Merenungi Berpuluh Tahun Puasa Ramadhan Kita
Merenungi Berpuluh Tahun Puasa Ramadhan Kita
DI PENGHUJUNG Ramadhan ini, mari sejenak kita merenung. Kita tentu telah berpuasa Ramadhan dari tahun ke tahun.
Mungkin diantara kita ada yang telah menjalaninya berpuluh tahun sejak baligh. Pertanyaannya kemudian, sudah di level apa nilai takwa yang telah kita peroleh.
Pertanyaan tersebut menjadi penting diajukan agar kita dapat menjawab secara jujur dengan harapan Ramadhan kita tahun ini menjadi lebih berkualitas dari tahun sebelumnya.
Sebagaimana diserukan oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183, pelaksana ibadah puasa di bulan Ramadhan harus dilakukan oleh orang-orang beriman. Namun, dalam kajian fiqih, berbeda. Perintah berpuasa wajib jika sudah baligh, sehat, mukim dan beragama Islam siapa pun.
Maka, tidak jarang kita temukan orang berpuasa akan tetapi tidak memberi bekas yang berarti setelah menjalankan ibadah puasa. Perbedaaan mendasar perlakuaan seseorang terhadap Ramadhan sangat ditentukan oleh kualitas ilmu dan imannya.
Semakin baik kualitas iman Islam seseorang, maka sejatinya akan semakin baik pula perlakukannya terhadap bulan Suci Ramadhan. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali dalam kitabnyaIhya Ulumuddin, membagi tiga tingkatan orang berpuasa.
Pertama, puasa orang awam. Tingkatan pertama ini adalah level puasa kebanyakan orang lakukan.
Kedua, puasa orang khusus. Ini adalah tingkatan orang yang berpuasa karena memang rindu akan pertemuan dengan Allah.
Dan, ketiga, level puasa orang-orang khusus. Tingkatan terakhir ini adalah tingkatan orangbilkhusus yakni puasanya para wali dan nabi-nabi Allah.
Adapun janji Allah terhadap orang yang berpuasa adalah akan memperoleh takwa. Di mana takwa yang dimaksudkan adalah sebuah predikat yang menunjukkan kemuliaan seseorang sebagaimana pengertiannya yang tertuang dalam al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antarakamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagiMahaMengenal.”
Syaikh Assa’di Rahimahullah berkata:
“Allah menjadikan kalian berbeda bangsa dan suku (ada yang Arab dan ada yang non Arab) supaya kalian saling mengenal dan mengetahui nasab satu dan lainnya. Namun kemuliaan diukur dari takwa. Itulah yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah, yang rajin melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat.
Standar kemuliaan (di sisi Allah) bukan dilihat dari ke kerabatan dan kaum, bukan pula dilihat dari sisi nasab yang mulia. Allah pun Maha Mengetahui danMahaMengenal. Allah benar-benartahu siapa yang bertakwa secara lahir dan batin, atau yang bertakwa secara lahiriyahsaja, namun tidaksecarabatin. Allah pun akanmembalasnyasesuairealita yang ada.”(Taisir Al Karimir Rahman, 802)
Maka, predikat kemuliaan inilah yang bakal digapai bagi orang-orang yang berpuasa dengan berusaha menjaganya dari sifat riya’, pekerjaan sisa-sia, gibah, dusta, dan maksiat lainnya. Serta menguatkan puasannya dengan qiyamurramadhan (tarawih).
Sesunggugnya perintah puasa tidaklah berdiri sendiri tapi mesti dibarengi dengan munajat kepada Allah di malam hari, di awal malam, di tengah malam atau pun di penghujung malam.
Lalu dia menghidupkan Qira’atul Qur’an, karena awal mula turunnya Al-Qur’an adalah di bulan Ramadhan, maka mestinya di Ramadhan kali ini pun akan nuzul dalam jiwa kita bila cara “membacanya” benar.
Kemudian pelaku puasa hendaknya membayar zakat dan berinfaq. Keduanya adalah wajib, maka dengan menunaikan di bulan Ramadhan maka akan memudahkan meraih takwa karena di dalamnya banyak keberkahan, pahala yang berlipat ganda dan doa para mustahiq.
Dan, tidak meninggalkan ibadah I’tikaf, dilakukan di supuluh hari terakhir dengan menetap di dalam masjid untuk dzikir, doa dan tafakkur kepada Allah Ta’ala. Kata Nabi, di sepuluh terakhir Ramadhan ada satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan yakni malam lailatul qadr.
Jika dianalogikan, orang berpuasa itu adalah input dan seluruh rangkaian ibadah Ramadhan adalah process serta takwa adalah output-nya, maka dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai output yang baik sangat ditentukan oleh input dan proses yang baik pula.
Maka, menjadi hal yang sangat mendasar bahkan prasyarat utama adanya kualitas iman bagishoimin. Selanjutnya memproses diri dengan menjalankan semua bentuk ibadah dengan ketat dan penuh semangat yang akan men-sibgoh dirinya selama Ramadhan.
Dengan demikian, output sebagai efek dari iman dan jihad (baca: mujahadah) akan tercapai dengan sendirinya. Allahu ‘alam.*/ WAHYU RAHMAN, penulis adalah Direktur LAZNAS BMH Pusat. (hidayatullah/adj)