Tradisi Isnad Dalam Keilmuan Islam

Tradisi Isnad Dalam Keilmuan Islam

Oleh: Moh. Ishom Mudin

‘Isnad adalah bagian dari agama, seandainya tanpa Isnad seseorang bisa berkata sekehendak hati’

Mustanir.com – Salah satu keistimewaan tradisi keilmuan Islam adalah sistem mata rantai periwayatan yang biasa disebut ‘Isnad’. Karena sistem inilah, konsep-konsep pokok dalam berbagai disiplin ilmu itu senantiasa terjaga keaslianya. Tradisi ini telah ada pada zaman sahabat, namun mulai menggema pada masa kodifikasi keilmuwan (`ashr at-tadwin). Untuk itu, para ulama dari berbagai cabang keilmuwan seperti Hadits, Fiqh, Qira’at, bahkan Tasawwuf berusaha untuk menguatkan keilmuanya dengan dengan menampilkan sanadnya.

Urgensi Isnad

Tidak ada yang mengingkari, bahwa Isnad merupakan sisi penting dalam agama Islam, karena dengan sistem ini seseorang tidak semena-mena mengeluarkan statemen yang berhubungan dengan agama. Sebagaimana penjelasan Ibn Mubarak yang dikutip Imam Muslim dalam muqaddimah shahihnya, ‘Isnad adalah bagian dari agama, seandainya tanpa Isnad seseorang bisa berkata sekehendak hati’. (Muslim, Shahih Muslim, 1/87)

Sufyan ats-Sauri membuat perumpamaan posisi isnad di tangan umat Islam. ‘Isnad adalah senjata orang mukmin, tanpa senjata tidak bisa berperang’ ( as-Sakhawi: Syarh Alfiah as-Suyuthi,335). Jika seseorang mempunyai mata rantai periwayatan, maka dia bisa dengan leluasa mengeluarkan statement karena bisa dipertanggung jawabkan kebenaranya. Pun bagi yang tidak setuju, maka akan sulit membantahkannya.

Menurut penelitian sebagian besar pakar sejarah Islam, Islam adalah sebuah peradaban menaruh perhatian sanagat besar terhadap warisan para Nabinya. Keistimewaan ini tidak dijumpai oleh peradaban-peradaban sebelumnya, bahkan semenjak manusia itu lahir ke dunia. (Al-Qasthalany, Syarh Mawahib al-Ladduniyah, 5/454). Bisa jadi, keistimewaan ini juga tidak akan pernah dimiliki peradaban-peradaban lain yang akan terus silih berganti.

Secara hukum fiqh, Ali al-Qari memandang bahwa ber-Isnad dalam adalah sunnah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah), bahkan tergolong Fardlu kifayah. Katanya “asal isnad adalah keistimewaan dan keutamaan ummat ini. Juga sunnah yang begitu tinggi dari bagian sunnah muakkad, bahkan bisa dimasukkan sebagai fardlu kifayah, maka mencari jalur sanad adalah suatu yang perlu diperhatikan dan diharapkan”. (Ali Al-Qari, Syarh Nukhbat al-Fikr, 194)

Tradisi Hadits

Isnad dalam tradisi Ilmu Mushtalah hadits adalah wajib. Pernyataan ini sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, karena istilah ‘sanad’ memang lahir dari rahim disiplin ilmu ini. Bagi Imam Syafi`i, “pencari hadits tanpa isnad bagaikan pencari kayu bakar di malam hari”. (az-Zurqani, Syarh Mawahib al-Ladduniyyah, 5/453). Artinya, dia akan sulit menemukanya.

Untuk itu, gelar ‘muhaddits ‘tidak gampang diberikan kepada siapapun kecuali apabila memenuhi kriterianya. Imam Tajuddin As Subki memberikan kriterianya, dalam Mu`id An Ni’am,harus mengetahui ‘asanid’ dan kesamaran cacatnya, nama-nama perawi, (sanad) al ali dan an nazil, hafal banyak matan, mendengarkan Kutub As Sittah, Musnad Ahmad, Sunan Al Baihaqi, Mu’jam At Thabarani, dan digabungkan dengannya seribu juz dari kitab-kitab hadits. Inipun masih adalah derajat terendah. Sungguh aneh, jika ada mendapat gelar muhaddits namun tidak memenuhi syarat ini, bahkan hanya dengan otodidak.

