Kritik IMF, Bank Dunia, dan ADB, Tapi Kok Minta Tambahan Hutang ?
Kritik IMF, Bank Dunia, dan ADB, Tapi Kok Minta Tambahan Hutang ?
Jokowi dalam pidatonya saat membuka peringatan KAA ke 60 menyampaikan kritik yang pedas terhadap IMF, Bank Dunia, dan ADB. Menurut Jokowi lembaga-lembaga tersebut tidak memberikan solusi bagi persoalan ekonomi global.
Sebagaimana yang diberitakan Kompas (22/4/2015), Presiden Joko Widodo mengkritik sejumlah lembaga internasional. Selain PBB, Presiden juga mengkritik keberadaan dua lembaga keuangan dunia yang dianggap tidak membawa solusi bagi persoalan ekonomi global, yakni Bank Dunia dan IMF.
“Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh World Bank, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang,” ujar Jokowi dalam pidatonya, Rabu (22/4/2015).
Jokowi berpendirian, pengelolaan ekonomi dunia tidak bisa diserahkan hanya pada tiga lembaga keuangan internasional itu. Menurut dia, negara-negara Asia dan Afrika wajib membangun tatanan ekonomi dunia baru yang terbuka bagi kekuatan-kekuatan dunia baru.
Meskipun secara substansi kritik Jokowi benar, namun banyak yang mepertanyakan implementasi kongkritnya. Lebih-lebih lagi, sebelama lebih kurang 6 bulan pemerintah Jokowi, justru Jokowi menunjukkan kepatuhan yang lebih total terhadap kebijakan-kebijakan Bank Dunia dan IMF.
Di masa pemerintahannya, BBM benar-benar dicabut subsisinya dan dikaitkan dengan harga internasional. Kebijakan yang selalu diminta oleh IMF dan Bank Dunia terhadap Indonesia.Saat Jokowi belum terpilih menjadi presiden pun Bank Dunia tidak henti-hentinya meminta agar subsidi BBM dikurangi.
Bank Dunia menekan pemerintah Indonesia agar bisa mengurangi subsidi energi, khususnya subsidi BBM. Bank Dunia meminta presiden baru nanti bisa menaikkan harga BBM subsidi menjadi Rp 8.500/liter. Dan hal ini dipatuhi rezim Jokowi-JK
Saat itu, ekonom utama Perwakilan Bank Dunia di Jakarta yaitu Jim Brumby mengatakan, presiden baru Indonesia nanti akan menghadapi masalah tingginya subsidi BBM dan listrik, yang menekan keuangan negara. Jim meminta agar pemerintahan selanjutnya untuk mengeluarkan kebijakan mengurangi subsidi dengan menaikkan harga BBM.
“Menaikkan ada dua, bisa Rp 8.500 per liter, atau menaikkan harga sebesar 50%,” katanya di Hotel Intercontinental, Midplaza, Jakarta, Selasa (18/3/2014).
Keraguan terhadap Pidato Jokowi juga muncul mengingat rezim Jokowi yang justru meminta tambahan hutang ke Bank Dunia dan ADB. Sebagaimana yang diberitakan Kompas (19/1/2015), selain dari penerbitan surat utang negara, pemerintah juga akan menambah utang dari dari lembaga keuangan internasional. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia bersedia memberikan tambahan pinjaman untuk pembiayaan program.
Robert Pakpahan, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (Kemkeu) bilang, pemerintah kini tengah bernegosiasi dengan Bank Dunia dan ADB. Pemerintah berharap, masing-masing lembaga memberikan tambahan pinjaman sebesar Rp 500 miliar. “Itu sedang dibicarakan, tapi lebih ke program loan yang tunai,” ujar Robert.
Hanya Retorika
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto menyatakan kritik Presiden Jokowi kepada PBB, Bank Dunia saat pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) Ke-60, hanya retorika.
“Pidato Jokowi itu hanya retorika saja, sebab selama ini tidak dijumpai tindakan-tindakan yang kongkret yang dilakukan oleh Jokowi terhadap lembaga-lembaga internasional itu,” simpulnya kepadamediaumat.com (23/4) melalui telepon selular.
Menurutnya, serius atau sekadar retorika harus dilihat dari kesesuaian antara tindakan dengan ucapan. Kalau ucapannya seperti itu, tindakannya pun seperti yang diucapkan maka itu dikatakan serius. “Tetapi kalau tindakannya selama ini berbeda dengan apa yang dipidatokan di dalam Pembukaan KAA maka kita bilang bahwa itu tidak serius, dengan kata lain hanya retorika,” katanya.
Ismail pun menunjukkan beberapa contoh yang menunjukkan ketidakseriusan Jokowi. Misalnya, soal kritik terhadap Bank Dunia, subsidi BBM. Jokowi bukan hanya tunduk pada Bank Dunia, bahkan dia dengan sigap melaksanakan keinginan Bank Dunia itu dalam waktu yang sangat singkat. “Bank Dunia meminta pencabutan subsidi paling lambat 2019, dia sudah selesaikan bahkan dalam beberapa bulan,” ungkap Ismail.
Begitu juga utang luar negeri yang dia bilang ketidakadilan karena negara-negara besar, toh selama ini juga dia pinjam ke negara besar dan tetap tetap saja mengukuhkan ketidakadilan itu. Dia juga terus memberi izin kepada Freeport untuk tidak membuat smelter dan tetap mengekspor konsentrat. Sementara perusahan milik negara sendiri, Aneka Tambang, sudah dilarang untuk mengekspor konsentrat.
“Jelas ini ketidakadilan, tetapi dia justru turut mengukuhkan ketidakadilan tersebut karena dia tunduk kepada kepentingan negara besar,” tohok Ismail.
Kemudian juga soal PBB. Sebenarnya, banyak momentum yang Jokowi bisa bersikap kritis, tetapi tetap dia tidak lakukan. Misalnya, apa sikap Jokowi sesungguhnya terhadap Israel? Apa sikap Jokowi atas ketidakadilan PBB di Timur Tengah? Itu tidak pernah dia lakukan.
“Kecaman dia terhadap PBB baru kali ini. Jadi jelas sekali, bahwa ini sekadar retorika karena kita tidak dapat menemukannya di dalam realitas,” pungkasnya.
Jatidiri Dunia Islam
Terlepas atau tetap dijajah negara besar melalui PBB, Bank Dunia, IMF dan ADB, menurut Ismail itu semua tergantung kepada Dunia Islam. Apakah Dunia Islam —negeri-negeri Islam yang pada umumnya terserak di Benua Asia dan Afrika— itu memandang lembaga-lembaga internasional tersebut sebagai kawan atau lawan.
Sedangkan, kemampuan memandang tersebut tergantung dengan fakta apakah mental Dunia Islam ini terjajah atau merdeka. Kalau bermental terjajah, maka lawan akan dianggap kawan. Sebaliknya, kawan dianggap lawan. “Jadi selama mentalnya terjajah, alih-alih akan keluar dari PBB, IMF, Bank Dunia, dll, justru akan semakin memperkokoh dominasi penjajahan negara besar,” tegasnya.
Padahal, lanjutnya, sudah banyak bukti, bahwa lembaga-lembaga internasional tersebut merupakan alat Dunia Barat untuk menghisap sumber daya Dunia Islam dan negara berkembang pada umumnya.
Menurutnya, Dunia Islam tidak mungkin bersikap melawan penjajahan kecuali Dunia Islam betul-betul merdeka, berdaulat, bersatu, dengan memiliki ideologi khas sendiri yang memang memerdekakan dari penjajahan. Maka sejatinya, dunia Islam kembali ke jatidiri sebagai Dunia Islam dengan ideologi Islam. Bukan dunia Islam tetapi tunduk kepada Barat. Kalau itu namanya bukan dunia Islam tetapi dunia Barat di bagian negeri-negeri Islam.
Di situlah sebenarnya, publik bisa membaca sejarah bagaimana Dunia Islam itu benar-benar mandiri, merdeka, keluar dari pengaruh Persia dan Romawi, ketika Dunia Islam masih bersatu dalam Daulah Islam.
“Jadi saya membayangkan, memang ketika Daulah Khilafah itu kembali, Dunia Islam betul-betul bisa mandiri. Dengan demikian, lembaga-lembaga internasional seperti PBB, IMF, Bank Dunia jadi tidak memiliki arti lagi karena Khilafah Islam sendiri sudah menjadi lembaga internasional, jadi tidak perlu lagi lembaga internasional lain untuk menginternasionalkan kepentingan dunia Islam,” pungkasnya. (mediaumat/adj)