Takhrij Hadits
Takhrij Hadits
Apakah yang dimaksud dengan takhrij hadits?
Takhrij secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kerja “خرّج, يخرّج, تخريجا”. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan, takhrij adalah: “menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat; atau menjelaskan suatu masalah[1]”
Sedangkan menurut pengertian terminologis, takhrij berarti;
التخريج هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته بسنده. ثم بيان مرتبته عند الحاجة المراد بالدلالة على موضع الحديث
“Menunjukkan letak Hadits dari sumber-sumber aslinya (sumber primer), untuk kemudian diterangkan rangkaian sanadnya, dan dinilai derajat haditsnya jika diperlukan[2].
Jadi, ada dua hal yang dikaji dalam takhrij hadits. Pertama, menunjukkan letak hadits dalam kitab-kitab primer hadits. Kedua, menilai derajat hadits tersebut jika diperlukan.
Apakah tujuan dari takhrij hadits?
Tujuan utama dari takhrij hadits adalah mengetahui derajat suatu hadits, apakah maqbul atau mardud. Sebenarnya takhrij tidak hanya untuk hadits saja, tetapi juga kepada perkataan yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in.
Apakah faedah dari takhrij hadits?
Dapat diketahui banyak-sedikitnya jalur periwayatan suatu hadist yang sedang menjadi topik kajian.
Dapat diketahui status hadist, apakah shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian juga akan dapat di ketahui istilah hadist mutawatir, masyhur, aziz, dan gharib-nya.
Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadist tersebut adalah makbul (dapat di terima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadist tersebut tidak dapat diterima (mardud).
Dapat diketahui pula hadits yang semula dhaif dari satu jalur, ternyata ada jalur lain yang hasan atau shahih.
Ilmu apa saja yang harus dikuasai jika ingin melakukan takhrij?
Pertama yang jelas adalah Bahasa Arab. Karena literatur yang dipakai dalam takhrij hadits adalah kitab-kitab yang berbahasa Arab. Kedua, adalah ilmu Ushul al-Hadits atau lebih dikenal dengan Ilmu Mushthalah Hadits. Ketiga, lebih spesifik lagi adalah Ilmu at-Tarajum dan Ilmu al-Jarhi wa at-Ta’dil. Ilmu ini berkaitan dengan rawi dari setiap hadits yang akan kita takhrij, masa hidupnya dan penilaian ulama terhadapnya. Itulah kualifikasi dasar yang harus dimiliki seseorang jika ingin mencoba mentakhrij hadits Nabi[3].
Apakah takhrij hadits termasuk ilmu baru dalam Islam?
Bisa dikatakan iya, bisa tidak. Dikatakan ilmu baru karena memang ilmu ini belum berkembang pada masa awal Islam. Tetapi bisa dikatakan tidak baru, karena semangat dasar takhrij sudah ada sejak masa shahabat.
Takhrij hadits dimaksudkan agar seseorang berhati-hati dalam menerima informasi hadits, apakah memang benar dari Nabi Muhammad atau palsu.
Bisa dikatakan Abu Bakar as-Shiddiq adalah orang pertama dari shahabat Nabi yang selektif dalam menerima informasi hadits dari Nabi, jika beliau tidak langsung mendengarnya. Hal itu sebagaimana komentar dari ad-Dzahabi (w. 748 H)[4]:
كان أول من احتاط في قبول الأخبار
(Abu Bakar as-Shiddiq) adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima kabar dari Nabi. Sampai akhirnya takhrij hadits ini berkembang pesat pada abad ke-8 dan ke-9 Hijriyyah.[5]
Sebutkan contoh kitab-kitab takhrij dari ulama terdahulu?
Sebagaimana disebutkan diatas, masa keemasan ulama dalam menulis kitab takhrij adalah abad ke-8 dan ke-9 Hijriyyah.
Taghliq at-Ta’liq, karya: al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Kitab ini menerangkan tentang hadits-hadits yang disinyalir mu’allaq dalam kitab Shahih Bukhari yang jumlahnya sekitar 1341 buah hadits.
Al-‘Ujab fi Takhrij ma Yaqulu fihi at-Tirmidizi, karya al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H).
Nushbu ar-Rayah Li Ahadits al-Hidayah, karya: Abdullah bin Yusuf az-Zailaghi (w. 726 H). Kitab ini merupakan takhrij dari kitab al-Hidayah karya Ali bin Abu Bakar al-Marghinani (w. 593 H).
Al-Badru al-Munir, karya: Sirajuddin ibn al-Mulaqqan (w. 804 H). Kitab ini mentakhrij hadits-hadits yang ada di kitab as-Syarhu al-Kabir atau Fathu al-Aziz bi Syarhi al-Wajiz karya Abdul Karim ar-Rafi’i (w. 623 H). Kitab as-Syarhu al-Kabir ini merupakan syarah dari kitab al-Wajiz karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).
At-Talkhish al-Habir, al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Kitab ini juga mentakhrij hadits-hadits yang ada di kitab as-Syarhu al-Kabir atau Fathu al-Aziz bi Syarhi al-Wajiz karya Abdul Karim ar-Rafi’i (w. 623 H).
Al-Mughni an Hamli al-Asfar di al-Asfar, karya: al-Hafidz Zainuddin Abu al-Fadhl al-Iraqi (w. 806 H). Kitab ini mentakhrij kitab Ihya’ Ulum ad-Din karya Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).
Al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytahirah ala al-Alsinah, karya: Syamsuddin as-Sakhawi (w. 902 H). Kitab ini mentakhrij hadits-hadits yang masyhur dalam masyarakat.
Sebutkan kitab-kitab yang membicarakan teori takhrij?
Ushul at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, karya: Mahmud at-Thahhan.
Kasyfu al-Litsam an Asrar Takhrij Sayyid al-Anam, karya: Abdul Maujud Muhammad Abdullatif.
Thuruq Takhrij Haditsi Rasulillah, karya: Abdul Mahdi bin Abdul Qadir.
[1] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyariq, 1986), h. 172.
[2] Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah Al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Maa’rif, 1991), h. 10.
[3] Hatim bin Arif al-Auni, at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Maktabah Syamilah), h. 2
[4] Syamsuddin ad-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffadz, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1419 H), juz 1, h. 9
[5] Muhammad bin Dhafir as-Syahri, Ilmu at-Takhrij wa Daurhu fi Hifdzi as-Sunnah an-Nabawiyyah, h. 6