Waria Dalam Pandangan Islam (Mukhannats)
Waria Dalam Pandangan Islam (Mukhannats)
Ust Ahmad Sarwat Lc.
Pendahuluan
Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam As dan Hawa sebagai cikal bakal manusia. Dari keduanya berkembang biak manusia lelaki dan perempuan dan semakin cepat berkembang manusia tersebut lantaran terjadi hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan sebagai suami isteri, sebagaimana dijelaskan Allah dalam berbagai ayat dalam Al Quran seperti ayat 1 surah Annisa yang berbunyi :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Ayat 13 surah Al Hujurat :
“ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat 49 -50 surah As Syura :
“kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.”
Menurut ayat diatas dan ayat-ayat lainnya, Allah yang telah menciptakan manusia lelaki dan perempuan berikut kelengkapan dan tanda-tandanya sebagai lelaki atau perempuan. Namun sejarah mencatat dan fakta berbicara bahwa ternyata ada sekelompok orang yang sangat kecil jumlahnya-mungkin seribu hanya ada satu karena dalam statistik belum pernah diinformasikan berapa jumlah kelompok orang tersebut. Berbeda dengan jumlah lelaki atau perempuan yang sering diinformasikan, dimana jumlah lelaki 43% dari jumlah penduduk Indonesia dan jumlah kaum perempuan 57%. Mereka itu adalah makhluk Allah yang disebut khuntsa (Waria). Mereka sepertinya belum mendapatkan perhatian dan seperti dibiarkan hidup pada habitatnya mencari dan berjuang mempertahankan hidup menurut maunya. Mereka seperti belum tersentuh hukum, tapi mereka terkadang dicari bila dibutuhkan atau diperlukan untuk suatu kepertingan atau tujuan sesaat. Berbagai Al Quran dan Hadits Rasul telah banyak menjelaskan aturan hukum yang berkaitan dengan lelaki dan perempuan, tapi tidak menjelaskan suatu hukumpun yang berkaitan dengan waria (khuntsa). Hal ini menunjukkan ketidakmungkinan adanya 2 (dua) alat yang berlawanan dan berkumpul pada seseorang. Untuk itu harus ada ketentuan status hukumnya lelaki atau perempuan.
PENGERTIAN WARIA (Al-Mukhonats )
Waria (dari wanita-pria) atau wadam (dari hawa-adam) dalam pengertian istilah umum diartikan sebagai laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalamkehidupannya sehari-hari.
Khuntsa menurut ahli bahasa Arab seperti tersebut dalam kamus Al Munjid dan Kamus Al Munawir, Khuntsa berasal dari kata khanitsa-khanatsan yaitu lemah dan pecah. Khuntsa ialah orang yang lemah lembut, padanya sifat lelaki dan perempuan. Jamaknya khunatsa dan khinatsun. Menurut Muhammad Ali Ash Shobuni dalam kitabnya al Mawarits fis Syariatil Islamiyah, disebut Khuntsa karena ia dalam ucapan dan suaranya lemah lembut seperti perempuan atau dalam tingkah polahnya, jalannya dan cara berpakaian menyerupai gaya orang perempuan.
Khuntsa menurut Istilah, hampir semua ulama sama pendapatnya dalam mendefinisikan khuntsa. Menurut Ash Shobuni dan menurut Dr. Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah, Khuntsa ialah: ‘Orang yang baginya alat kelamin lelaki (dzakar/penis) dan alat kelamin wanita (farji/vagina) atau tidak ada sama sekali (sesuatupun) dari keduanya .Menurut penulis kitab Syarah Ar Rahbiyah yaitu Syaikh Muhammad bin Muhammad Dimasqi, kiranya sulit atau tidak mungkin bila tidak ada sama sekali alat dari keduanya, sehingga diartikan baginya lubang yang berfungsi untuk kencing atau lainnya. dan secara Istilah Syariat, didefinisikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullahu sebagai laki-laki yang menyerupai wanita dalam gerakan, gaya bicara dan sebagainya. Apabila hal tersebut merupakan asli dari penciptaan dia (dari lahir) maka dia tidak bisa disalahkan dan dia diharuskan menghilangkan hal tersebut. Dan apabila hal tersebut merupakan sesuatu yang datang dari keinginannya dan dia berusaha untuk bisa seperti itu maka hal tersebut merupakan sesuatu yang tercela dan dengan itu ditetapkanlah nama Al-Mukhonats (Waria) untuknya baik dia melakukan perbuatan kotor (Homoseksual) ataupun tidak.
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu mengatakan : ” Ulama mengatakan : Al-Mukhonats ada dua jenis, Jenis pertama adalah yang golongan yang diciptakan dalam keaadaan seperti itu, dan dia tidak memberat-beratkan dirinya ( baca . berusaha) untuk berakhlaq dengan akhlaq wanita, berhias, bicara dan bergerak seperti gerakan wanita. Bahkan hal tersebut merupakan kodrat yang Allah ciptakan atasnya, maka yang seperti ini tidak ada ejekan, celaan, dosa dan hukuman baginya karena sesungguhnya dia diberi udzur karena dia tidak membuat-buat hal tersebut. Jenis kedua dari Al-Mukhonats yaitu yang kodratnya tidak seperti itu, bahkan dia berusaha berakhlak, bergerak, bertabiat dan berbicara seperti wanita dan juga berhias dengan cara wanita berhias. Maka ini adalah tercela yang telah datang hadits yang shohih tentang laknat (terhadapnya)” (Syarh Shohih Muslim(7/317) secara ringkas).
