Mewaspadai Penyeru ke Neraka Jahanam

MUSTANIR.net – Di antara fitnah akhir zaman yang dikabarkan Rasulullah ﷺ adalah fitnah munculnya penyeru ke pintu-pintu neraka Jahanam (du’ât ’alâ abwâb Jahannam). Fenomena tersebut bukan terjadi pada masa generasi terbaik umat ini, melainkan pada masa jauh setelahnya, setelah jauh dari ajaran-ajarannya, dan memahami peringatan ini menjadi pelajaran wa’yu siyâsî (kesadaran politik) mengidentifikasi dan memetakan ancaman keburukan.

Itu semua tergambar dalam dialog Hudzaifah bin Yaman raḍiyallāhu ‘anhu dan Rasulullah ﷺ dalam hadis:

Orang-orang semua bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang kebaikan, sementara aku (Hudzaifah raḍiyallāhu ‘anhu) bertanya tentang keburukan karena aku takut akan menimpa diriku. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kami ini telah melewati masa jahiliah dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”

Beliau menjawab, “Ya.” Aku: “Apakah setelah keburukan itu akan kembali datang kebaikan?” Rasulullah ﷺ, “Ya, tetapi ada sedikit kabut (ketidakjelasan).” Aku: “Apa kabutnya?” Rasulullah ﷺ bersabda, “Adanya kaum yang tidak melaksanakan sunnahku dan tidak berpedoman pada petunjukku. Ada yang kamu dukung perbuatan mereka, ada pula yang kamu ingkari.” Lalu sampai pada pertanyaan Hudzaifah raḍiyallāhu ‘anhu, “Apakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?” Rasulullah ﷺ menjawab:

نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابهم إِلَيْهَا قَذَفُوه فِيهَا

“Ya, kaum yang menyeru ke pintu-pintu Jahanam. Siapa yang memenuhi seruannya akan terhempas ke dalamnya.”

Hudzaifah raḍiyallāhu ‘anhu, “Tolong gambarkan kaum tersebut kepada kami, wahai Rasulullah.” Beliau ﷺ menjawab:

نَعَمْ قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا

“Orang-orang dari kulit kita sendiri dan berbicara dengan bahasa kita.”

Hudzaifah raḍiyallāhu ‘anhu: “Wahai Rasulullah, apa saran Anda jika aku mendapatinya?” Beliau ﷺ menjawab:

تَلْزَمُ جَمَاعَة الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ

“Tetaplah bergabung pada jama’ah kaum muslim dan imam mereka.”

Hudzaifah raḍiyallāhu ‘anhu: “Jika tidak ada jama’ah tidak pula ada imam?” Beliau ﷺ menjawab:

فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Tinggalkan semua kelompok itu meski engkau harus menggigit akar pohon sampai kematian mendatangimu dalam keadaan seperti itu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Kalimat: du’ât ’alâ abwâb Jahannam menunjukkan adanya mereka yang menyeru ke pintu-pintu Jahanam. Fenomena ini terjadi jauh-jauh hari setelah masa Rasulullah ﷺ. Lafal du’ât sebagai jamak dari dâ’i menunjukkan banyaknya jumlah mereka (kolektif). Bukan hanya banyak, juga beragam (beragam jenis kelompoknya). Pasalnya, lafal du’ât[un] diungkapkan dalam bentuk nakirah. Ia, sebagaimana kaidah yang disebutkan Syaikh ’Atha bin Khalil dan para ulama:

النكرة تفيد التعدد والإبْهَامِ

An-Nakirah berfaedah pada keragaman jenis dan keluasan cakupannya.

Bahkan bukan hanya beragam kelompok, tetapi juga beragam bentuk penyimpangan dan seruannya, ditandai lafal abwâb berbentuk jamak. Ini menunjukkan banyaknya pintu ke neraka Jahanam, yakni beragam kebatilan itu sendiri. Kalimat du’ât[un] ’alâ abwâb jahannam ini bermakna kiasan dengan menyebutkan akibat “menyeru ke pintu-pintu neraka Jahanam”. Namun, yang dimaksud adalah sebabnya: “menyeru pada hal-hal yang bisa menyebabkan seseorang disiksa dalam neraka Jahanam” (al-majâz al-mursal bi al-’alâqah al-musabbabiyyah).

Pasalnya, tidak ada seseorang pun yang secara terbuka mengajak orang lain masuk Jahanam. Abwâb Jahannam dalam hadis ini menegaskan bahwa apa yang mereka serukan adalah hal-hal yang secara qath’i bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.

Al-Hafizh an-Nawawi (w. 676 H) dalam al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim (XVIII/13) menguraikan makna du’ât[un] ’alâ abwâb jahannam, bahwa mereka adalah siapa saja dari para pemimpin yang menyerukan bid’ah (penyimpangan dari Islam), atau kesesatan lainnya, seperti khawarij dan qaramithah (syî’ah bathiniyyah isma’iliyyah).

