Fenomena Katak Rebus
MUSTANIR.net – Sebuah ungkapan yang menggambarkan bagaimana orang tidak menyadari kondisi dan situasi bahaya di sekitarnya. Menjadi kritis adalah memberi sinyal alarm bagi kebanyakan orang yang tidak menyadari bahaya yang sedang terjadi.
Katak saat berada di panci, dan kompornya dipanaskan perlahan-lahan, tidak menyadari sedang dalam bahaya. Padahal air sedang menuju titik didihnya. Saat air mendidih, katak tersebut tidak sempat menyelamatkan diri. Ia tertipu kenyamanan palsu.
Situasi di sekitar kita banyak kemiripan dengan fenomena katak rebus. Orang kritis dianggap pengganggu kenyamanan. Padahal yang dia sampaikan berdasarkan bukti-bukti kuat dan indikasi-indikasi yang bisa diteliti lebih lanjut.
Kematian budaya ilmiah tidak terjadi secara tiba-tiba. Awalnya adalah glorifikasi para medioker. Orang biasa yang dikultuskan sedemikian rupa. Dan ini memberikan efek kobra. Orang-orang beramai-ramai meniru jejak “from zero to hero”. Tapi sayangnya bukan real hero, tetapi fabricated hero.
Kita terobsesi dengan keajaiban. Seseorang yang bukan siapa-siapa bisa menjadi orang hebat. Kita merayakan prestasi tersebut, tetapi melupakan satu hal. Bahwa setiap glorifikasi itu menuntut tumbal. Tumbalnya adalah obyektivitas. Setiap nilai yang dikatrol, akan mengorbankan kualitas.
Akhirnya gelar-gelar prestisius cukup jadi olok-olokan. Ah, ternyata benar memang Hepeng do hamangatur nagaraon. Uang bisa membeli apa saja. Gelar, harga diri, budaya ilmiah, hingga kedaulatan.
Kita bisa saling membual. Terjebak dalam snobisme. Pamer kepalsuan. Dan siapa yang merasakan nikmatnya berbohong, ia akan kecanduan untuk mengulanginya. Hatta zurtumul maqabir.
Menjadi “Katak Rebus” di Indonesia
Teori merebus katak mengatakan:
Jika seseorang menjatuhkan katak ke dalam panci berisi air mendidih, tentu saja katak itu akan berusaha melompat keluar dengan panik.
Tetapi jika seseorang meletakkannya dengan lembut di dalam panci berisi air hangat dan menyalakan apinya dengan api kecil, katak itu akan mengapung di sana dengan tenang.
Saat air berangsur-angsur memanas, katak akan tenggelam dalam keadaan pingsan yang tenang.
Persis seperti salah satu dari kita di pemandian air panas, dan tak lama, dengan senyum di wajahnya, katak itu akan membiarkan dirinya direbus sampai mati.
Walau ada yang menentang bahwa perilaku katak tidak akan sama, sebenarnyalah faktor yang paling relevan adalah kecepatan air dipanaskan.
Ketika air dipanaskan dengan sangat lambat, katak tanpa disadari bisa direbus hidup-hidup.
Sebagai salah satu gambaran. Dulu Indonesia belum kenal gandum. Upaya mendorong makan gandum dilakukan selama perlahan dan puluhan tahun.
Akhirnya Indonesia saat ini berdasar FAO adalah pengimpor gandum terbesar di dunia dengan tercatat impor gandum 10,29 juta ton. Padahal gandum bukan pangan asli Indonesia.
Akhirnya bahkan kepala pemerintahan pun harus mengemis gandum ke negara gandum. Rugi pangan dan rugi devisa sama dengan melemahkan indonesia.
Gambaran pangan sama dengan beras, di mana monokultur beras menghancurkan ketahanan pangan. Itu baru salah satu contoh.
Bagaimana dengan isu digitalisasi yang dianggap modern? Ekonomi pasar terbuka? Presiden Indonesia asli yang didegradasi dengan WNI, isu rasisme, dll?
Pertanyaannya kemudian:
Pernahkah sahabat di Indonesia merasa tengah dikondisikan oleh pihak yang mempunyai kekuatan dan pengaruh kuat mirip “katak rebus” di berbagai bidang ipoleksosbud?
Kira-kira bisakah sahabat mengidentifikasinya? []
Sumber: Hanif Acep & Adi Ketu