Dan sebagaimana dikatakan imam An-Nawawi bahwa lafadz Al- Mukhonats dilekatkan pada mereka, baik mereka melakukan perbuatan kotor (homoseksual) atau tidak, adapun pelaku homoseksual (liwath) dalam bahasa arab disebut dengan Luthi, yaitu dinisbahkan kepada perbuatan kaum nabi Luth alaihi salam yang memulai perbuatan menjijikkan itu untuk pertama kali. Begitu juga harus dibedakan antara Al-Mukhonats dengan Khuntsa, Khuntsa adalah insan yang memiliki dua alat kelamin ganda yang berbeda jenis, terkadang sejak lahir dan terkadang lahir dalam keadaan memiliki satu alat kelamin kemudian tumbuh yang kedua.
Jadi harus diketahui bahwa tidak setiap luthi (Homoseks) itu adalah Al-Mukhonats(Waria) karena sangat banyak sekali diantara mereka yang secara fisik seperti laki-laki normal yang gagah dan jantan akan tetapi ternyata seorang homoseksual, begitu juga sebaliknya kita tidak boleh mengatakan bahwa seluruh Al-Mukhonats adalah pelaku homoseks, karena untuk menuduh seseorang sebagai pelaku perbuatan tersebut dibutuhkan persaksian yang jelas.
Dari penjelasan ulama diatas diketahui bahwa Al-Mukhonats ada dua jenis :
Pertama: Kodratnya sejak lahir, seperti memiliki postur tubuh yang menyerupai wanita, lisan yang apabila berbicara menyerupai wanita dan lainnya.
Kedua: Dilahirkan dengan normal seperti laki-laki kemudian berusaha untuk berbicara, bergerak, bertabiat dan berhias seperti wanita.
Hukum keduanya ini pun akan berbeda, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Jenis pertama tidak mendapat cela,ejekan, dosa dan hukuman karena ini adalah sesuatu yang merupakan kodratnya dari lahir dan wajib bagi dia untuk berusaha merubahnya semampu dia walaupun secara bertahap. Apabila dia tidak berusaha merubahnya bahkan senang dengannya maka dia berdosa, ditambah lagi apabila dia malah mengikuti kekurangan fisik tersebut dengan memakai pakaian wanita, berhias dengan hiasan wanita yang tidak terkait kodrat fisiknya maka dia sudah masuk ke jenis kedua.
Berkata Al-Hafidz : “Dan adapun tercelanya menyerupai cara bicara dan cara berjalan (wanita) adalah dikhususkan bagi yang bersengaja untuk melakukannya . Adapun yang keadaan itu merupakan asal penciptaannya (sejak lahir) maka dia diperintahkan berusaha untuk meninggalkannya dan menghilangkannya secara bertahap dan apabila dia tidak melakukannya dan berpaling dari usaha tersebut maka dia tercela apalagi tampak darinya apa yang menunjukkan bahwa dia ridho dengan keadaan seperti itu.
Beliau juga berkata terkait pendapat Al-Imam An- Nawawi : “Dan adapun pendapat yang memutlakkan seperti An-Nawawi yang berpendapat bahwa Al-Mukhonats yang berasal dari kodrat (penciptaanya) tidak bisa ditimpakan kepadanya kesalahan maka pendapat ini dibawa kepada keadaan apabila dia tidak mampu untuk meninggalkan gaya wanita dan kekurangan dirnya padahal saja dia mampu untuk meninggalkan hal itu walau bertahap kemudian dia meninggalkan usaha tersebut maka hal itu adalah dosa (kesalahan).
Khuntsa di Zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar juz VI halaman 124-125 menjelaskan bahwa pada zaman Nabi sudah ada waria dan yang dikenal namanya antara lain Hita, Matik dan Hinaba. Waria di zaman Nabi SAW ada yang memang asli banci dan ada yang buat buatan. Orang banci asli pada umumnya tingkah lakunya tidak kelihatan membahayakan kepada kaum wanita. Dan oleh sebab itu istri-istri nabi menganggap mereka (banci asli) sebagai Ghoiru Ulil Irbah (tidak punya butuh dan tidak punya syahwat). Namun meskipun begitu Nabi melarang mereka bebas masuk (bergaul) dengan kaum wanita dan antara mereka harus ada hijab/tabir. Bagi mereka yang tidak mematuhi, oleh Nabi dilarang masuk dan tidak boleh kembali kecuali sekali dalam seminggu yaitu setiap hari Jumat untuk menerima jatah makan, selebihnya mereka hidup di Baida’ (tanah lapang) atau di Badiyah (perkampungan terpencil).
Menurut Asy Syaukani diantara pertimbangan dikeluarkannya waria dari rumah dan diisolir atau direlokalisasi karena beberapa hal sebagai berikut :
A. Orang banci diduga orang yang tidak punya butuh dan syahwat, tapi ternyata tidak demikian keadaannya atau semuanya.
B. Mereka selalu bertingkah polah dihadapan lelaki dengan memamerkan aurat dan keindahannya, pada hal itu dilarang kecuali terhadap atau bagi suami istri.
C. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan atau bahaya yang lebih besar dengan menjalankannya sifat fasiq.
Cara Menentukan Status Lelaki atau Perempuan.
Muhammad Ali Ash Shobuni dalam kitabnya al Mawarits fis Syariatil Islamiyah ala Dhauil Kitab was Sunnah halaman 186 dan Dr. Yasin Ahmad Ibrahim Daradikah dalam kitabnya al Miras fis Styariatil Islamiyah halaman 256-257 menjelaskan bahwa orang yang pertama kali memutuskan masalah khuntsa (banci) pada masa jahiliyah ialah Amir bin Ad Dharab ( salah satu hukamaul Arab).
Orang jahiliyah bila menghadapi permasalahan yang sulit mereka mendatangi Amir bin Ad Dharab untuk memperoleh putusan, dan biasanya mereka menerima dan merasa puas atas putusannya. Kemudian pada suatu saat ia didatangi sekelompok kaumnya menanyakan kejadian seorang perempuan yang melahirkan seorang anak yang mempunyai 2 alat kelamin atau khuntsa, apakah statusnya lelaki atau perempuan, Amir menjawab: statusnya ya lelaki dan perempuan. Mendengar jawaban seperti itu orang Arab tidak mau menerima dan tidak puas. Melihat gelagatnya seperti itu ia berkata. Berilah aku waktu (kesempatan).
Ternyata malam itu Amir hampir tidak bisa tidur (istirahat), gelisah memikirkan masalah khuntsa. Kebetulan ia punya jariyah (pembantu perempuan) yang terkenal cerdas bernama Sakhilah. Ia terbangun dari tidurnya dan ia ceriterakan kejadian yang baru menimpanya. Lantas jariyah menyampaikan pendapatnya: Tinggalkanlah putusan yang barusan dan jadikanlah alat kencing sebagai penentu status hukum khuntsa lelaki atau perempuan. Setelah ia menganggap baik dan rasional, ia kemudian menemui kaumnya dan memutuskan status orang itu dengan al Mabal (alat kencing). Lihatlah dan perhatikan bila ia kencing dengan dzakar (penis) berarti ia lelaki dan bila ia kencing dengan farji (vagina) berarti ia perempuan. Dan setelah mendengar putusan ini mereka semua menerima dan merasa puas.
Sejak zaman Nabi Muhammad dan juga sebelumnya (zaman Jahiliyah), zaman sekarang dan yang akan datang, ternyata alat kelamin itu mempunyai peran utama (penting) dan menentukan untuk mengetahui dan menetapkan status seseorang itu lelaki atau perempuan, dan mungkin belum ditemukan cara lain yang lebih canggih dan akurat sebagai penentu status seseorang lelaki atau perempuan selain alat kelamin.
Muhammad Makhluf (ahli fiqh Kontemporer Mesir) menyatakan bahwa apabila seorang khuntsa (waria) mempunyai indikasi yang lebih cenderung menunjukkan jenis kelelaki–lakiannya atau jenis keperempuannya, maka ia disebut Khuntsa ghairu musykil (banci yang tidak sulit ditentukan jenis kelaminnya). Misalnya, khuntsa yang mempunyai kelamin ganda jika kencing melalui penis dan berkumis seperti layaknya lelaki, maka ia dikatagorikan sebagai lelaki, sebaliknya jika ia memiliki vagina dan punya payudara serta indikasi perempuan lainnya, maka ia dikatagorikan sebagai perempuan, akan tetapi jika tidak ada indikasi seperti itu, dalam arti tidak menunjukkan jenis kelamin tertentu, atau tidak konstan ( selalu berubah), maka ia dikatagorikan khuntsa Musykil’(banci yang sulit ditentukan jenis kelaminnya).
Meskipun penentuan status hukum khuntsa sepertinya sudah jelas, yaitu dengan melihat cara alat kencingnya tapi dalam prakteknya masih mengalami kesulitan. Untuk itu tidak heran bila diantara pakar Hukum Islam seperti Imam As Suyathi dalam kitabnya al Asybah Wan Nadhoir dan Kitab Faraidl yang lain ditentukan beberapa uraian penjelasan yang sifatnya imajinasi. Hal ini untuk memberikan jawaban bila hal ini untuk memberikan jawaban bila hal itu terjadi, atau mungkin terjadi Pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Cara kencing/keluarnya air kencing
Bila ia kencing dan air kencingnya keluar lewat dzakar/penis berarti status hukumnya ia lelaki, dan bila ia kencing dengan alat kencing perempuan (farji/vagina) berarti statusnya ia perempuan. Dan bila air kencing itu keluar dari kedua alatnya maka harus dilihat dan diteliti mana yang lebih dulu keluarnya bila selesainya bersamaan atau mana yang lebih akhir bila awal keluarnya bersamaan. Bila dari yang satunya mendahului dan dari yang satunya keluar akhir, maka tentukanlah dengan alat mana yang duluan air kencingnya itulah yang menentukan statusnya ia lelaki atau perempuan, bila awal dan akhirnya bersamaan, maka itu namanya khuntsa musykil (banci yang sulit).
2. Keluarnya sperma atau air mani
Bila sperma keluar dari alat kelamin lelaki berarti status hukumnya lelaki dan bila keluar dari farji (vagina) berarti statusnya perempuan. Demikian ini bila keadaannya normal stabil, dan bila sering berubah-ubah maka hukumnya sebagai khuntsa munsykil.
3. Keluarnya darah haidl
Bila mengeluarkan darah haidl (menstruasi berarti status hukumnya perempuan, sebab lelaki menurut kudratnya tidak haidl. Namun bila ia haidl tapi air kencingnya atau keluarnya sperma dari alat kelamin lelaki maka namanya khuntsa musykil.Bila sampai umur dewasa ia tidak haidl atau pernah haidl (sekali dua kali) tapi kemudian berhenti total (bukan karena sebab) dalam usia subur normal maka status hukumnya lelaki, sebab menurut kudratnya wanita itu mengalami haidl teratur pada waktunya sampai umur monopose.
