang diisyaratkan dalam al-Qur’an:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)
Mendalami ilmu seperti di atas, atau memiliki spesialisasi ilmu tertentu disunnahkan bagi setiap muslim. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah, “Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (ThaaHaa: 114)
Juga sabda Nabi dalam sebuah riwayat, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi baik maka Allah akan memberi pengetahuan dalam agama.” (Muttafaq ‘alaiH)
21. Ilmu adalah cahaya.
Telah kita ketahui bahwa tidak ada jalan untuk mengenal Allah dan mendapatkan keridlaan-Nya serta mendapatkan keselamatan di sisi-Nya pada hari kiamat kecuali melalui ilmu. Ilmu adalah cahaya yang menerangi gelapnya kebodohan, dan menepis segala keraguan.
Allah berfirman: “Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Maidah: 16)
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya [al-Qur’an], mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-A’raaf: 157)
Hanya ulama yang ikhlas dan beramallah yang dapat mewarisi ilmu Nabi. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dirham ataupun dinar, akan tetapi mereka mewariskan ilmu.” (HR Tirmidzi dan lainnya)
Merekalah yang menjadi panji kebenaran dan menara yang menerangi umat dalam mengarungi kehidupan, sehingga semuanya mendapatkan kebahagiaan, kemenangan, dan kemuliaan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan ulama di muka bumi, bagaikan bintang gemintang di langit yang menerangi gelapnya daratan dan lautan. Jika bintang telah padam, dikhawatirkan manusia akan sesat.” (HR Ahmad)
Karena itu, selama masih ada ilmu, masyarakat masih tetap akan berada dalam petunjuk dan kebaikan. Akan tetapi keberadaan ilmu sangat tergantung dengan keberadaan ulama. Jika ulama telah tiada, ilmu pun sirna, masyarakatpun akan sesat dan melewati jalan kesesatan, bergelimang ke dalam perbuatan keji dan menuju kehancuran.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw.bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu begitu saja dari manusia. Akan tetapi mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama. Apabila ulama tidak tersisa lagi, mereka mengangkat pemimpin yang bodoh. Mereka menanyakan tentang satu perkara yang dijawab dengan tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaq ‘alaiHi)
22. Ya Allah tambahkanlah ilmuku.
Seorang muslim tidak berhenti pada suatu tahapan yang dianggap telah sempurna. Akan tetapi ia terus berusaha menambah keutamaan. Jika ilmu yang bermanfaat adalah perlambang dari keutamaan, maka seorang muslim tidak akan pernah puas dengan ilmu. Bagaimana akan puas jika tauladannya, Rasulullah saw. merealisasikan perintah Allah dalam firman-Nya, “Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’” (ThaaHaa: 114)
Setelah turun ayat ini beliau bersabda: “Tidak ada keberkahan dengan terbitnya matahari jika hari ini aku tidak menambah ilmu yang dapat mendekatkan diriku kepada Allah.”
Kenikmatan mencari ilmu juga mendorong untuk senantiasa mencari dan mencari. Ini adalah realita yang telah dinyatakan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: “Dua kegemaran yang tidak akan pernah terpuaskan, menuntut ilmu dan mencari dunia.” (HR al-Bazzar dan lainnya)
Dalam mencari dan menambah ilmu tergantung pada taufik dari Allah swt. Jika menuntut ilmu dilakukan dengan ikhlas dan demi mencari keridlaan Allah untuk menjaga akhlaknya dan supaya orang lain bisa mendapatkan manfaatnya, maka Allah akan memudahkan untuk mendapatkan ilmu yang dimaksudkan. Bahkan Allah juga akan membukakan berbagai ilmu yang bermanfaat lainnya.
Firman Allah: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 17)
23. Mengamalkan ilmu, mendapatkan ilmu yang lain.
Bimbingan dari Allah sampai pada ujungnya dan kemudahan yang diberikan-Nya sampai pada puncaknya ketika ilmu bersatu dengan amal, perkataan sesuai dengan perbuatan. Allah swt. berfirman: “Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu.” (al-Baqarah: 282)
Seringkasi seorang muslim mempelajari ilmu dan mengamalkannya, maka ia telah menapak jalan menuju surga dan lebih dekat kepada Allah. Semakin seorang hamba dekat dengan Allah, maka ia akan semakin mendapatkan taufik untuk mendapatkan ilmu. Dengan demikian menambah ilmu, disertai dengan amal akan semakin menambah hidayah dan ketakwaan. Demikianlah para ulama tak henti-hentinya mencari ilmu dan mengamalkannya, sehingga mendapatkan hidayah yang sempurna dan berhasil mendapatkan tempat yang tinggi di sisi Allah swt.
Firman Allah: “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik kesudahannya.” (Maryam: 76)
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka [balasan] ketakwaannya.” (Muhammad: 17)
24. Peringatan bagi ilmu yang tidak diamalkan.
Telah kita ketahui bahwa ulama bagaikan pelita yang menerangi sekitarnya. Jika mereka tiada, maka masyarakat akan tersesat dari jalan yang lurus. Lebih bahaya lagi manakala mereka menyimpang dari jalur yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. mereka tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki, sehingga perbuatan mereka tidak sama dengan apa yang diucapkan dan menjadi teladan yang tidak baik bagi masyarakat dengan melakukan maksiat kepada Allah, mengajarkan kemunkaran dan tidak melakukan hal-hal yang ma’ruf. Inilah yang telah diperingatkan secara tegas oleh Allah swt. dalam ayatnya:
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaaf: 3)
“Mengapa kamu suruh orang lain [mengerjakan] kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri [kewajibanmu] sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab [Taurat]? Maka tidakkah kamu berfikir?” (al-Baqarah: 44)
Usamah bin Zaid berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Pada hari kiamat ada seorang laki-laki yang dicampakkan ke nereka, lalu seluruh isi perutnya terburai keluar. Ia kemudian berguling-guling seperti keledai yang memutari penggilingan. Melihat hal tersebut penghuni nereka bertanya kepadanya, “Ya fulan, apa yang terjadi dengan dirimu? Bukankah kamu telah melakuan amar ma’ruf nahi munkar?” Ia menjawab, “Memang, saya telah melakukan amar ma’ruf tetapi saya tidak melaksanakannya. Saya juga telah melakukan nahi munkar tetapi saya sendiri justru melakukan kemunkaran itu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. juga bersabda, “Pada malam saya diisra’kan, saya bertemu dengan sekelompok orang yang menggunting lidahnya dengan gunting dari api, lalu saya bertanya kepada Jibril, “Siapa orang-orang itu wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah penceramah dari umatmu. Orang-orang yang berkata tetapi tidak berbuat.” (dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas ra. dengan sedikit perbedaan redaksi)
Riwayat Baihaqi menyebutkan, “Mereka membaca kitabullah akan tetapi tidak mengamalkannya.”
Diriwayatkan bahwa dalam sabdanya yang lain, “Tidaklah kaki seorang hamba melangkah [pada hari kiamat] kecuali akan ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang ilmunya bagaimana ia mengamalkannya, tentang hartanya darimana ia dapat dan kemana ia infakkan, tentang badannya untuk apa ia gunakan.” (HR Tirmidzi)
25. Menyebarkan ilmu.
Islam mendorong untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya.
Allah berfirman: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,” (at-Taubah: 122)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Allah menjadikan tampak indah seseorang yang mendengar dariku sesuatu lalu ia sampaikan kepada orang lain apa yang ia dengar. Boleh jadi orang yang kepadanya disampaikan [sabadaku] lebih paham daripada orang yang mendengar.” (HR Tirmidzi)
Penyebaran ilmu juga merupakan amalan yang baik dan pahalanya akan terus mengalir meskipun telah meninggal. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika anak Adam meninggal dunia, maka semua amalnya akan terputus kecuali tiga perkara: shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR Muslim dan lainnya)
“Shadaqah yang paling afdlal adalah seseorang mempelajari suatu ilmu, lalu mengajarkannya kepada saudaranya sesama muslim.” (HR Ibnu Majah)
26. Ikhlas dalam menuntut ilmu.
Bagi orang yang menuntut ilmu hendaknya mengikhlaskan niat hanya karena Allah. Di samping itu juga harus diingat bahwa semua itu hendaknya dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kemurnian agamanya dan mengajarkan kepada orang lain. Jangan sampai mempunyai keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang sifatnya duniawi: kedudukan, materi, ketenaran, bangga diri dan lain sebagainya. Karena semua itu hanya akan membuat ilmu yang dimilikinya sia-sia belaka dan bahkan akan mendapatkan murka dari Allah swt.
Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang mestinya mencari keridlaan Allah, namun ia mencarinya hanya karena menginginkan kepentingan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan harum baunya surga pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud)
Ka’ab in Malik ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mencari ilmu untuk membantah ulama, mendebat orang-orang yang bodoh, dan agar dipuji orang, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” (HR Tirmidzi dan lainnya)
Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya manusia pertama yang diputuskan perkaranya pada hari kiamat adalah seorang belajar ilmu dan mengajarkannya, dan membaca al-Qur’an. Orang itu didatangkan, lalu diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diperoleh. Allah swt berfirman, “Apa yang kamu perbuat dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, “Saya mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan saya membaca al-Qur’an karena-Mu.” Allah swt. berfirman, “Bohong. Kamu menuntut ilmu agar dikatakan sebagai orang yang pandai membaca al-Qur’an.” Kemudian Allah memerintahkan agar orang itu diseret dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim dan lainnya)
27. Jangan malu mengatakan tidak tahu.
Termasuk tanda keikhlasan bagi orang yang menuntut ilmu atau mengajarkannya adalah tidak malu untuk mengatakan tidak tahu. Hal ini justru menunjukkan keyakinan dan kebenaran apa yang dikatakan.
Banyak ulama yang ditanya tentang berbagai masalah, dia menjawab sebagian masalah yang diketahuinya, namun ia lebih banyak menjawab tidak tahu. Sehingga dikatakan bahwa “tidak tahu” adalah setengah dari ilmu. Karena ia merupakan tanda bahwa pengucapnya adalah orang yang terpercaya dalam kata-katanya. Rasulullah saw. sendiri, meski derajatnya begitu tinggi, namun ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahui beliau secara jujur mengatakan, “Tidaklah yang ditanya lebih tahu daripada yang bertanya.” Semua itu memang wajar, karena Allah sendiri berfirman: “….dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (al-Israa’: 85)
28. Adab menuntut ilmu.
Termasuk adab menuntut ilmu adalah berusaha untuk menemui para ulama, menyertai mereka baik ketika mereka menetap maupun mereka sedang bepergian, membantu menyiapakan keperluannya serta berusaha mendapatkan ilmu dan berbagai adab darinya.
Allah swt. berfirman, ketika menceritakan Nabi Musa as. bersama Nabi Khidhir as, “Musa berkata kepada Khidhir, ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang diajarkan kepadamu.” (al-Kahfi: 66)
29. Dzikir kepada Allah swt.
Dzikir kepada Allah merupakan ibadah yang paling mulia. Allah berfirman: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Ankabuut: 45)
Hal ini dikarenakan dzikir kepada Allah dapat membawa seseorang untuk senantiasa komitmen terhadap hukum-hukum Allah, dalam setiap sisi kehidupannya. Dengan dzikir seseorang akan senantiasa merasakan bahwa ia selalu diawasi Allah swt. merasa bahwa Allah sangat dekat dengan dirinya sehingga semua aspek kehidupannya benar, baik yang berhubungan dengan Allah atau hubungannya dengan sesama makhluk. Karena itulah seorang muslim diperintahkan untuk selalu berdzikir dalam segala situasi dan kondisi.
Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah [dengan menyebut nama] Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (al-Ahzab: 41-42)
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat[mu], ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring.” (an-Nisaa’: 103)
30. Dzikir yang paling baik adalah Kitabullah.
Sebaik-baik dzikir kepada Allah adalah dengan membaca al-Qur’an. Karena disamping berupa dzikir, di dalam al-Qur’an terdapat berbagai hal yang harus dipegang teguh oleh seorang muslim atau perkara yang harus dijauhi, sehingga itu semua sebagai acuan untuk melangkah agar bisa mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.
Firman Allah: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (an-Nahl: 44)
“Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.” (Yaasiin: 69)
“Ini adalah peringatan. Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar [disediakan] tempat kembali yang baik.”
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 17)
31. Memakmurkan masjid.
Tempat yang paling baik untuk berdzikir kepada Allah untuk membaca al-Qur’an dan mengajarkan ilmu adalah masjid, karena masjid adalah rumah Allah. Memakmurkan masjid adalah dengan ilmu [belajar dan mengajar] dan dzikir, di samping juga dengan berbagai ibadah lainnya; shalat, i’tikaf dan lain sebagainya.
Firman Allah: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (an-Nuur: 36-38)
32. Membaca al-Qur’an merupakan ibadah yang unik.
Membaca al-Qur’an merupakan ibadah yang diperintahkan, dan al-Qur’an akan menjadi pemberi syafaat bagi orang yang membacanya di sisi rabb-nya kelak.
Firman Allah: “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabbmu [al-Qur’an].” (al-Kahfi: 27)
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab [al-Qur’an] dan dirikanlah shalat…” (al-Ankabuut: 45)
“Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri. Dan supaya aku membacakan Al Quran (kepada manusia). Maka Barangsiapa yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan Barangsiapa yang sesat Maka Katakanlah: “Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan”. (an-Naml: 91-92)
‘Aisyah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang membaca al-Qur’an dan menghafalnya akan bersama para malaikat yang mulia. Sedangkan orang yang membaca al-Qur’an dan mengulang-ulanginya dengan susah payah, maka ia mendapat dua pahala.”(HR Bukhari dan Muslim)
Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, dan kebaikan itu akan dilipatgandakan dengan sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan “alif laam miim” satu huruf, akan tetapi laif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR Tirmidzi)
Abu Umamah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah al-Qur’an, karena al-Qur’an pada hari kiamat akan datang kepada orang yang membacanya untuk memberi syafaat.” (HR Muslim)
Yang lebih unik lagi karena mendengar bacaan al-Qur’an tidak kalah pahalanya dengan membacanya. Bahkan mendengar bacaan al-Qur’an merupakan sarana untuk memperoleh pengampunan dari Allah swt.
Firman Allah: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (al-A’raaf: 104)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang mendengar ayat al-Qur’an, maka baginya kebaikan yang dilipatgandakan. Sedangkan bagi yang membacanya akan mendapatkan cahaya pada hari kiamat.”(HR Ahmad)
Karena itulah Rasulullah senang mendengarkan bacaan al-Qur’an dari para shahabatnya.
Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah al-Qur’an kepadaku.” Saya berkata, “Saya membaca al-Qur’an kepadamu, padahal al-Qur’an turun kepadamu?” Rasulullah saw. menjawab, “Saya rindu untuk mendengarkannya dari orang lain.” Saya lalu membaca surah an-Nisaa’, ketika sampai pada ayat, “Maka bagaimanakah [halnya orang-orang kafir nanti], apabila kami mendatangkan seorang saksi [rasul] dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu [Muhammad] sebagai saksi atas mereka itu [sebagai umatmu].” (an-Nisaa’: 41) Rasulullah berkata kepadaku: “Cukup.” Saat itu saya melihat kedua mata beliau meneteskan air mata.” (HR Bukhari dan Muslim)
33. Cahaya di atas cahaya.
Jika dalam membaca al-Qur’an dan saat mendengarkannya diiringi dengan usaha untuk mentadabburi dan memahami dengan penuh kekhusyukan, maka pahala yang didapat akan semakin berlipat ganda, cahayanya akan semakin bertambah. Semua itu adalah isyarat dari ketiggian kedudukan di sisi Allah swt.
Allah swt. berfirman: “Inilah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mereka mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Shaad: 29)
Ini juga diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah riwayat hadits bab, “Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di rumah-rumah Allah [masjid], membaca kitab Allah, dan mempelajarinya di antara mereka…”
Keutamaan membaca al-Qur’an ini tetap akan didapat bagi siapapun yang mau melakukannya seperti dalam hadits di atas di manapun, termasuk para wanita yang lebih disunnahkan untuk tetap tinggal di rumah.
Tidak kita pungkiri bahwa memang para lelaki yang melakukannya di masjid lebih mendapat keutamaan, karena mereka sekaligus memakmurkan masjid dan lebih bisa konsentrasi karena jauh dari hal-hal yang bisa menyibukkan fikiran, bahkan masjid juga tempat yang suci, jauh dari kotoran dan benda najis lainnya.
34. Karunia Allah dan keridlaan-Nya.
35. Ajaran Islam adalah ajaran yang manusiawi dan adil.
36. Perlindungan atas dasar iman.
37. Menuju kebahagiaan.
Jika ketinggian derajat hanya bisadicapai dengan amalan, perlindungan dan pertolongan Allah hanya bisa diperoleh dengan ketakwaan, syafaat dan perlindungan dari Nabi Muhammad saw. terkait dengan kesempurnaan iman, maka bagi manusia yang berakal sehat akan bersegera melakukan amalan-amalan shalih dan tidak lagi bergantung pada keningratan nenek moyangnya.
Firman Allah: “Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (an-Najm: 39)
Dengan demikian janji Rabbnya akan terealisasi, ketika syarat di atas telah terpenuhi, firman Allah: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
Seorang muslim tidak akan rela dengan perlindungan apapun kecuali Allah swt., Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Dengan begitu ia akan memutuskan semua pelindung dan tidak memenuhi kriteria tersebut dan akan memutuskan hubungan dalam bentuk apapun dengan orang-orang kafir.
Firman Allah: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (Ali ‘Imraan: 28)
Jika ini dilakukan, mereka akan mendapatkan kemenangan dari segala kekuatan kufur. Firman Allah: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah[423] Itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 56)
“Tetapi [takutlah Allah], Allah-lah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.”(Ali ‘Imraan: 150)
38. Hal-hal yang bisa diambil pelajaran dari hadits di atas.
a. Pahala yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sesuai dengan apa yang telah dilakukan seseorang. Memberikan kemudahan dibalas dengan kemudahan, memberikan bantuan dibalas dengan memberikan bantuan, menutup aib dibalas dengan menutupi aib dan begitu seterusnya.
Abi Sa’id al-Khudry ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang memberi makan seorang yang lapar, Allah akan memberinya makan pada hari kiamat dengan buah dari surga. Barang siapa yang memberi minum orang yang haus, Allah akan memberinya minum pada hari kiamat dari khamr murni yang diberi tanda khusus dari minyak kasturi. Dan barangsiapa yang memberi baju seseorang yang tidak memiliki baju, Allah akan memakaikan baju padanya dengan baju hijau dari surga.” (Muttafaq ‘alaiH)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah juga bersabda, “Allah akan mengasihi kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki kasih sayang.” (Muttafaq ‘alaiHi)
b. Berbuat baik kepada makhluk merupakan jalan untuk mendapatkan kecintaan Allah, karena, “Semua makhluk adalah tanggungan Allah, maka yang paling dicintai Allah adalah yang paling memberi manfaat kepada tanggungan-Nya.” (HR Thabrani)
Biasanya seorang tuan suka berbuat baik kepada orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Sedangkan yang disebutkan dalam hadits berupa meringankan kesulitan orang lain dan yang lainnya adalah bentuk perbuatan baik kepada makhluk dan memberi manfaat kepada mereka. maka, itu semua adalah jalan untuk memperoleh kecintaan Allah.
c. Kabar gembira bagi seorang mukmin yang suka memudahkan, menolong maupun memberi bantuan menyelesaikan kesulitan mukmin lainnya, ia akan mati dalam keimanan dan akan mendapatkan kemudahan dan pertolongan Allah pada hari kiamat kelak.
d. Apa yang disebutkan tentang meringankan kesulitan dan yang lainnya adalah umum, terhadap orang muslim dan non muslim yang tidak melakukan permusuhan kepada kaum muslimin. Berbuat baik kepada mereka diperintahkan, bahkan hal itu pun berlaku pula bagi semua makhluk yang bernyawa.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala sesuatu…” juga bersabda:
“Dalam setiap jantungyang berdenyut terdapat pahala.”
e. Mewaspadai riya’, dalam menuntut ilmu agar segala sesuatu yang telah diusahakan tidak sia-sia.
f. Senantiasa memohon pertolongan dan kemudahan dari Allah, karena hidayah hanyalah pemberian Allah semata, ketaatan hanyalah karena izin dan kemudahan yang telah diberikan-Nya. Tanpa itu, semua yang kita lakukan tidak akan bermanfaat.
g. Senantiasa membaca al-Qur’an, dan berkumpul dalam rangka membaca, mempelajari, memahami, mengamalkan, dan mengajarkannya. Juga tidak lupa membacanya ketika memulai acara-acara tertentu, dan terhadap orang yang telah meninggal dunia.
h. Bersegera untuk bertaubat, istighfar, dan melakukan amal shalih. Allah swt. berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali ‘Imraan: 133-134)