Toleransi Di Dalam Penerapan Islam
ilustrasi | foto: myanmartours.us
Oleh: M Yusuf Elfaruqi, Pimpinan Lembaga Studi Bahasa Arab Daarul Lughah Jogja
Islamopobhia atau apa yang disebut dengan anti Islam, telah banyak menyebabkan tersebarnya
kebohongan dan kerancuan pemahaman di tengah masyarakat. Sehingga masyarakat awam banyak salah
paham dan tidak bisa membedakan mana haq dan mana hoax. Apalagi di era kemajuan teknologi
informasi seperti hari ini. Banyak sekali beredar opini-opini hoax yang sengaja disebarkan untuk
menghantam perjuangan menegakkan Dienul Islam.
Mereka sengaja menebar fitnah dengan menyebar opini negative terhadap Islam dan para
pejuangnya. Mulai dari mengaburkan pemahaman Islam yang lurus. Misalnya dengan membelokkan atau
mempersempit makna rahmatan lil ‘alamin. Yang mereka harapkan, supaya muncul sebuah pemahaman
bahwasanya Islam bisa sejalan dengan paham kebebasan (sekularisme, pluralism, liberalisme) dan sejalan
dengan kepentingan-kepentingan para penjajah kapitalis yang eksistensinya akan terancam jika syari’ah
diterapkan. Sehingga ujungnya muncul anggapan, formalisasi syariah itu tidak perlu dan juga tidak
penting.
Muncul pula berbagai tuduhan yang ditujukan kepada syariah Islam. Penerapan syariah secara
kaffah dituduh tidak toleran dan tidak menghormati keberagaman. Lebih jauh lagi, dituduh mengancam
kebhinnekaan, mengancam NKRI, bertentangan dengan pancasila dan lain sebagainya. Para
pengusungnyapun seringkali dilabeli dengan label-label negative seperti radikal, garis keras,
fundamentalis, teroris dan blablabla.
Tentu opini semacam ini tidak berdalil, ahistoris dan cenderung ngawur. Di masa Rasul sendiri,
di bawah naungan Negara yang menerapan Islam secara kaffah, muslim dan non muslim mereka hidup
secara berdampingan dengan damai. Non-Muslim mendapatkan perlakuan sama dengan kaum Muslim,
sejalan dengan ketetapan syariah Islam. Hak mereka sebagai warga negara dilindungi dan dijamin oleh
negara. Mereka juga diwajibkan menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang
telah digariskan oleh konstitusi dan undang-undang negara Islam. Selama 14 abad Islam diterapkan dalam
naungan khilafah, orang-orang non Muslim yang hidup di dalamnya menikmati kehidupan yang lebih
baik, ketimbang saat mereka hidup di bawah sistem kufur.
Kisah bagaimana Khalifah Umar bin Khatthab menghentikan jizyah dari orang Yahudi yang sudah
tua renta, saat dijumpainya sedang meminta-minta, kemudian hidupnya dijamin oleh negara. Kisah
bagaimana orang Kristen Koptik diperintahkan Umar untuk meng-qishah putra Amru bin Ash, gubenur
Mesir, di hadapan bapaknya karena kejahatan yang dilakukan terhadap dirinya. Juga kisah, bagaimana
Khalifah Ali bin Abi Thalib dikalahkan oleh Qadhi Syuraih dari orang Yahudi yang mencuri baju
besinya, karena tuduhan sang Khalifah tidak didukung bukti di pengadilan.
Ketika penaklukan Konstantinopel (sekarang Istanbul) oleh Sultan Mehmed II (al-Fatih) tahun
1453 M, misalnya, sesaat setelah islam menguasai kota tesebut tidak ada pengusiran dan pemaksaan
terhadap warga non-Muslim. Hal tersebut bisa kita lihat dengan adanya 100 bangunan gereja dan 100
bangunan sinagog yang masih ada di sana.
Berbeda halnya Inkuisisi Spanyol terhadap kaum Muslim dan Yahudi oleh Ferdinand II dan
Isabella (1494).
Will Durant, salah seorang intelektual dan sejarahwan Barat terkemuka memberikan pengakuan
atas sejarah emas Khilafah dalam mewujudkan rahmat Islam untuk semua itu, “Para khalifah telah
memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja
keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang
memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas.
Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja
keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni
mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju
peradabannya selama lima abad.” (Will Durant, The Story of Civilization, vol. XIII).
Ini jelas membantah tuduhan penerapan syari’ah secara kaffah itu intoleran dan tidak menghomati
keberagaman. Lebih lagi, jika dikatakan bertentangan dengan kebhinnekaan, pancasila dan NKRI, coba
berikan satu bukti empiris maupun historis yang membenarkan tuduhan itu. Tentu secara logika, tidak
mungkin ajaran yang diturunkan oleh Dzat yang maha baik dan maha benar bertolakbelakang dengan
kebhinnekaan, pancasila dan NKRI. Sebagai seorang mukmin tentu memahami, adanya syari’at pasti
membawa rahmat dan juga manfaat untuk seluruh umat. wallahu a’lam []