4. Kehamilan dan melahirkan
Bila ia hamil dan atau melahirkan berarti statusnya perempuan sebab menurut kudratnya lelaki tidak hamil atau melahirkan. Dan bila terjadi kelainan seperti di atas maka statusnya sebagai khuntsa musykil.
5. Pertumbuhan organ tubuh
Bila ia berkumis atau tumbuh lihyah (jenggotnya) dan cirri-ciri spesifik lainnya bagi seorang lelaki seperti adanya kecendrungan mendekati atau jatuh hati dengan wanita berarti statusnya lelaki. Bila Tsadyaiha (payudara) tumbuh montok, ia haidl dan kecendrungannya mendekati/jatuh cinta pada lelaki dan cirri-ciri spesifik lainnya bagi perempuan berarti statusnya perempuan.
Bila ia berkencan dengan perempuan dan perempuan itu menjadi hamil karenanya, berarti statusnya lelaki, dan bila berkencan dengan lelaki dan kemudian ia hamil maka statusnya perempuan. Menurut pakar hukum Islam seperti Dr. Yasin Ahmad Daradikah dalam kitabnya al- Mirats fis syariatil Islamiyah, menyatakan bahwa khuntsa (banci/waria) itu ada 2 (dua) macam, yaitu
A. Khuntsa ghairu musykil yaitu (waria yang tidak sulit diketahui statusnya lelaki atau perempuan lewat tanda-tanda seperti diatas.
B. Khuntsa musykil yaitu (waria yang sulit mengenal statusnya, karena sulit, samar dan unik tidak seperti waria pada umuamnya. Jika seorang khuntsa, tampak tanda-tanda lelakianya seperti kencingnya hanya keluar dari penisnya dan sperma juga demikian serta mampu menghamili perempuan, maka ia dikatakan sebagai orang lelaki, dan hukum yang lain juga diberlakukan kepadanya sama dengan lelaki normal. Demikian juga khuntsa yang ada tanda-tanda haidl yang keluar dari vaginanya atau ia hamil, maka ia dikatakan sebagai orang perempuan dan sejak hukum yang diberlakukan khuntsa terhadapnya sama dengan perempuan normal. Kedua jenis inilah yang dikatagorikan sebagai khuntsa ghairu musykil sedang khuntsa yang tidak tampak suatu tanda apapun sebagaimana disebutkan diatas, maka itulah yang disebut dengan khuntsa musykil, yang status hukumnya dapat diberlakukan atas dasar kecenderungan atau perkiraan yang menonjol lelaki atau perempuan.
HUKUM WARIA/AL-MUKHONATS
Telah kita bahas bersama definisi waria, kini kita telah sampai pada pembahasan hukum waria/mukhonats yang sesuai dengan syari’at islam.
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu mengatakan : ” Ulama mengatakan : Al-Mukhonats ada dua jenis, Jenis pertama adalah yang golongan yang diciptakan dalam keaadaan seperti itu, dan dia tidak memberat-beratkan dirinya (berusaha) untuk berakhlaq dengan akhlaq wanita, berhias, bicara dan bergerak seperti gerakan wanita. Bahkan hal tersebut merupakan kodrat yang Allah ciptakan atasnya, maka yang seperti ini tidak ada ejekan, celaan, dosa dan hukuman baginya karena sesungguhnya dia diberi udzur karena dia tidak membuat-buat hal tersebut. Jenis kedua dari Al-Mukhonats yaitu yang kodratnya tidak seperti itu, bahkan dia berusaha berakhlak, bergerak, bertabiat dan berbicara seperti wanita dan juga berhias dengan cara wanita berhias. Maka ini adalah tercela yang telah datang hadits yang shohih tentang laknat (terhadapnya)”
Dan bagi Al-Mukhonats jenis kedua dan juga Al-Mukhanats jenis pertama yang kemudian digolongkan seperti jenis kedua karena tidak ada usaha merubahnya dan bahkan ridho dengannya maka termasuk dalam ancaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam :
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu , beliau berkata:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki.”
Dari Abu Hurairah Radhiallahu anhu dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.”
Dan makna laknat Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam terhadap satu golongan adalah doa beliau agar golongan tersebut ditolak dan dijauhkan dari Rahmat AllahSubhana Wa Ta’ala
Dan rahmat Allah mencakup ampunan, hidayah, taufiq, rezeki, kesehatan dan lain-lain. Kita berlindung kepada Allah dari segala sebab yang menjauhkan rahmatnya.
HUKUMAN UNTUK Al-Mukhonats
Adapun hukuman bagi Al-Mukhonats adalah sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam dalam hadits Abu Hurairoh Rhadiyallahu ‘anhu:
“Sesungguhnya didatangkan kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam seorang Al-Mukhonats, dan dia telah mewarnai tangan dan kakinya dengan hina’ (Pewarna alami untuk kuku,rambut atau kulit). Maka Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam berkata; “Ada apa dengan orang ini?” maka dikatakan pada beliau, “Wahai Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam dia menyerupai wanita”. Maka beliau memerintahkan (hukuman) dan kemudian orang tersebut diasingkan ke An-Naqie’. Maka para sahabat berkata: ”Wahai Rasulullah, Apakah tidak kita bunuh? maka beliau menjawab, ”Sesungguhnya aku dilarang untuk membunuh orang-orang yang sholat”
Dan An-Naqie’ adalah tempat sejauh perjalanan dua malam dari Kota Madinah
Berkata Ibnu Taimiyah : “Dan harus diyakini bahwa pengasingan tersebut mendatangkan kebaikan yang dituju, yaitu menjauhkan masyarakat dari kejelekannya, adapun apabila kita dapati diasingkannya dia ke suatu tempat malah menimbulkan masalah baru bagi manusia , maka cukuplah orang tersebut dikurung di satu tempat yang tidak ada orang lain di sana”
Beliau juga berkata: “Dan apabila ditakutkan dia keluar, maka dia diikat, karena sesungguhnya itulah makna pengasingannya dan dikeluarkannya dia dari manusia” Beliau juga menukil: “Dan termasuk dari hukuman yang datang sunnah dengannya dan juga Ahmad dan As-Syafi’I berpendapat dengannya adalah pengasingan Al-Mukhonats ” (Fatawa Kubro, 5/530)
Dan dia diasingkan atau dikurung sampai dia bertaubat, berkata Ibnu Taimiyah Rahimahullahu:
“Dan pengasingan mutlak seperti pengasingan Al-Mukhonats, maka dia diasingkan sampai dia bertaubat” (Minhajus Sunnah , 6/235)
Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullahu : “Dan termasuk dari siasat syar’i yang dinashkan (dilafadzkan) oleh Al-Imam Ahmad Rahimahullahu, beliau berkata dalam riwayat Al-Marwazi dan Ibnu Manshur: “Al-Mukhonats diasingkan dan dijauhi, karena sesungguhnya tidak timbul darinya kecuali kerusakan. Dan bagi Imam (pemimpin) untuk mengasingkannya ke negeri yang aman dari kerusakkan penduduknya, dan apabila ditakutkan sesuatu menimpanya maka (cukup) dikurung” (Bada’iul Fawaid, 3/694)
Imam Bukhori Rahimahullahu pun membuat Bab dalam kitab As-Shohihnya: Bab: Diasingkannya pelaku maksiat dan para waria. Kemudian beliau membawakan hadits Ibnu Abbas Rhadiyallahu ‘anhuma:
“Nabi shallallahu alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki dan beliau berkata: “keluarkan mereka dari rumah-rumah kalian” dan beliau Shalallahu ‘alaihi wassallam mengeluarkan fulan dari rumah beliau dan umar mengeluarkan fulan .”
Hukum-hukum yang Terkait dengan Al-Mukhonats
A. Masuknya Al-Mukhonats kepada para wanita
Al-Mukhonats yang memiliki ketertarikan pada wanita, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang haramnya dia masuk kepada wanita dan memandang kepada mereka. Adapun Al-Mukhonats yang berasal dari kodratnya dan tidak memiliki ketertarikan pada wanita maka ada dua pendapat:
Pertama: Al-Malikiyah, Al-Hanabilah, dan sebagian Al-Hanifiyah memberi keringanan kepada Al-Mukhonats jenis ini untuk berada bersama wanita dan bolehnya dia memandang wanita. Berdalil pengecualian tentang golongan yang boleh memandang kepada wanita dalam Firman Allah :
“Atau laki-laki yang mengikuti kalian yang tidak punya syahwat terhadap wanita.”
Kedua: As-Syafi’iyah dan kebanyakkan Al-Hanafiyah berpendapat bahwaAl-Mukhonats yang tidak memiliki ketertarikan pada wanita tidak boleh masuk kepada wanita dan memandang kepada mereka. Berdalil dengan hadits Ummu salamah Rhadiyallahu ‘anha:
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam masuk ke rumahku sementara di sisiku ada seorang Al-Mukhonats. Aku mendengar Al-Mukhonats itu berkata kepada Abdullah bin Abi Umayyah (saudara laki-laki Ummu Salamah): “Wahai Abdullah! Jika besok Allah membukakan/memenangkan Thaif untuk kalian,maka hendaklah engkau berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan putri Ghailan, karena dia menghadap dengan empat dan membelakangi dengan delapan”. Ucapannya yang demikian didengar oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam , maka beliau pun menetapkan:“Mereka (Al-Mukhonats) itu sama sekali tidak boleh masuk menemui kalian lagi.”
Makna kalimat : “menghadap dengan empat dan membelakangi dengan delapan ” ini adalah penyifatan fisik wanita yang disukai pada saat itu yaitu lekukan itu sampai ke pinggangnya, pada masing-masing sisi (pinggang) empat sehingga dari belakang terlihat seperti delapan.
B. Wanita menikah dengan Al-Mukhonats
Tidak boleh seorang wanita menikah dengan Al-Mukhonats sampai dia bertaubat, apalagi Al-Mukhonats tersebut seorang pelaku homoseksual. Karena tergabung padanya dua laknat , laknat pelaku homoseksual dan laknat karena dia menyerupai wanita.
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam bersabda:
“Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth”
Dan juga dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma , beliau berkata:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki.”
C. Sholat dibelakang Al-Mukhonats
Berkata Az-Zubaidi, berkata Az-Zuhri: “Kami tidak berpendapat bolehnya sholat dibelakang (menjadi ma’mum) Al-Mukhonats kecuali dalam perkara darurat yang tidak bisa dihindari”
D. Salam kepada Al-Mukhonats
Berkata Abu Dawud Rahimahullahu : Aku bertanya kepada Imam Ahmad Rahimahullahu: ”Apakah boleh (aku) mengucapkan salam kepada Al-Mukhonats?” beliau menjawab: “Aku tidak tahu, As-Salam adalah salah satu nama dari nama-nama Allah Azza wa jalla”
Berkata Ibnu Taimiyah: “Maka sungguh beliau telah Tawaqquf (tidak memberi keputusan) dalam perkara salam terhadap Al-Mukhonats“
E. Menjadikan Al-Mukhonats pemimpin
Berkata Ibnu Taimiyah Rahimahullahu: “Maka yang mengagungkan Al-Mukhonats dari kalangan laki-laki dan menjadikan untuk mereka kepemimpinan dan memegang urusan maka hal tersebut adalah haram.”
F. Persaksian Al-Mukhonats
Dan juga dinukil dari pendapat madzhab Al-Hanafiyah yaitu tidak diterimanya persaksian Al-Mukhonats karena termasuk dari orang fasiq. Wallahu A’lam
G. Membuka hijab didepan Al-Mukhonats
Karena Al-Mukhonats ini terhitung laki-laki yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita, maka Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam pada awalnya tidak melarangnya masuk menemui istri-istri beliau, ummahatul mukminin. ‘Aisyah Radhiyallahu anha berkisah:
“Dulunya ada seorang Al-Mukhonats biasa masuk menemui istri-istri Nabi, karena mereka menduganya termasuk laki-laki yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita. Maka suatu hari Nabi masuk ke rumah sementara Al-Mukhonats ini berada di sisi sebagian istri beliau dalam keadaan ia sedang mensifatkan dirinya seorang wanita. “Wanita itu ketika menghadap, menghadap dengan empat dan ketika membelakangi, membelakangi dengan delapan”, katanya. Mendengar ucapannya yang demikian Nabi bersabda: “Aku semula tidak berpandangan orang ini tahu perkara wanita sampai seperti itu. Sama sekali ia tidak boleh lagi masuk menemui kalian”. Kata Aisyah Radhiyallahu anha: “Mereka pun berhijab darinya.”
Problematika Hukum Al-Mukhonats
Berikut ini beberapa permasalahan hukum waria/Al-Mukhonats.
Perkawinan waria/Al-Mukhonats
Menurut hukum Islam, perkawinan yang disyariatkan oleh Allah adalah perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan dari jenisnya sendiri, yaitu jenis manusia (Q.S.Asy Surah 50, An.Najm 45 ; An.Nisa’ 1 dsb). Penyimpangan dari hal diatas seperti perkawinan manusia dengan Jin miskipun lelaki dengan perempuan terdapat perbedaan pendapat, dan yang jelas tidak disyariatkan. Dengan adanya perkawinan tersebut menjadi sah/halal hubungan seksual antara mereka dan mereka mendapat anak keturunan yang sah, lelaki maupun perempuan.
Dan Allah mengutuk penyimpangan hubungan seksual yang tidak sah (pelacuran) dan hubungan seksual yang tidak wajar seperti penyimpangan seks kaum Luth yang melampiaskan nafsunya dengan melakukan homo seksual ( lelaki sesama lelaki) dan mereka menjauhi perempuan sebagai isterinya yang sah yang seharusnya digauli. Demikian juga terkutuk wanita melampiaskan seksualnya dengan sesama wanita atau lesbi, dan juga penyimpangan hubungan seksual lainnya yang dianggap tidak wajar seperti sodomi dan lain sebagainya.Diciptakannya jenis lelaki dan perempuan yang dilengkapi dengan berbagai perasaan akan menimbulkan daya tarik dan saling tertarik antara dua jenis lelaki dan perempuan. Jadi rasa tertarik dan mencintai lawan jenisnya adalah normal dan berarti rasa tertarik atau mencintai sesama jenisnya adalah abnormal atau suatu penyimpangan.
Disyariatkannya perkawinan tersebut disamping hal diatas, ada hikmah lainnya, yaitu agar mahluk manusia sebagai khalifah Allah dibumi tidak punah begitu saja sampai waktu yang digariskan. Sehingga bumi tidak terlalu sepi karena manusia tidak berketurunan. Dengan demikian dapat tercipta kehidupan yang sejahtera, rumah tangga yang bahagia, jiwa dan pikiran menjadi tenteram, jasmani rohani menjadi segar serta menatap kehidupan dengan penuh optimistis dan damai tidak gersang dan gelisah. Semua itu sebagai tanda kebesaran Allah menentukan pasangan lelaki dan perempuan sebagai suami istri ‘ Wajaalnakum azwajan’. Dan seperti firmannya dalam Q.S Ar Ruum 21 :
“Dan diantara tanda (kekuasaan) Allah, bahwa dia telah menciptakan istrimu dari jenismu (manusia), agar kamu bisa tenang bersamanya dan dia telah menjadikan mesra dan sifat kasih sayang diantara kamu. Dalam hal ini adalah sebagai pertanda bagi orang-orang yang mau berpikir.”
Oleh karena perkawinan antara lelaki dengan perempuan itu sebagai peraturan perundang-undangan menetapkan bahwa perkawinan itu mesti dilakukan antara lelaki dan perempuan. Hukum perkawinan Amerika menyebutkan bahwa perkawinan adalah bentuk persetujuan yang melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu calon suami, calon istri dan Negara atau pemerintah. Dan hukum perkawinan di Indonesia pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 menjelaskan: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hukum perkawinan bagi khuntsa sama hukumnya dengan yang lainnya, yaitu terkait dasar hukum perkawinan itu sendiri ; yaitu:
A. Wajib, jika sudah mampu dan dikhawatirkan akan berbuat maksiat jika tidak kawin
B. Sunah, jika sudah mampu tetapi masih bisa menahan diri tidak terjerumus maksiat.
C. Mubah, bagi yang belum ada minat kuat serta dapat pula menahan diri dari maksiat.
D. Haram, bagi orang yang dapat menimbulkan ketidak hamonisan dalam keluarga atau bisa menyakini pasangannya secara lahir maupun batin, karena jiwa dan perilakunya cenderung menyamai pasangannya.
E. Makruh, bagi orang tidak punya kemampuan untuk kawin.
Jika khuntsa akan terjerumus kedalam perbuatan maksiat, seperti homo seksual, lesbian semburit dan sejenisnya maka ia termasuk dalam katagori wajib untuk kawin. Menurut sebagian ulama, perbuatan khuntsa musykil maupun ghoiru musykil yang lebih terdorong untuk melakukan hubungan seksual dengan orangorang sejenis kecenderungan fungsi kelaminnya dengan yang memilikinya, seperti homoseksual dan lesbian, maka termasuk tindak pidana dalam islam. Jika ada khuntsa yang kawin dengan pasangan yang tidak sejenis atau berjenis kelamin beda seperti yang terdapat pada khuntsa ghoiru musykil, maka status perkawinan seperti manusia normal.
Oleh sebab itu waria sebaiknya tidak melangsungkan pernikahan dengan sesama waria, kecuali bila status hukumnya sudah jelas lelaki atau perempuan. Hal ini untuk menghindari perkawinan sesama jenis kelamin. Bila terjadi seseorang lelaki mengawini waria, tapi kemudian ternyata si waria itu lelaki, atau seorang perempuan kawin dengan waria tetapi ternyata si waria itu perempuan, maka hukumnya diperselisihan antara sah dan tidak sah. Menurut Drs. Fathur Rahman, nikahnya tidak sah karena waria itu khuntsa musykil. Dan menurut Fuqaha nikahnya fasid karena bertentangan dengan yang disyariatkannya nikah dan menyalahi kudrat.
Kewarisan waria (Al-Mukhonats)
Ulama farodliyun (ahli faraid) setelah mengadakan penelitian tentang khuntsa, menyimpulkan bahwa khuntsa musykil selamanya tidak mungkin atau bukan terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek, suami atau istri, sebab menurut hukumnya khuntsa musykil tidak melakukan nikah, sehingga khuntsa musykil itu mesti terdiri dari anak, cucu, saudara, anak saudara, paman atau anak paman. Oleh sebab itu bila khuntsa menikah dan mempunyai keturunan maka anaknya akan mengikuti garis keturunan bapaknya walaupun bapaknya bertingkah laku seperti perempuan. Demikian juga ibunya kendati bertingkah laku sama seperti lelaki. Jika kelak anaknya perempuan akan menikah maka bapaknya yang menjadi wali, meskipun ia bertingkah seperti perempuan bukan ibunya meskipun ia bertingkah seperti lelaki. Cara menentukan status Al-Mukhonats lelaki atau perempuan dapat dilihat dari alat kencingnya (mabal). Penemuan cara oleh amir bin Adi Dharahal Al Jahilly ini ternyata diberlakukan juga oleh Islam, sebagaimana hadis dan Atsar dibawah ini :
A. Hadits riwayat Baihaqi dari Al Kalaby dari Abi Saleh dai Ibnu Abbas berkata:
“Nabi pernah ditanya cara kewarisan seseorang yang baginya alat kelamin lelaki dan alat kelamin perempuan,nabi menjawab: ia mewarisi dari jalan / caranya ia kencing.”
B. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa nabi pernah ditanya kaum tentang seseorang Al-Mukhonats dari Ansor, nabi menjawab kepada mereka: “Tetapkanlah kewarisannya dari alat mana lebih dulu air kencing keluar.”
C. Diceritakan dari Ali, Jabil bin Zaid, Qatadah, Said bin Al Musayab bahwa nabi menetapkan kewarisan banci dari caranya ia kencing.
D. Said bin Mansur menjelaskan dalam sunannya bercerita kepda Hasyim dari Mughira dari Asy Syaiby dari Ali r.a.berkata:
“Muawiyah pernah berkirim surat kepadaku dan menanyakan status hukum khuntsa, maka kubalas suratnya: Ia mewarisi berdasarkan cara ia kencing.”
Menurut Ibnu Mundzir, bahwa penetapan kewarisan waria menurut cara/jalan kencingnya adalah telah menjadi kesepakatan atau ijmak para fuqaha dan juga faradliyun.
Bila waria talah jelas status hukumnya berarti ia hukumnya lelaki atau perempuan, maka berlakulah hukum lelaki atau perempuan baginya dalam segala hal, seperti auratnya, shalatnya, perkawinannya, kewarisannya, pergaulannya dan sebagainya. Dalam hal yang sudah jelas ini sebaiknya dimohonkan putusan Pengadilan tentang status hukumnya lelaki atau perempuan agar ada kepastian hukumnya dan menghindari sifat mendua dalam pergaulan dan jenis kelamin yang sudah jelas ini kemudian ditegaskan dalam kartu identitas seperti KTP, SIM, ATM, dsb.
Jadi pada perinsifnya tidak sulit menentukan bagian warisan yang harus diterima oleh khuntsa ghoiru musykil, karena akan ditentukan oleh jenis kelamin atau ciri-cirinya yang dominan, jika yang dominan adalah laki-laki, maka ia mendapat bagian warisan sama seperti lelaki yang lain, demikian juga sebaliknya. Jadi status kewarisannya dengan berpedoman pada indikasi fisik bukan kepada jiwa, sepanjang cara tersebut tidak sulit dilakukan. Bila banci itu sebagai khuntsa musykil maka para ulama berbeda pendapatnya tentang hukum kewarisannya.
Menurut kitab Al Mawaris hal 186-187, kitab Al Mirats fis Syariatil Islamiyah hal. 260-262 dan Ilmu Waris hal 486-688 pendapat tersebut pada garis besarnya ada 3 macam, sebagai berikut:
1. Al-Mukhonats mendapat bagian yang terkecil lagi terjelek dari dua perkiraan bagian lelaki dan perempuan dan ahli waris lainnya mendapat bagian yang terbaik dari dua perkiraan tersebut diatas. Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya;
2. Khuntsa mendapat bagian atas perkiraan yang terkecil dan meyakinkan kepada si khuntsa dan ahli waris lain, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai status hukum khuntsa menjadi jelas atau sampai ada perdamaian bersama antara ahli waris (menghibahkan sisa yang diragukan) .
Demikian pendapat ulama Syafiiyah, Abu Dawud, Abu Tsaur dan Ibnu Janir Ath Thobary dan ulama Hanabilah.
3. Khuntsa mendapat separoh dari dua perkiraan lelaki atau perempuan dan demikian juga ahli waris lainnya.Demikian pendapat ulama Malikiyah, Hanabilah dalam satu pendapatnya, ulama Zaidiyah dan Syiah Imamiyah dalam satu pendapatnya. Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya sama dengan pendapat gurunya tetapi dalam pendapat yang lain ia sependapat dengan pendapat Malikiyah dan Hanabilah yakni khuntsa mendapat bagian separoh dari jumlah bagian dua perkiraan lelaki atau perempuan.
Pendapat pendapat tersebut diatas pada dasarnya hampir ada persamaannya dalam tekhins/tahapan pembagian sebagai berikut ;
A. Pembagian harta waris hendaknya ditahan dulu sampai persoalan khuntsa menjadi jelas.
B. Setiap ahli waris, termasuk khuntsa diberikan bagian yang telah meyakinkan,kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai persoalan khuntsa menjadi jelas. Bila persoalan khuntsa jelas, penerimaan semua ahli waris disempurnakan dengan menambahkan bagian kepada mereka yang berkurang menurut penerimaan yang seharusnya mereka terima.
C. Bila sampai waktu cukup tapi status khuntsa belum jelas maka semua ahli waris mengadakan perundingan damai (islah) untuk saling memberikan terhadap sisa yang ditahan. Sebab tanpa perundingan tidak ada jalan /cara yang dapat mengesahkan/ menghalalkan. Dan perundingan semacam ini adalah boleh/ sah, kendatipun menurut syarat hibah itu harus diketahuinya secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan kebutuhan atau dlararat.
D. Bila khuntsa diperkirakan dengan salah satu perkiraan menjadi terhalang, maka khuntsa itu dilarang menerima warisan (mahrum /mahjub). Dan bila salah satu ahli waris terhalang oleh perkiraan khuntsa lelaki atau perempuan, maka khuntsa tetap terhalang.
Cara Menghitung bagian Al-Mukhonats
Para ulama sepakat dalam cara menghitung bagian khuntsa yakni dengan memperhatikan dan menghitung sebagai orang lelaki dan kemudian sebagai perempuan. Tapi mereka berbeda pendapat dalam menerimakan bagian khuntsa setelah diketahui hasil dari kedua perkiraan tersebut dan juga mengenai bagian ahli waris.
Untuk lebih meyakinkan validitas pendapat-pendapat tersebut diatas, kiranya perlu contoh lain dari bentuk khuntsa yang lalin, yakni selain sebagai anak seperti khuntsa sebagai saudara dan sebagainya , lebih jelas lihat kitab waris seperti Fatchur Rahman dan sebagainya.
Kesimpulan
Demikianlah problema hukum khuntsa yang dapat dikemukakan disini dan masih banyak hal yang belum terungkap. Semoga pembahasan yang singkat ini dapat menambah wacana keilmuan dan wawasan hukum tentang khuntsa. Dan hal ini akan lebih mantap dan mendekati sempurna bila masalah khuntsa ini dilihat dari berbagai disiplin ilmu seperti kedokteran, sosial, agama, hukum dan sebagainya secara terpadu.
Dari pembahasan diatas, kiranya ada beberapa hal yang dapat disarankan/diusulkan sebagai solusi dari permasalahan khuntsa sebagai berikut :
1. Khuntsa (orang banci) hendaknya menentukan atau diberi pilihan tentang status hukumnya lelaki atau perempuan, sebab dia yang lebih tahu tentangdirinya itu apakah dekat kepada lelaki atau lebih dekat /wajar ke perempuan. Dalam hal ini dapat meminta bantuan ahli kedokteran (fisik dan kejiwaan dengan tidak melupakan kelamin bagian dalam dan diproses ditetapkan oleh hakim /pengadilan.
2. Penetapan status hukum (identitas) oleh pengadilan tersebut setelah yang bersangkutan melakukan operasi kelamin (perbaikan/ penyempurnaan) dan bukan Taghyir, dan selanjutnya diperintahkan untuk memenuhi hak /kewajiban sebagai lelaki atau perempuan.
3. Atau hendaknya khuntsa dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan (qonun) seperti di Mesir (UU No.77 Th.1943 tentang kitab UU Hukum Waris). yang diperbaharui dengan UU No.71 Tahumn 1976, agar lebih ada kepastian hukum baginya dan jelas. Sebab bila tidak diatur niscaya mereka akan tetap pada habitatnya,bebas hidup dan bergaul tanpa beban sentuhan hukum.
4. Bila sudah jelas status hukum khuntsa lelaki atau perempuan maka berlakulah baginya hak-hak dan kewajiban seperti lelaki atau perempuan. Bila ia melanggardari status tersebut ia haru dikenakan sanksi diisolir /direlokalisasi.