Al-Asyraf, dinukil al-Mulla Ali al-Qari (w 1014 H) dalam Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh (VIII/3380) menjelaskan makna du’ât[un] ’alâ abwâb jahannam, yakni kelompok yang menyeru manusia pada kesesatan dan menghalangi mereka dari petunjuk Islam, dengan beragam jenis tipu daya;  dari kebaikan menuju keburukan; dari sunnah menuju bid’ah; dan dari sifat zuhud ke cinta dunia.

Dengan demikian suara-suara sumbang di zaman ini yang menyerukan ideologi komunisme, sosialisme, marxisme, materialisme, kapitalisme, sekularisme, liberalisme serta rentetan pemikiran lainnya (seperti pluralisme, relativisme, feminisme, moderatisme, dialog antaragama, demokrasi dan HAM) yang menjadi lahan tumbuh suburnya kesesatan dan penyimpangan (seperti LGBT, pemurtadan dan penistaan pada Islam), itu semua hakikatnya termasuk seruan ke neraka Jahanam.

Bahkan bukan hanya diserukan, paham-paham menyimpang ini pun dikemas para penyerunya dengan retorika manis. Ini relevan dengan gambaran dalam peringatan Rasulullah ﷺ:

إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ

Sungguh yang paling dikhawatirkan dari perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah setiap orang munafik yang pandai bersilat lidah.” (HR Ahmad dan al-Bazzar)

Hadis ini mengandung peringatan tegas atas kaum munafik yang pandai bersilat lidah, ikut menjustifikasi dan mendukung berbagai penyimpangan pemikiran dan perbuatan. Tidak ada muslim yang mendukung kemungkaran tersebut dengan retorikanya melainkan ia munafik yang pandai bersilat lidah.

Lalu bagaimana sikap kita menyikapi kelompok-kelompok penyeru kepada kesesatan tersebut? Nabi ﷺ dalam hadits di atas sudah memberikan tawjîh (arahan):

Pertama, berlindung kepada jamâ’at al-muslimîn wa imâmahum, yakni kinâyah dari khilafah dan khalifah. Sebabnya, hanya sistem khilafah dalam sunnah Nabi ﷺ yang menjadi simbol bagi persatuan kaum muslim di bawah satu imam (khalifah). Ini relevan dengan sifat junnah dalam hadis dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

إِنَّماَ الْإِمَامُ جُنَّة يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

Sungguh imam (khalifah) itu perisai; (orang-orang) akan berperang mendukung dia dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf an-Nawawi (w. 676 H) dalam al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hijâz (XII/230) menjelaskan bahwa al-imâm berfungsi memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung kepada dia dan mereka tunduk pada kekuasaannya.

Al-Imam Badruddin al-‘Aini (w. 855 H) dalam ‘Umdat al-Qârî Syarh Shahîh al-Bukhâri (XIV/222) menjelaskan bahwa al-imâm sesungguhnya melindungi kaum muslim dari tangan-tangan musuh dan melindungi kemurnian ajaran Islam. Hal itu direalisasikan dengan menerapkan sanksi yang tegas bagi mereka yang menyebarkan paham-paham sesat menyesatkan kaum muslim.

Ke dua, wajib meninggalkan kelompok-kelompok penyeru ke neraka Jahanam tersebut dengan segenap daya dan upaya. Ungkapan “menggigit akar pohon” merupakan bentuk kiasan yang dipinjam (al-isti’ârah al-tamtsîliyyah) untuk menggambarkan keteguhan meninggalkan kelompok-kelompok penyeru ke pintu-pintu neraka Jahanam. Ini ditegaskan dengan lafal tawkîd lafzhî: kull, pada frasa al-firaq[a] kullaha, yang meneguhkan makna cakupan seluruh kelompok tersebut.

Kalimat man ajâbahum ilayhâ fadzafûhu fîhâ, yakni siapa saja yang menyambut, menjawab dan membenarkan seruan para penyeru ke neraka Jahanam ini maka akan terjerumus pula ke neraka Jahanam. Jika demikian adanya ganjaran bagi siapa saja yang menjawab seruan para penyeru Jahanam, maka bagaimana jadinya jika orang yang diseru akhirnya menjadi penyeru pula ke neraka Jahanam?

Alhasil, hendaklah setiap muslim waspada:

وَذَكِّرۡ فَإِنَّ ٱلذِّكۡرَىٰ تَنفَعُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ  ٥٥

Tetaplah memberikan peringatan karena sungguh peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukmin (QS adz-Dzariyat [51]: 55).

WalLaahu a’lam bi ash-shawwaab. []

Sumber: Irfan Abu Naveed

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories