Tantangan Dakwah Masa Kini

oleh: Syarif Hidayat[1]

Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap individu muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ – صحيح مسلم – (ج 1 / ص 167)

“Barangsiapa salah seorang diantara kamu melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka hendaklah mengubahnya dengan lidahnya, dan jika belum mampu juga maka ubahlah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya keimanan.” (H.R. Muslim)

Kegiatan dakwah yang kian hari kian mendapat tantangan yang sangat kompleks, mesti ditunaikan dengan beragam kekuatan dan potensi. Paling tidak tantangan yang menghadang lajunya perkembangan dakwah islamiyah di Indonesia menurut karakteristiknya ada dua bagian besar, yaitu klasik dan kontemporer. Klasik berupa praktek-praktek ritual yang bercampur dengan animism, dinamisme, singkritisme, dan pengakuan sebagai nabi (palsu). Sedangkan yang kontemporer berbentuk paham-paham keagamaan yang bercorak sekularisme, pluralism, liberalism, dan feminism.[2]

Selain itu, ada juga gerakan-gerakan yang sengaja dimunculkan untuk memecah belah persatuan umat Islam, semisal gerakan Syi’ah, Ahmadiyah, dan NII.

Gerakan-gerakan pemikiran dan aliran-aliran dhal mudhil diatas menjadi problematika dakwah yang cukup serius untuk dihadapi dan diselesaikan oleh para juru dakwah dan juga organisasi-organisasi keagamaan yang tumbuh subur di Indonesia.

Dari sekian tantangan dakwah yang akan diuraikan pada makalah ini hanya yang terkait dengan tantangan kontemporer.

A. Sekularisme

Sekuralisme merupakan pemahaman mengenai aktivitas keagamaan yang muncul pada abad pertengahan. Paham secular ini menurut M. Natsir tidak sekedar muncul secara alamiah sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,[3] melainkan dilakukan juga secara aktif oleh sejumlah kalangan. Menurutnya, seperti dikutip oleh Adian Husaini, sekularisasi otomatis akan berdampak pada pendangkalan aqidah. Berkenaan dengan hal ini, Dr. Mohammad Natsir mengungkapkan demikian:

“Namun demikian, proses sekularisasi yang terjadi seperti “alamiah” sejalan dengan perkembangan zaman diatas, rupanya dihidup-hidupkan oleh sekelompok orang. Saya sebut “dihidup-hidupkan” karena memang kita mengetahui ada usaha aktif untuk terjadinya proses sekularisasi ini. Di tahun tujuh-puluhan kita ingat adanya “gerakan sekularisasi” dalam rangka apa yang mereka sebut “pembaharuan” Islam. Demikian pula yang terjadi akhir-akhir ini, ada “reaktualisasi” ada “kontekstualisasi”, dan sebagainya. Jadi memang ada usaha aktif. Proses sekularisasi ini amat nyata terutama dalam system pendidikan kita. Pelajaran atau pemahaman agama diberikan bukan saja dalam content terbatas, tetapi diberikannya pelajaran lain yang isinya mengaburkan atau bahkan bertentangan dengan tujuan pendidikan manusia religious. Proses sekularisasi juga menggunakan jalur publikasi dan media massa. Baik dalam bentuk buku-buku maupun tulisan. Dalam kaitan ini saya mengajak pada para intelektual muslim khususnya untuk memikirkan bagaimana menghadapi arus sekularisasi ini, baik yang terjadi secara alamiah maupun yang disengaja.”[4]

Bagi M. Natsir, sekularisasi dipandang sebagai tantangan yang snagat serius bagi kebangkitan Islam. Bahkan, pada hampir sebagian besar hidupnya (1908-2008), Natsir telah melibatkan diri secara aktif dalam upaya menanggulangi dan melawan gerakan sekularisasi. Sebelum masa kemerdekaan, bersama gurunya, A. Hassan, Natsir sudah terlibat polemic dengan Soekarno. Ketika itu Soekarno melontarkan gagasannya soal hubungan agama dan Negara di majalah “Pandji Islam” – pimpinan tokoh Masyumi Zainal Abidin Ahmad – nomor 12 dan 13 tahun 1940. Ia menulis sebuah artikel berjudul “Memudahkan Islam”.

Dalam tulisannya, Bung Karno menyebut sekularisasi yang dijalankan Kemal Attaturk di Turki – yakni pemisahan agama dari Negara – sebagai langkah “paling modern” dan “paling radikal”. Kata Bung Karno, “Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-mansuia Turki sendiri, dan tidak kepada Negara. Maka oleh karena itu, salahlah kita kalau kita mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia.” Menurut Soekarno, apa yang dilakukan Turki sama dengan yang dilakukan Negara-negara Barat. Di negar-negara seperti Inggris, Perancis, Belanda, Belgia, Jerman, dan lain-lain, urusan agama diserahkan kepada individu pemeluknya, agama menjadi urusan pribadi, dan tidak dijadikan sebagai urusan Negara, tidak dijadikan sebagai agama resmi Negara. Jadi, simpul Soekarno, buat keselamatan dunia dan buat kesuburan agama – bukan untuk mematikan agama itu – urusan dunia diberikan kepada pemerintah, dan urusan agama diberikan kepada yang mengerjakan agama. – “Geef den Keizer wat des Keizers is, en God wat Godes is,” kata Soekarno mengutip Bijbel.[5]

Untuk itu, Mohammad Natsir beserta A. Hassan terus menerus menepis pemahaman secular yang dilontarkan oleh Bung Karno di dalam majalah tersebut. Sebab, pada dasarnya Islam tidak pernah memisahkan antara urusan agama dan Negara. Bahkan, dengan tegas A. Hassan menyebutkan, Ir. Soekarno tidak mengerti bahwa Eropa memisahkan agama Kristen dari Staat (Negara), tidak lain karena di dalam agama Kristen tidak ada ajaran (konsep) tentang pemerintahan. Dari zaman Nabi Isa ‘alaihi al-salâm hingga sekarang ini belum pernah terdengar bahwa suatu Negara menjalankan hokum agama Kristen. Demikian kritik pedas A. Hassan.

Jika dilihat dari akar bahasa, sekularisme berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “zaman sekarang ini” (the present age).[6] Sedangkan secara terminology sekularisme mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi Negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefiniskan sebagai “a system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship”. Yang bila diterjemahkan secara bebas berarti, sebuah system doktrin atau praktis yang menolak bentuk apapun dari keimanan dan upacara keagamaan. Jadi secara sederhana bisa dikatakan, sekularisme adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlu al-Din ‘an al-hayat), yakni pemisahan agama dari segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari Negara dan politik. Agama hanya diakui eksistensinya pada urusan privat atau pribadi saja, hubungan manusia dengan Tuhannya. Tapi agama tidak boleh dibawa-bawa ke wilayah public, yang mengatur hubungan antarmanusia, seperti masalah social, politik, ekonomi, dan sebagainya.[7]

Dampak pemahaman secular ini yang paling nyata adalah hilangnya sikap amr ma’ruf nahyi munkar. Karena dengan dalih hak asasi individu, orang akan semena-mena untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban agamanya dan leluasa melanggar aturan-aturan Allah. Padahal ketika kegiatan amr ma’ruf nahyi munkar ditinggalkan maka yang terjadi adalah lenyapnya keberkahan wahyu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا عظَّمَتْ أمتى الدنيا نُزِعَتْ منها هيبةُ الإسلامِ وإذا تَرَكَت الأمرَ بالمعروفِ والنهىَ عن المنكرِ حُرِمَتْ بركةُ الوحى وإذا تسابَّتْ أمتى سقطتْ من عينِ الله (الحكيم عن أبى هريرة) جامع الأحاديث – (ج 3 / ص 368)

“Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabut kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amr ma’ruf nahyi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka mereka akan jatuh dalam pandangan Allah.” (H.R. al-Hakim dari Abu Hurairah)

Untuk itu, pantas bila kita diharamkan berpaham secular itu. Berdakwah kepada orang-orang secular kadang jauh lebih berat daripada berdakwah pada orang awam.

B. Liberalisme

Tolak Sepilis

Setali tiga uang, jika masyarakat sudah memisahkan urusan agama dengan Negara, dengan anggapan bahwa agama hanya urusan privasi masing-masing, sementara Negara urusan public yang harus lepas dari campur tangan Tuhan, maka tentunya yang muncul kemudian adalah paham liberalism dalam beragama.

Istilah liberalism berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’.[8] Sebagai adjektif, kata ‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feudal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi terbuka (open-minded). Dalam politik liberalism dimaknai sebagai system dan kecenderungan yang berlawanan dengan, dan menentang mati-matian sentralisasi dan absolutism kekuasaan. Munculnya republic-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalism ini.[9]

Menurut Syamsuddin Arif, pakar sejarah Barat biasanya menunjuk moto Revolusi Prancis pada 1789 – kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberisme modern. Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalism yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas –apapun namanya – adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan, dan harga diri manusia – yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya.

Liberalism yang telah dikampanyekan sejak abad 15 M oleh Locke, Hume (Inggris), Rousseau, Diderot (Prancis), Lessing dan Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja.[10]

Menurut Adian Husaini, munculnya liberalism yang seperti itu di Barat tidak terlepas dari tiga factor. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (western civilazion) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut ‘zaman kegelapan’ (the dark ages). Mereka menyebutnya juga sebagai ‘zaman pertengahan’ (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat. Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi.

Kedua, problem teks Bible. Masyarakat Kristen Barat menghadapi problem otensitas teks dengan kitabnya. Perjanjian Lama (Hebrew Bible) sampai saat ini tidak diketahui siapa penulisnya. Padahal tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan bahwa Moses penulisnya. Sementara itu di dalam teksnya terdapat banyak kontradiksi. Demikian halnya dengan Perjanjian Baru (The New Testament). Ada dua problem terkait dengan keberadaannya, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan yang lainnya. Tidak kurang dari sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek (Yunani), yang berbeda satu dengan lainnya.

Ketiga, problem teologis Kristen. Sebuah kenyataan di Barat yang sulit dielakkan adalah, Tuhan menjadi sesuatu yang problem. Menjelaskan bahwa Tuhan itu 1 dalam 3, 3 dalam 1, dan menjelaskan apa sebenarnya hakikat Yesus, telah membuat seorang cendikiawan seperti Dr. C. Greonen Ofh “lelah” dan “menyerah”. Ia lalu menyimpulkan bahwa Yesus memang misterius.[11]

Berangkat dari ketiga fakta diatas, wajar bila penganut Nashrani kemudian menjadi liberal dalam hidup dan keberagamaannya. Sebut saja umpamanya, di Amsterdam Belanda, 200 tahun lalu 99 % penduduknya beragama Kristen. Kini tingal 10 % saja yang dibaptis dan suka pergi ke gereja. Mayoritas mereka sudah secular, di Prancis yang 95 % penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 %-nya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali. Di Jerman pada tahun 1987, menurut laporan Institute for Public Opinion Research, 46 persen penduduknya mengatakan bahwa agama sudah tidak diperlukan lagi. Di Finlandia, yang 97 % Kristen, hanya 3 % yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 % Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 % yang rutin ke gereja tiap minggu. Masyarakat KristenEropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur – terdapat 30.000 pendeta. Tetapi, jumlah paranormal (witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Prancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Sejumlah gereja sudah mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya Homosexuality and a Pastoral Church, mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengizinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

Sejumlah Negara Barat juga telah melakukan “revolusi jingga”, mereka secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Di berbagai Negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan, begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal system dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relative: diserahkan pada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku. Maka, orang berzina, menenggak alcohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya tidak lagi dianggap suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh Negara. Bahkan, para pastor gereja Anglikan di New Hampshire Amerika Serikat telah sepakat mengangkat homoseks bernama Gene Robinson pada November 2003 sebagai uskup.[12]

Dengan demikian, tidak berlebihan jika pada akhirnya liberalism yang kebablasan tersebut mengajarkan tiga hal, yaitu: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thinking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Dan ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama (loose adherence to and free exercise of religion). Yang pertama berarti kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “Berpikir koq dilarang,” ujar golongan ini. Yang kedua lebih dikenal dengan istilah ‘sufasta’iyah”, yang terdiri dari skeptisisme, agnostisme, dan relativisme. Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan adalah menisfestasi nifaq, dimana seseorang tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya sudah tidak committed lagi pada ajaran agama.[13]

Sayangnya, paham liberalism ini lambat laun namun pasti merembes pada pola pikir umat Islam. Menurut Nirwan Safrin, benih kemunculan liberalisasi di dunia Islam bisa ditelusuri ketika Daulah Utsmaniyah mulai mengadopsi beberapa pemikiran Barat. Ketika Kerajaan ini gagal mempertahankan beberapa wilayah kekuasaannya, para pemegang kekuasaan telah berusaha membawa masuk segala kemajuan teknologi militer Barat ke Negara mereka. Ini disebabkan adanya dugaan bahwa kekalahan mereka yang mereka alami disebabkan lemahnya kekuatan militer mereka. Tetapi importasi alat-alat militer saja tidak cukup, karena mereka juga memerlukan tenaga-tenaga mahir untuk mengendalikan peralatan tersebut. Akhirnya merekapun mengirimkan putra terbaik mereka ke institute-institut pendidikan di Barat. Sekembalinya ke tanah air, mereka mendapati bahwa keahlian yang mereka miliki tidak dapat dipraktekkan melainkan system pendidikan yang ada juga diperbaharui. Akhirnya, dilakukan pembaruan pendidikan. Tapi itu saja tidak cukup, karena ia juga menuntut pembaruan politik. Begitulah seterusnya hingga akhirnya Kemal Attartuk membubarkan Daulah Islamiyyah ‘Utsmaniyyah dan mendirikan Negara Turki berideologikan sekularisme. Proses westernisasi pun berjalan dan segala yang berbau agama segera dihabisi. Hamper satu abad Negara Turki secular sudah berdiri namun hingga hari ini sebuah Turki tidak ada bedanya dengan Negara dunia ketiga yang lain, terbelakang dari segi pendidikan dan terpuruk dari sisi ekonomi.[14]

Dari kasus Turki ini kita mendapat pelajaran bahwa sekularisasi dan liberisasi ala Barat tidak akan mengundang barakah hidup, sehingga alih-alih memperoleh kemajuan, malah yang terjadi keterpurukan dan ketertinggalan dalam berbagai lini kehidupan.

C. Pluralisme

Tantangan dakwah yang tidak kalah berbahaya selain sekularisme dan liberalism adalah pluralism. Karena pada hakikatnya ketiga istilah ini merupakan satu mata rantai yang saling menghubungkan antara satu dengan lainnya. Maksudnya, bila orang telah dihinggapi paham secular dan berpola piker liberal tentu sudah dapat ditebak, bahwa iapun akan menjadi pluralis dalam pandangan keberagamaannya. Ia pasti mempunya worldview yang tidak islami lagi.

Menurut Anis Malim Thoha dalam Tren Pluralisme Agama, kata pluralism berasal dari plural yang berarti jamak atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris, pluralism memiliki tiga pengertian, yaitu (1) Pengertian kegerejaan, dengan makna [i] sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, dan atau [ii] memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. (2) Pengertian filosofis, yaitu system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. (3) Pengertian sosio-politis, yaitu suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik bercorak ras, suku, aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.

Ketika disandingkan dengan agama, maka pengertian ‘pluralisme agama’ adalah koeksistensi (kondisi hidup bersama) antar-agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas, dengan tetap mempertahankan cirri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing.[15]

Namun pada tataran implikasinya, pluralism agama didasarkan pada asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Dengan kata lain, menurut mereka, agama adalah persepsi relative terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga dengan demikian setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu cirri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.[16]

Pemahan seperti ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an ayat 18 yang mengatakan bahwa agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam. Allah berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ [آل عمران/19]

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Q.S. Ali Imran, ayat 19)

Dan firman-Nya di dalam ayat yang lain:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ [آل عمران/85]

“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran, ayat 85)

Dengan demikian, jelas kesesatan dan kekeliruan pluralism agama itu. Bagi kita semua harus menjadi keyakinan yang sebenar-benarnya bahwa hanya Islam agama yang benar, dan tidak sama dengan agama-agama yang lain.

D. Syi’ah

Karbala: Peringatan puncak hari Asyura Syiah

Selain kesesatan dan tantangan pemikiran seperti diuraikan diatas, gerakan-gerakan penghambat dakwah dan perusak aqidah umat pun bisa berbentuk aliran-aliran (sekte-sekte) yang sengaja dibuat agar umat menjadi kacau pemikiran dan aqidahnya. Dan diantara aliran dimaksud adalah Syi’ah.

M. Abdurrahman menjelaskan bahwa mengetahui akidah Syiah dipandang perlu, sebab banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan Syiah, terutama Syiah Imamiah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dengan Islam Sunni, dianggap sekedar masalah khilafiyah furu’iyyah (perbedaan cabang agama) seperti perbedaan antara NU, Muhammadiyah, Persis, AL-Irsyad, PUI, SI, Jamatul Wasliyah, atau Ormas Islam, dan Mathlaul Anwar atau antara madzhab Syafi’i dengan madzhab Maliki, Hanafi atau Hambali.[17]

Oleh karena itu, ketika kini kembali meletus konflik Syiah—seperti kasusu Smapang Madura–,banyak yang berpendapat agar perbedaan itu tidak perlu dibesar-besarkan. Jika antara NU dan Muhammadiyah atau antara ormas Islam lainnya bisa dirapatkan dengan pendekatan “ukhuwah Islamiyah”, lalu mengapa dengan Syiah tidak bias, padahal juga “sama-sama” Islam, ungapnya. Inilah pendapat yang sering terdengar.

Sebenarnya, harapan itu tidak salah, bahkan memang seharusnya perlu diadakan pendekatan dakwah supaya penganut Syiah kembali ke dalam ajaran Islam yang benar. Namun demikian, pada dasarnya, penilaian semacam ini banyak bermula dari ketidak tahuan mereka terhadap hakikat ajaran Syiah Imamiah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) yang kini mulai merebak lagi di Indonesia, bahkan telah masuk ke pelosok-pelosok desa dan kampung-kampung untuk “mencuci otak” umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dengan mengatasnamakan “ahlul bait”. Sementara itu, ajaran Syiah yang ditawarkan itu sangat beda dengan Islam yang selama ini kita ketahui, pelajari dan yakini, sebagai suatu ajaran berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Ungkapan ini di kalangan Syiah Rafidhiyah masih depertanyakan Quran yang mana dan Saunnah yang mana karena kalangan ini menganggap al-Quran yang asli tidak ada, hilang dan masih ghaib dibawa oleh imam Mahdi (al-maz’um-al-mutazhar).

Mengetahui akidah Syiah dipandang perlu, sebab banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan Syiah, terutama Syiah Imamiah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dengan Islam Sunni, dianggap sekedar masalah khilafiyah furu’iyyah (perbedaan cabang agama) seperti perbedaan antara NU, Muhammadiyah, Persis, AL-Irsyad, PUI, SI, Jamatul Wasliyah, atau Ormas Islam, dan Mathlaul Anwar atau antara madzhab Syafi’i dengan madzhab Maliki, Hanafi atau Hambali.

Oleh karena itu, ketika kini kembali meletus konflik Syiah—seperti kasusu Smapang Madura–,banyak yang berpendapat agar perbedaan itu tidak perlu dibesar-besarkan. Jika antara NU dan Muhammadiyah atau antara ormas Islam lainnya bisa dirapatkan dengan pendekatan “ukhuwah Islamiyah”, lalu mengapa dengan Syiah tidak bias, padahal juga “sama-sama” Islam, ungapnya. Inilah pendapat yang sering terdengar.

Sebenarnya, harapan itu tidak salah, bahkan memang seharusnya perlu diadakan pendekatan dakwah supaya penganut Syiah kembali ke dalam ajaran Islam yang benar. Namun demikian, pada dasarnya, penilaian semacam ini banyak bermula dari ketidak tahuan mereka terhadap hakikat ajaran Syiah Imamiah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) yang kini mulai merebak lagi di Indonesia, bahkan telah masuk ke pelosok-pelosok desa dan kampung-kampung untuk “mencuci otak” umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dengan mengatasnamakan “ahlul bait”. Sementara itu, ajaran Syiah yang ditawarkan itu sangat beda dengan Islam yang selama ini kita ketahui, pelajari dan yakini, sebagai suatu ajaran berdasarkan al-Quran dan Sunnah. Ungkapan ini di kalangan Syiah Rafidhiyah masih depertanyakan Quran yang mana dan Saunnah yang mana karena kalangan ini menganggap al-Quran yang asli tidak ada, hilang dan masih ghaib dibawa oleh imam Mahdi (al-maz’um-al-mutazhar).[18]

Kata Syiah berasal dari bahasa Arab yang artinya pengikut, pendukung dan pecinta, juga dapat diartikan kelompok. Kata syiah dinisbahkan kepada kelompok-kelompok di masa sahabat. Awal mulanya setelah Rasulullah SAW wafat, benih-benih perpecahan mulai ada, sehingga saat itu ada kelompok-kelompok atau syiah-syiah yang mendukung seseorang, tapi sifatnya dukungan politik.. Misalnya sebelum Sayyidina Abu Bakar di baiat sebagai Khalifah, pada waktu itu ada satu kelompok dari orang-orang Ansor yang berusaha ingin mengangkat Saad bin Ubadah sebagai Khalifah. Tapi dengan disepakatinya Sayyidina Abu Bakar menjadi Khalifah, maka bubarlah kelompok tersebut.

Begitu pula saat itu ada kelompok kecil yang berpendapat bahwa Sayyidina Ali lebih berhak menjadi Khalifah dengan alasan karena dekatnya hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah SAW. Tapi dengan baiatnya Sayyidina Ali kepada Khalifah Abu Bakar, maka selesailah masalah tersebut. Oleh karena dasarnya politik dan bukan aqidah, maka hal-hal yang demikian itu selalu terjadi, sebentar timbul dan sebentar hilang atau bubar. Begitu pula setelah Sayyidina Ali dibaiat sebagai Khalifah, sementara saat itu Muawiyah memberontak dari kepemimpinan Kholifah Ali, maka hal yang semacam itu timbul lagi, sehingga waktu itu ada kelompok Ali atau Syiah (kelompok, pembela) Ali dan ada kelompok Muawiyah atau syiah Muawiyah.

Istilah syiah pada saat itu tidak hanya dipakai untuk pengikut atau kelompok Imam Ali saja, tapi pengikut atau kelompok Muawiyah juga disebut syiah.
Argumentasi tersebut diperkuat dengan apa yang tertera dalam surat perjanjian atau Sohifah At-Tahkim (arbitrasi) antara Imam Ali dengan Muawiyah yang dalam perjanjian itu disebutkan:

هذا ما تقاضى عليه على بن ابى طالب ومعاوية بن ابى سفيان وشيعتهما )اصول مذهب الشيعة(

“Ini adalah apa yang telah disepakati oleh Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abi Sufyan dan kedua Syiah mereka. (Ushul Mazhab Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah)

Dengan demikian penyebutan kata syiah pada saat itu memang sudah ada, tetapi hanya dalam arti bahasa dan dasarnya hanya bersifat politik dan bukan landasan aqidah atau mazhab. Adapun aqidah para sahabat saat itu, baik Imam Ali dan kelompoknya maupun Muawiyah dan kelompoknya, mereka sama-sama mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, seperti sekarang dijalankan oleh Ahli Sunnah wal Jamaah. Ini dikuatkan oleh keterangan Imam Ali seendiri dalam suratnya kepada Ahli Amsor, beliau menceritakan mengenai apa yang terjadi antara beliau (Imam Ali) dengan Ahli Syam (Muawiyah) dalam perang Siffin sbb:

كان بدء امرنا انا التقينا والقوم من اهل الشام، والظاهر ان ربنا واحد، ونبينا واحد، ودعوتنا فى الاسلام واحد، ولا نستزيدهم فى الاسلام بالله والتصديق برسوله، ولايستزيدوننا، الامر واحد الا ما اختلفنا فيه من دم عثمان، ونحن منه براء ( نهج البلاغة-٤٤٨)

“Adapun mas’alah kita, yaitu telah terjadi pertempuran antara kami dengan ahli syam (Muawiyah dan Syiahnya). Yang jelas Tuhan kita sama, Nabi kita juga sama dan da’wah kita dalam Islam juga sama. Begitu pula Iman kami pada Allah serta keyakinan kami kepada Rasulullah, tidak melebihi iman mereka, dan iman mereka juga tidak melebihi iman kami. Masalahnya hanya satu, yaitu perselisihan kita dalam peristiwa terbunuhnya (Kholifah) Usman, sedang kami dalam peristiwa tersebut, tidak terlibat.”.(Nahjul Balaghoh – 448)

Selanjutnya, oleh karena permasalahannya hanya dalam masalah politik yang dikarenakan terbunuhnya Khalifah Usman RA dan bukan dalam masalah aqidah, maka ketika Imam Ali mendengar ada dari pengikutnya yang mencaci maki Muawiyah dan kelompoknya, beliau marah dan melarang, seraya berkata:

انى اكره لكم ان تكونوا سبابين ، لكنكم لو وصفتم اعمالهم، وذكرتم حالهم، كان اصوب فى القول وابلغ فى العذر، وقلتم مكان سبكم اياهم، اللهم احقن دماءنا ودماءهم، واصلح ذات بيننا وبينهم ( نهج البلاغة -٣٢٣)

:“Aku tidak suka kalian menjadi pengumpat (pencaci-maki), tapi andaikata kalian tunjukkan perbuatan mereka dan kalian sebutkan keadaan mereka, maka hal yang demikian itu akan lebih diterima sebagai alasan. Selanjutnya kalian ganti cacian kalian kepada mereka dengan : Yaa Allah selamatkanlah darah kami dan darah mereka, serta damaikanlah kami dengan mereka (Nahjul Balaghah – 323)

Demikian pengarahan Imam Ali kepada pengikut dan pecintanya. Jika mencaci maki Muawiyah dan pengikutnya saja dilarang oleh Imam Ali, lalu bagaimana dengan orang-orang Syiah sekarang yang mencaci maki bahkan mengkafirkan Muawiyah, bahkan merebet kepada para sahabat besar, seperti al-Khulafa al-Rasyidin dan oramg Muhajirin dan Anshar yang sudah mendapat pujian Allah SWT, seperti tercantum pada surat al-Taubah/9: 100 dan para tabiin, ulama, dan kaum Muslimin yang sekarang. Layakkah mereka disebut sebagai pengikut Imam Ali?

Kembali kepada pengertian Syiah yang dalam bahasa Arabnya disebut Syiah –lughatan (menurut bahasa), sebagaimana yang kami terangkan di atas, maka sekarang ini ada orang-orang Sunni yang beranggapan bahwa dirinya otomatis Syiah. Hal mana tidak lain dikarenakan kurangnya pengetahuan mereka akan hal tersebut. Sehingga mereka tidak tahu bahwa yang sedang kita hadapi sekarang ini adalah Madzhab Syiah atau aliran syiah atau lengkapnya adalah aliran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (pengakuannya-Ja’fariyyah) yang sering juga disebut Syiah-Rafidhiyah.
Oleh karena itu, istilah Syiah – lughatan tersebut tidak digunakan oleh orang-orang tua kita (Salafunassholeh). Mereka takut masyarakat awam tidak dapat membedakan antara kata syiah dengan arti kelompok atau pengikut dengan aliran syiah atau Madzhab Syiah. Hal mana karena adanya aliran-aliran syiah yang bermacam-macam, yang kesemuanya telah ditolak dan dianggap sesat oleh Salafunassholeh.

Selanjutnya salafunassholeh menggunakan istilah Muhibbin bagi pengikut dan pecinta Imam Ali dan keturunannya dan istilah tersebut digunakan sampai sekarang.
Ada satu catatan yang perlu diperhatikan, oleh karena salafunassholeh tidak mau menggunakan kata Syiah dalam menyebut kata kelompok atau kata pengikut dikarenakan adanya aliran-aliran Syiah yang bermacam-macam, maka kata syiah akhirnya hanya digunakan dalam menyebut kelompok Rofidhah, yaitu orang-orang Syiah yang dikenal suka mencaci maki Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Sehingga sekarang kalau ada yang menyebut kata Syiah, maka yang dimaksud adalah aliran atau madzhab Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah. Memang dengan tidak adanya penerangan yang jelas mengenai Syiah Lughotan dan Syiah Madhhaban, maka mudah bagi orang-orang Syiah untuk mengaburkan masalah, sehingga merupakan kesempatan yang baik bagi mereka dalam usaha mereka mensyiahkan masyarakat Indonesia yang dikenal sejak dahulu sebagai pecinta keluarga Rasulullah SAW.

