Antara Demokrasi, Diktator dan Khilafah

demokrasi-dan-khilafah

Antara Demokrasi, Diktator dan Khilafah

H. Dwi Condro Triono, PhD.

Apakah ada cara mudah dan cepat menjelaskan perbedaan sistem demokrasi, diktator dan khilafah? In syaa Allah ada. Dengan apa? Cukup dengan menggunakan analogi shalat berjamaah.

Jika kita menyaksikan sekelompok orang yang shalat berjamaah, ada satu orang imam yang diikuti banyak orang yang menjadi makmum. Kita bisa menyaksikan, apapun perintah dan gerakan imamnya akan diikuti oleh makmumnya, tanpa ada yang membantah. Jika imamnya takbir, semua makmumnya takbir. Jika imamnya rukuk, semua makmumnya rukuk, jika sujud, semua sujud, dan seterusnya. Semua makmumnya akan bersikap: “sami’na wa atha’na” (kami mendengar dan kami ta’at).

Pertanyaannya: apakah imamnya adalah seorang diktator? Jawabannya: tidak! Mengapa? Sebab, jika imamnya garuk-garuk, apakah ada makmum yang mengikutinya? Jika imamnya batuk, apakah apakah ada makmum yang mengikutinya? Jika gerakan imamnya salah, apakah makmunnya akan tetap mengikutinya? Artinya, imam tidak bisa dikatakan diktator, sebab apa yang dia perintahkan bukan kehendaknya sendiri, melainkan perintah dari Allah SWT. Makmum juga tidak bisa dikatakan pihak yang mengikuti saja pada perintah imamnya, sebab, jika imamnya salah, makmum akan membetulkannya. Bahkan, jika imamnya batal, maka imam harus segera lengser dan harus segera digantikan oleh salah seorang makmumnya.

Sebaliknya: jika para makmum yang dengan sukarela dan sepenuh hati mengikuti gerakan imamnya, apakah itu karena aturan shalat sudah mengikuti kehendak mayoritas makmumnya, sebagaimana yang ada dalam sistem demokrasi? Jawabnya tentu saja tidak! Mengapa? Buktinya, jika mayoritas makmumnya ingin agar shalat subuh itu diganti menjadi 4 rakaat, dengan pertimbangan karena waktu subuh itu sangat cocok untuk berolahraga; sedangkan shalat dzuhurnya dikurangi saja menjadi 2 rakaat, dengan pertimbangan karena itu adalah saat-saat orang sudah lelah bekerja, apakah imamnya akan menyetujui usulan mayoritas makmumnya tersebut? Jawabannya tentu saja tidak!

Apa kesimpulannya? Sesungguhnya sistem politik Islam, yakni sistem kekhilafahan dapat diibaratkan seperti kehidupan shalat berjamaah. Dalam sistem khilafah, seorang pemimpin, yaiu khilafah harus tahu syariat Islam yang akan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebagaimana seorang imam juga harus tahu betul aturan syariat Islam yang berkaitan dengan shalat berjamaah. Dalam sistem khilafah, seluruh rakyatnya juga harus tahu syariat Islam yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegaranya. Sebagaimana seorang makmum juga harus mengetahui syariat Islam yang berkaitan dengan shalat berjamaah. Sehingga rakyat harus benar-benar tahu, kapan saat pemimpin harus ditaati, kapan saat pemimpin harus dikoreksi dan juga tahu kapan saat pemimpin itu wajib dilengserkan. Mudah bukan?

Kesimpulannya, sistem khilafah itu bukanlah sistem diktator dan juga bukan sistem demokrasi. Sistem khilafah itu adalah sistem yang berasal dari syariat Allah dan Rasul-Nya. Bukan sistem buatan manusia. Kewajiban manusia adalah menerapkannya dan mengamalkannya, dengan sepenuh keimanan dam keikhlasan, “sami’na wa atha’na” (kami mendengar dan kami ta’at). (adj)

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories