
Anti Politik Identitas dan Bias Posmodernisme
MUSTANIR.net – Pauline Marie Rosenau, penulis buku ‘Post-Modernism and the Social Sciences’ menyebutkan beberapa ciri atau visi dari posmodernisme, di antaranya menolak apa yang disebut sebagai pandangan dunia (worldview), metanarasi, totalitas, dan semacamnya.
Agaknya itu yang mendasari kecenderungan sebagian kalangan yang ini hari semakin kencang menyuarakan anti kepada apa yang mereka sebut sebagai politik identitas. Yaqut Cholil Qoumas, misalnya, dimuat di website kemenag.go.id menulis bahwa penggunaan politik identitas adalah ‘musuh’ bangsa di era kemerdekaan ini, khususnya politik identitas berdasarkan agama.
Alasannya, menurutnya adalah karena politik identitas telah menjadikan agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. Penganutnya tidak segan untuk melakukan komodifikasi agama, jual beli ayat, hate speech, kampanye hitam, fitnah dan intimidasi lawan politik dengan menggunakan argumen keagamaan.
Meskipun asumsi-asumsi dalam pernyataan di atas patut dipertanyakan (peristiwa mana persisnya yang bisa ditunjuk sebagai kampanye hitam, hate speech atau fitnah berdasar argumen agama?), ‘ketakutan’ sebagian pihak pada apa yang mereka tuduhkan sebagai politik identitas keagamaan bisa dipahami sebagai trauma sejarah elektoral. Ingat menjelang pemilu pilkada DKI Jakarta? Bagaimana salah satu calon kepala daerah terkesan ‘dijegal’ oleh narasi sebagian kelompok Islam ‘haram memilih pemimpin kafir’.
Agaknya, kalangan tadi tidak ingin fenomena ini berulang. Dengan mengangkat isu bahwa politik identitas akan memecah belah persatuan bangsa, mereka ingin di pemilu tidak lagi pemilih diajak untuk merujuk kepada preferensi agama dalam menentukan pilihan.
Kembali pada posmodernisme, semangat anti identitas ini memang sejalan dengan kecenderungan aliran baru ini yang merelatifkan kebenaran. Dalam posmodernisme, menurut Romo Tom Jacob, yang disebut ‘kebenaran’ dan ‘kenyataan’ itu tidak lain adalah konstruk sosial. Maka tidak heran, jika aliran ini meniscayakan keruntuhan nilai dan simbol. Tidak ada kebenaran universal, karena semuanya bersifat relatif.
Dalam pertarungan gagasan politik dan pemikiran hari ini, dogma di atas diterjemahkan oleh kalangan anti politik identitas sebagai perlawanan pada segala yang berbau ideologisasi agama. Ketika misalnya, Islam dijadikan landasan dan ukuran dalam berpolitik, mereka menganggapnya sebagai melintasi batas. Dalam pemikiran mereka, agama tidak boleh lebih daripada identitas kultural saja, bukan identitas politik. Pemikiran yang tentu sangat sejalan dengan paham sekulerisme.
Lantas berpolitik harus bagaimana? Prof. Arskal Salim, sebagaimana dimuat dalam website uinjkt.ac.id, dalam tulisannya menyiratkan bahwa antitesis politik identitas adalah politik kebangsaan. Hal itu karena, berbeda dengan politik identitas yang menonjolkan eklusifitas kelompok, politik kebangsaan justru mengakomodasi semua kelompok agar menjadi inklusif sehingga menjadikan persatuan di atas segalanya.
Dari pemaparan di atas, kita menemukan setidaknya dua hal bentuk resistensi pada yang disebut politik identitas. Pertama, kampanye paham relativisme yang menegasikan narasi ideologis apapun yang mengklaim kebenaran. Ke dua, menyajikan politik kebangsaan yang dianggap inklusif dan tidak berpijak pada identitas.
Dari dua poin di atas sejatinya kita menemukan bias. Karena jika agama dianggap identitas dan politik dengan argumen agama dianggap politik identitas, apakah ‘kebangsaan’ bukan identitas dan politik dengan kebangsaan bukan politik identitas?
Persoalannya, politik kebangsaan atau nasionalisme tidaklah senetral itu. Dia masa awal kemerdekaan, nasionalisme adalah payung bagi mereka yang menolak aspirasi umat Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Ini hari pun, tidak jarang sentimen ‘kebangsaan’ dijadikan alat untuk memberangus aspirasi umat Islam menjadikan Islam sebagai aturan yang kaffah dalam kehidupan individu, masyarakat dan negara.
Bahkan, ketika kebangsaan ini ditunggangi pula oleh sentimen Islamofobia dan nativisme, akan tercipta gerakan anti pada semua berbau Islam, misalnya dengan sebutan kadrun, radikal, Suriah-isasi, menstigma kelompok dakwah, ikut gembira dengan persekusi ulama, membenci Arab lalu mengajak kepada apa yang disebut ‘budaya Nusantara’, dsb.
Jadi, kebangsaan itu sendiri sejatinya merupakan identitas juga. Di sinilah juga ambiguitas posmodernisme: mengklaim melawan narasi dan worldview namun sejatinya kebangsaan itu sendiri menjelma menjadi sebuah narasi dan worldview. Kebangsaan yang dijanjikan menyajikan politik yang inklusif kenyataannya malah membentuk ekslusifitas tersendiri.
Wajar jika umat Islam cenderung memandang kampanye anti politik identitas ini bukanlah demi cita-cita ‘mulia’ menegakkan inklusifitas melainkan tidak lebih dari ekspresi anti politik Islam yang tidak lepas dari politik sekularisme yang sejak dulu memiliki misi untuk menjauhkan Islam dari kehidupan publik.
Bagi umat Islam, Islam adalah identitas dan wajib bangga dengan identitas Islam. Bagi seorang muslim merupakan kebanggaan ketika dapat menampilkan identitas Islam baik dalam kehidupan pribadi, masyakarat maupun negara.
فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُولُوا۟ ٱشْهَدُوا۟ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS Ali Imran: 64)
Wallahu a’lam. []
Sumber: Ageung Suriabagja, M.Ag