Perkembangan selanjutnya para ulama memberi nama kelompok syiah yang ekstrem dengan sebutan Rafidhah dikarenakan mereka mendatangi Zaid bin Ali bin Al- Hussain seraya berkata “Berlepas dirilah kamu dari Abu Bakar dan Umar, dengan demikian kami akan bergabung bersamamu” kemudian Zaid menjawab “mereka berdua adalah sahabat kakek saya, saya tak akan bias berlepas diri dari mereka, bahkan akan selalu bergabung dengannya, dan berloyalitas kepadanya”, kemudian mereka berkata “kalau demikian kami menolakmu, dengan demikian mereka diberi nama “Rafidhah” artinya golongan penolak, yaitu menolak pernyataan Imam Zaid bin Ali yang sengaja datang ke Kufah yang pengikutnya menjelek-jelekkan sehat-sahabat Rasulullah saw, seperti Abu Bakar ra dan Umar ra, seperti tersebut diatas, sehinnga beliau menyatakan, “Rafadhtumuni…….dan orang-orang yang berbaiat dan setuju dengan Zaid diberi nama “Zaidiyyah”. Dalam suatu pendapat dikatakan mereka diberi nama Rafidhah dikarenakan penolakannya akan keimaman Abu Bakar dan Umar. Memang sekte Syiah Rafidhah banyak sekali yang sampai “seratus” (menurut Ali Kasyif al-Ghitha) lebih dan yang dinilai besar adalah Syiah Itsna Asyriyah, Qaramithah (pernah mencuri Hajar Aswad dan dibawa ke darah Ahsa selama 20 tahun), Sabiyah, Ghulath, Sabaiyah, dan lain-ain, seperti akan diternagkan kemudian. Syiah Tujuh terpecah-pecah juga menjadi Syah Fathimiyah, Druziyah pendirinya Abdullah ad-Darazi (sekarang di Libanon).

Perlu dicatat tentang type Syiah di Indonesia, dalam kesimpulan Prof. Dr. Mohammad Baharun dalam penelitian Syi’ah di Jawa Timur, bahwa lahirnya tipe-tipe Syi’ah itu tergantung seberapa banyak mereka menyerap doktrin imamah yang diajarkan. Ada tiga tipe yang ditemukan Prof. Baharun:

Pertama, Syi’ah ideologis. Jama’ah Syi’ah imamah ini dididik secara sistematis, intens, serius melalui program kaderisasi. Ada yang dikader melalui pesantren ada pula di lembaga pendidikan formal. Materi-materinya meliputi mantiq, filsafat dan akidah-akidah penopang seperti konsep imamah. Kader ini ini biasanya menjadi pengikut yang militant yang tidak saja memahami teologi namun sekaligus ideology yang bersumber dari imamah. Banyak dari kader tipe ini yang disekolahkan ke pusat Syi’ah di kota Qom Iran.

Kedua, Syi’ah “Su-Si”. Jama’ah Syi’ah model ini diperkenalkan melalui pengajian dan selebaran. Sasarannya biasanya para santri di pondok pesantren. Ada pula yang semula bersimpatik kepada Syi’ah. Model pendekatannya tidak terlalu intensif bahkan kadang setengah-setengah. Rata-rata mereka tidak memahami referensi-referensi penting Syi’ah. Pemahamannya setengah-setengah. Saya pernah menjumpai tipe ini di sebuah daerah di Pasuruan. Orang tersebut mengaku Sunni, akan tetapi ia juga mengikuti ritual-ritual yang diadakan oleh Syi’ah, seperti Karbala, menghormati para dua belas Imam, dan mengkultuskan Khomeini. Ketika shalat orang itu mengikuti cara ala Sunni. “Syi’ah sama saja, yang berbeda kulitnya. Maka saya ambil yang sekiranya baik dari Syi’ah dan Sunni”, begitu alasan tipe Su-Si. Namun tetap orang tersebut mengimani dua belas Imam sebagai pemimpin pengganti Nabi SAW. Ada pula tipe ini adalah calon kader militant, seperti sebuah tahapan untuk meningkat ke jenjang berikutnya.

Ketiga, Syi’ah Simpatisan. Biasanya mereka pemuda yang gemar pemikiran filsafat Syi’ah. Jama’ah ini mengenal Syiah imamah melalui buku-buku, seminar yang diadakan di kampus-kampus dan pendekatan individual. Mereka juga mengagumi Revolusi Iran yang dipelopori Khomeini tahun 1979. Mereka memahami pemikiran aja. Mereka juga disebut Syi’ah pemikiran. Mereka bersifat lebih adaptif dengan Sunni tapi mereka elaboratif dalam memahami Syi’ah dua belas.[19]

E. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa tantangan dakwah kontemporer itu beragam bentuknya dan bermacam-macam corak gerakannya. Ada yang berbentuk aliran pemikiran yang dikenal dengan paham sekularisme, liberalism, serta pluralism, dan ada pula yang berbentuk gerakan-gerakan yang terorganisasi dengan rapi berbentuk sekte-sekte sempalan yang menggoroti aqidah umat sehingga mereka tidak lagi berpegang pada tali (agama) Allah yang benar, diantaranya sekte Syi’ah yang sejak zaman dulu sampai kini terus menerus menyesatkan umat Islam. Sebenaarnya, sekte-sekte ini amat banyak jumlahnya hanya yang paling mendunia dan yang baru sempat dibahas pada makalah ini hanya Syi’ah.

Dengan demikian, kewaspadaan kita harus senantiasa dipelihara supaya mereka yang berniat memadamkan cahaya Islam dapat kita hadapi dan hancurkan.

Wallahu a’lam bi al-shawwab

[1] Ketua PW Pemuda Persis Jawa Barat Masa Jihad 2011-2015, dan Alumnus Magister Pendidikan Universitas Ibn Khaldun Angkatan 2008, Program Kader Ulama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (PKU-DDII)

[2] Pembagian ini pernah disampaikan oleh Muhammad Avid Solihin dalam Daurah Pengurus DDII, dan ditulis kembali oleh Aris Munandar Alfatah dalam makalahnya, “Problematika dan Tantangan Dakwah di Indonesia”, hlm. 2 (makalah S2 UIKA Bogor, tidak diterbitkan).

[3] Dr. Syamsuddin Arif menguraikan sebuah teori yang pernah digagas oleh August Comte dan diamini oleh Durkheim, Weber, Marx, Freud, dan belakangan oleh Thomas Luckman dan Bryan Wilson, yang terkenal dengan ‘secularization theis’ yang mengatakan bahwa sekularisasi merupakan akibat yang tak terelakkan dari proses modernisasi. Hal ini menunjukkan benarnya pendapat yang mengatakan bahwa secara alamiah mungkin saja sekularisasi itu bisa terjadi. (Lihat Dr. Syamsuddin Arif, “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 85)

[4] Dr. Adian Husaini, Indonesia Masa Depan – Perspektif Peradaban Islam, (Jakarta: DDII), 2009, hlm. 32.

[5] Ibid, 33

[6] M. Shiddiq al-Jawi, “Mengapa Kita Menolak Sekularisme?”, makalah tidak diterbitkan.

[7] K.H. Siddiq Aminullah, “Mewaspadai Sekularisme dan Liberalisme” dalam Majalah Risalah No. 8 September 2009, hlm. 55.

[8] Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 76.

[9] K.H. Siddiq Aminullah, “Mewaspadai Sekularisme dan Liberalisma”, hlm. 55.

[10] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, (Bandung: Persispress), 2010, hlm. 5

[11] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani Press), 2005, hlm. 28-51. Lihat juga Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, (Bandung: Persispress), 2010, hlm. 6-7.

[12] K.H. Siddiq Aminullah, “Mewaspadai Sekularisme dan Liberalisme”, hlm. 58-59

[13] Dr. Syamsuddin Arif, Oreintalisme dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 79

[14] Dr. Nirwan Safrin, “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, makalah dalam Islamic Worldview (Bahan-bahan Kuliah di Program Pendidikan dan Pemikiran Pasca Sarjana UIKA Bogor), 2008, hlm. 28

[15] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, hlm. 67

[16] Dr. Adian Husaini, “Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer (Pengantar Umum)”, dalam kumpulan bahan-bahan Kuliah Pasca Sarjana UIKA Bogor, 2008, hlm. 23.

[17] Prof. Dr. M. Abdurrahman, Antara Sunni dan Syi’ah – Studi Banding Aspek Akidah, Ibadah, dan Mu’amlah, (Bandung, Pustaka Nadwah), 2012, hlm. 3

[18] Ibid

[19] Ibid, hlm. 5-8

DAFTAR PUTAKA

Adian Husaini, Dr. 2008. “Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer (Pengantar Umum)”, makalah dalam Islamic Worldview (Bahan-bahan Kuliah di Program Pendidikan dan Pemikiran Pasca Sarjana UIKA Bogor).

Adian Husaini, Dr. 2009Indonesia Masa Depan – Perspektif Peradaban Islam, Jakarta: DDII.

Aris Munandar Alfatah dalam makalahnya, “Problematika dan Tantangan Dakwah di Indonesia”, hlm. 2 (makalah S2 UIKA Bogor, tidak diterbitkan).

M. Abdurrahman, Prof. Dr. 2012. Antara Sunni dan Syi’ah – Studi Banding Aspek Akidah, Ibadah, dan Mu’amlah, Bandung, Pustaka Nadwah.

M. Shiddiq al-Jawi, “Mengapa Kita Menolak Sekularisme?”, makalah tidak diterbitkan.

Nashruddin Syarief, M.Pd.I. 2010. Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung: Persispress.

Nirwan Safrin, Dr. 2008. “Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam”, makalah dalam Islamic Worldview (Bahan-bahan Kuliah di Program Pendidikan dan Pemikiran Pasca Sarjana UIKA Bogor).

Siddiq Aminullah, MBA. KH 2009. “Mewaspadai Sekularisme dan Liberalisme” dalam Majalah Risalah No. 8 September 2009.

Syamsuddin Arif, Dr. 2008. “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”, Jakarta: Gema Insani.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories