Mencintai Nabi ﷺ Sepenuh Hati
MUSTANIR.net – Tak terasa, kita kembali berada pada bulan Rabiul Awwal. Bulan kelahiran Baginda Rasulullah ﷺ. Seperti biasa, Peringatan Hari Kelahiran (Maulid) Rasulullah ﷺ Muhammad ramai diselenggarakan oleh kaum Muslim di berbagai tempat dengan penuh kegembiraan.
Kegembiraan itu tentu wajar. Pasalnya, kelahiran Rasulullah ﷺ adalah nikmat yang paling agung bagi umat manusia. Allah subḥānahu wa taʿālā berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاَ مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِه وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Sungguh, Allah telah memberi kaum Mukmin karunia ketika Dia mengutus seorang rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri. Ia membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka serta mengajari mereka al-Kitab (al-Quran) dan Hikmah (as-Sunnah) meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata (TQS Ali Imran [3]: 164).
Wajib Mencintai Nabi ﷺ
Peringatan Maulid Nabi ﷺ adalah salah satu wasilah untuk terus memelihara rasa cinta (mahabbah) kepada beliau. Mencintai beliau tentu tidak seperti mencintai sesama manusia. Kecintaan seorang Muslim kepada beliau harus di atas kecintaan kepada yang lain. Nabi ﷺ sendiri yang menyatakan demikian:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia menjadikan aku lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya dan segenap manusia (HR al-Bukhari).
Karena itu mencintai Nabi Muhammad ﷺ hukumnya wajib. Al-Quran telah mengancam dengan keras siapa saja yang cintanya kepada Allah subḥānahu wa taʿālā dan Rasul-Nya terpalingkan oleh kecintaan kepada yang lain:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah, “Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian dan keluarga kalian, juga harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya. Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang fasik.” (TQS at-Taubah [9]: 24)
Siapa pun yang mencintai Allah subḥānahu wa taʿālā dan Rasul-Nya sepenuh hati, yang terus ia pertahankan sampai mati, ia pasti akan bersama-sama dengan beliau di surga-Nya nanti. Beliau bersabda:
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR al-Bukhari)
Haram Menyakiti Nabi ﷺ
Jika memang mencintai Nabi ﷺ setulus dan sepenuh hati, seorang Muslim tidak boleh sedikit pun menyakiti hati beliau. Allah subḥānahu wa taʿālā telah mengancam dengan keras siapa saja yang menyakiti beliau, sebagaimana firman-Nya:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih (TQS at-Taubah [9]: 61).
Jika memang mencintai Nabi ﷺ setulus dan sepenuh hati, seorang Muslim juga tidak boleh sedikit pun membuat beliau marah. Apa yang bisa membuat beliau marah? Jawabannya dituturkan oleh Ummul Mukminin Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā: Rasulullah ﷺ pernah datang menemui diriku dalam keadaan marah. Aku berkata, “Siapa yang telah membuat engkau marah, wahai Rasulullah? Semoga Allah memasukkan mereka ke dalam neraka.” Beliau menjawab:
أَوَمَا شَعَرْتِ أَنِّي أَمَرْتُ النَّاسَ بِأَمْرٍ، فَإِذَا هُمْ يَتَرَدَّدُوْنَ
“Bagaimana perasaanmu ketika aku memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah, lalu mereka bimbang (ragu untuk melaksanakan perintah tersebut, red.).” (HR Muslim dan Ibnu Hibban)
Dengan demikian jelas bahwa bukti cinta hakiki kepada Nabi ﷺ adalah menaati beliau tanpa bimbang dan ragu.
Ketaatan kaum Muslim kepada beliau akan mengantarkan mereka ke dalam surga-Nya. Hal ini telah ditegaskan oleh beliau sendiri:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan,” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang enggan?” Beliau menjawab, “Siapa yang menaati aku pasti masuk surga dan siapa yang membangkang kepadaku berarti ia enggan (masuk surga).” (HR al-Bukhari)
Totalitas dalam Ketaatan
Bukti cinta kepada Nabi ﷺ tidak lain adalah ketaatan total kepada beliau. Sebagaimana dinukil oleh Imam al-Qusyairi dalam Risâlah al-Qusyairiyyah:
إِنَّ مِنْ عَلاَمَاتِ اْلحُبِّ الطَّاعَةُ
Sungguh di antara tanda cinta itu adalah taat.
Jika memang demikian kenyataannya maka kaum Muslim wajib menaati Rasulullah Muhammad ﷺ dalam seluruh aspek kehidupan beliau. Bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlak beliau saja. Hal ini sekaligus menjadi bukti cinta hakiki kepada Allah subḥānahu wa taʿālā, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي
Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (TQS Ali Imran [3]: 31)
Dalam ayat di atas, frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi ﷺ.
Allah subḥānahu wa taʿālā juga berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Sungguh engkau (Muhammad) berada di atas khuluq yang agung (TQS al-Qalam [68]: 4).
Di dalam tafsirnya, Imam Jalalain menyatakan bahwa kata khuluq dalam ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain, Tafsîr Jalâlayn, 1/758).
Dengan demikian ayat di atas bisa dimaknai: “Sungguh engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung.”
Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: “Sungguh engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam.” (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, 4/403)
Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, istri Nabi ﷺ, pernah ditanya oleh Saad bin Hisyam raḍiyallāhu ‘anhu mengenai akhlak Nabi ﷺ. Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā lalu menjawab:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Sungguh akhlak beliau adalah al-Quran (HR Ahmad).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa cara meneladani Nabi Muhammad ﷺ hakikatnya adalah dengan mengamalkan seluruh isi al-Quran, yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai dari akidah dan ibadah hingga berbagai muamalah seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum dan pemerintahan.
Sebabnya, Rasulullah ﷺ sendiri tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta melaksanakan shalat, shaum, zakat dan haji secara benar. Beliau pun mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan, melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan sanksi-sanksi hukum (‘uqûbat) bagi pelaku kriminal serta mengatur pemerintahan/negara secara benar dengan syariah Islam.
Lalu apakah memang Rasulullah ﷺ hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya?
Tentu saja tidak!
Jika demikian, mengapa saat ini kita enggan meninggalkan riba dan transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme sekuler? Enggan mengatur urusan sosial, pendidikan, politik dengan aturan Islam? Enggan menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi yang murtad, dll)?
Juga enggan mengatur pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikkan oleh Rasulullah ﷺ selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah)?
Padahal Allah subḥānahu wa taʿālā telah menegaskan:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa saja yang Rasul bawa kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Kata “mâ” (apa saja) pada ayat di atas bermakna umum, yakni mencakup semua perkara.
Namun sayang, pada akhirnya, jujur harus kita akui, terkait Peringatan Maulid Nabi ﷺ saat ini, di tengah-tengah kaum Muslim justru banyak ironi. Buktinya: Setiap tahun Maulid Nabi ﷺ diperingati. Akan tetapi, korupsi yang diharamkan beliau justru makin menjadi-jadi. Ekonomi ribawi yang beliau larang masih menjadi tumpuan di negeri ini.
Ideologi yang diterapkan bukan ideologi Islam yang dibawa Nabi ﷺ. Yang diterapkan malah ideologi Kapitalisme-sekuler dari Barat yang justru bertentangan dengan tuntunan beliau. Al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum peninggalan beliau juga terus dilucuti, sementara hukum-hukum sekuler yang lahir dari proses demokrasi dianggap yang paling layak diikuti.
Setiap tahun Maulid Nabi ﷺ diperingati. Akan tetapi, yang diterapkan dalam politik di negeri ini adalah sistem demokrasi yang diajarkan oleh para ahli Barat sekuler seperti Montesquie, John Locke, dll. Bukan sistem pemerintahan Islam yang diwariskan Nabi ﷺ, yakni Khilafah Islamiyah, dan dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin. Padahal Rasulullah ﷺ telah bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Kalian wajib berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah pada sunnah itu dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Sumber: Buletin Kaffah