Namun, bagaimana dengan beberapa cabang disiplin ilmu yang lain ?.Bagi Imam al-Kunawi al-Hindi, segala persoalan yang disandarkan ke dalam agama harus menggunakan sisitem Isnad. Termasuk diantaranya hal-hal yang berkenaan sejarah Nabi, hukum-hukum syarak, kisah-kisah dan cerita teladan, ataupun sejarah secara umum. Bahkan, jika tidak ditopang dengan sistem isnad, pendapat-pendapat itu tidak bisa dijadikan pijakan. Lebih-lebih setelah hilangnya kurun waktu terbaik dalam Islam (al-Kunawi, al-Ajwibah al-Fadlilah, 28).

Tradisi Sejarah dan Fiqh

Melihat pentingnya sistem ini, isnad tidak lagi monopoli ilmu ushul hadits melainkan ilmu yang lain salah satunya dalam penulisan sejarah. Para pakar sejarah banyak mengambil metode kitab hadits dalam penulisan mereka. Artinya, kisah-kisah yang dituturkan berdasarkan informasi baik lisan atau tulisan menggunakan menggunakan sanad selayaknya kitab hadits. Perbedaanya adalah, penelitian sanadnya tidak seketat dalam kitab-kitab hadits. Sebagaimana pendapat yang sudah masyhur di kalangan mayoritas muhadditsin, bahwa diperbolehkan tidak terlalu ketat menyeleksi sanad untuk urusan sejarah. Asalkan bukan riwayat paslu.

Dalam disiplin ilmu fiqh juga demikian. Para mujtahid fiqh empat madzhab mempunyai jalur sendiri dalam menguatkan keilmuan mereka. Abu Jakfar sempat bertanya kepada Abu Hanifah secara langsung perihal sanad keilmuwanya. Entah, hanya ragu atau sekedar basa-basi saja. Dengan tegas beliau menjawab “dari Hammad, dari Ibrahim An Nakhai’i, dari Umar bin Al Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas. (Zahid al-Kautasry, Husn at-Taqadly fi Sirah Abi Yusuf al-Qadly,11)

Dalam musthlah al-Hadits, istilah sanad emas (as silsilah adz dzhabaiyah) sudah diketahui secara luas. Diantaranya adalah sanad jalur Malik, dari Nafi, dari Ibn Umar. Maka, bila juga dilacak Imam Syafi`i sebagai murid dari Imam malik, dan beliau adalah guru Imam Ahmad Bin Hambal Maka sebenarnya, sanad ilmu fiqh mereka bukan lagi sanad emas, melainkan berlian.

Sedah jamak, bahwa Imam Syafi`i adalah mujtahid mutlak yang menggali hukum secara langsung dari sumber aslinya, termasuk dalam hal ini adalah gerakan shalat beserta penetapan rukun dan syarat. Secara umum, shalat yang benar adalah seperti kata Nabi ‘shalatlah sebagaimana kalian lihat aku shalat’. Maka, banyak hadits yang menyebutkan ‘kaifiyyah’ shalat tersebut, namun tetap saja ada perbedaan dari beberpa madzhab.

Nampaknya, keistimewaan imam ahli hadits ini bukan saja terletak pada pengambila hukumnya, melainakan adalah beliau memili sanad khusus shalat. Yaitu dari Muslim bin Khalid, dari Ibnu Juraij, dari Atha’, dari Ibnu Az Zubair, dari Abu Bakr Ash Shiddiq, dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Untuk itu, bagi Ibrahim Bin Muhammad, tidak ada gerakah shalat yang paling baik kecuali Imam Syafi`i. (ad-Dzhaby, Siyar A’lam An Nubala’, 10/90).

Ilmu Qur`an; Qira`at

Selain ilmu fiqh, ilmu Qira`at juga menempatkan sanad di posisi paling urgen. Al-Qur`an memang sudah terkumpul dalam Mushaf Utsmani yang bisa dibaca dengan bebarapa macam Qira`at. Namun, kitab ini bukan saja terjaga dengan teks saja melainkan dengan tradisi lisan, maka sistem talaqqy (face to face) adalah wajib dalam belajar ilmu Qira`at. Hal ini berkaitan berkaitan dengan pelafalan makhraj dan ketepatan pelafalan sifat huruf.

Untuk itu, para Imam Qira`at berusaha mencari cara membaca itu dengan melakukan perjalanan sebagaimana para Muhadditsin. Dari banyaknya riwayat yang ditemukan, ada yang shahih, dlaif, hasan, mursal, dan maudlui. Untuk itulah seorang ulama senior bidang ini seperti al-Jazary menyeleksinya, membuang dan menetapkan riwayat yang mutawatir.

Kata Ibn al-Jazary, “ saya tidak meninggalkan satu huruf dari mereka yang tsiqat kecuali menyebutkanya, yang benar saya tetapkan, yang tidak jelas saya jelaskan, yang jauh saya dekatkan, yang tercecer saya tertibkan. Karena untuk mengingatkan yang shahih dari yang syadz,yang hanya sendirian, berpegang teguh untuk mengurai yang kusut, menshahihkan, mendlaifkan, men-tarjih,mendatangkan muataba`at dan syawahid….semuanya terkumpul dari pelataranbarat dan timur ( Ibn Al-Jazary, an-Nasr, 1/56)

Tradisi tasawwuf

Dalam bidang tasawwuf, mereka juga menguatkan dzikir, wirid dan aktifitas tasawwuf yang biasa disebut dengan sanad ‘khirqah’. Tradisi ini sedikit berbeda dengan disiplin yang lain, dimana seorang guru memakaian ‘khirqah’ (selendang) kepada murid untuk mengikat hubungan (shuhbah) batin keduanya. As-Suhrawardi menjelaskan, hal ini sebagai bentuk seremonial bahwa guru akan membimbing murid, dan seorang murid memasrahkan perjalanan suluknya kepada guru pembimbing.

Lebih lanjut beliau menjelaskan, sanad dalam bidang ini terbagi menjadi dua; khirqah iradah(shuhbah) dan khirqah tabarruk (tasyabbuh). Yang pertama, diperuntukkan untuk murid resmi yang telah ber-shuhbah dengan guru. Adapun yang kedua hanya mengikuti konsep-konsep suluk sang guru saja, tanpa bergaul secara langsung dan memasrahkan diri.(Suhrawardi, Awarif al-Ma`arif,1/251,255)

Sebagai contoh, Thariqah Syadzliyyah mempunyai dua sanad ini dan dengan jalan yang berbeda. Sanad ‘khirqah iradah’ berujung kepada Hasan al-Basri dari Ali Bin Abi Thalib. Sanad Khirqah tabarruk berujung kepada Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib. (Nuh Hamim, Aurad Thariqah Syadziliyyah, 6-8).

Beberapa kalangan Muhadditsin ada yang mengingkari sanad dalam tasawwuf karena Hasan al-Bashri tidak pernah berjumpa dengan Ali Bin Abi Thalib. Namun, al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi telah menjawabnya secara detail dalam Fatawi-nya bahwa mereka berdua bertemu, sehingga sanad dalam tasawwuf juga benar bila ditakar dengan ilmu musthalah hadits.

Beliau mengatakan“sekelompok Huffadz mengingkari bahwa Hasan al-Bashri mendengar dari Ali Bin Abi Thalib, begitu juga beberapa kalanga mutaakhhirin, sehinga mereka menolak khirqah. Tetapi, beberapa yang lain menetapkanya. Pendapat yang kedua inilah yang kuat menurut pendapat saya, juga dikuatkan oleh al-Hafidz al-Maqdisi dalam al-Mukhtar, kemudian diikuti oleh Ibn Hajar al-Atsqalani dalam Athraf al-Mukhtarah” . Lalu beliau menjelaska buktinya secara panjang lebar. (as-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawa, 2/102-103)

SUMBER

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories