Papua, Negeri Kaya Nyaris tak Tersentuh Pendidikan dan Kesehatan

Anak-anak beraktifitas sebelum mengikuti kegiatan belajar mengajar di SD YPPK Ewer, Agats, Kabupaten Asmat, Jumat (26/1). foto: rol


MUSTANIR.COM, Matahari sudah agak tinggi di Kabupaten Asmat. Sebentar lagi pukul 08.00 WIT. Satu-dua anak-anak bercelana pendek merah dengan dengan kemeja putih mulai mendatangi sekolah. Hampir seluruhnya tak bersepatu. Berkumpul di tengah sekolah sebentar, mendaras Pancasila, kemudian bubar, tapi tak langsung belajar.

Sekolah dasar yang didirikan salah satu yayasan pendidikan Katolik di Asmat tersebut, seluruhnya terbuat dari kayu. Ia didirikan di atas semacam panggung yang di topang pilar-pilar kayu sebagaimana hampir seluruh bangunan di Asmat.

Di bawah panggung, rawa berlumpur. Sebagian anak-anak agaknya diminta membersihkan sampah di rawa berlumpur bawah sekolah sebelum belajar-mengajar dimulai. Beberapa patuh, lainnya sibuk berlarian dan bercanda.

Ada Erman di antara anak-anak tersebut. Usianya sudah mencapai belasan tapi baru duduk di kelas tiga. Ia masih kesulitan mengeja namanya sendiri. “Tadi ada di situ,” jawab dia saat ditanyai Republika.co.id soal keberadaan guru mereka, akhir pekan lalu. Yang dicari kemudian keluar dari salah satu kelas di bagian selatan sekolah.

Ia seorang perempuan muda dengan gincu merah tebal. Seorang balita meringkuk di gendongannya. “Iya, baru saya sendiri yang datang hari ini,” jawab perempuan bernama Silviatna itu malu-malu. Sudah kerap begitu,” tutur dia. Saat ditanya keberadaan guru-guru yang lain, ia hanya menjawab sedang punya urusan masing-masing.

Silviatna sedianya guru kelas empat. Hari itu, ia mungkin harus mengajar sebanyak 200 murid yang tersebar di berbagai kelas. Sekolah itu berdiri di wilayah yang tergolong paling mudah diakses di Asmat. Ia hanya seratus meter dari Bandara Ewer di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat. Jika kondisi di sekolah tersebut tergolong tak ideal menurut standar pendidikan di Jawa, di pedalaman kondisinya kerap jauh lebih buruk.

Di Distrik Korowai Bulanop, misalnya, hanya ada sekolah di dua kampung yang masing-masing punya tiga kelas. Alhasil ratusan anak-anak tak bisa mengenyam bangku sekolah. Kondisi tersebut juga serupa di banyak distrik lainnya.

Secara keseluruhan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, rerata lama bersekolah warga Asmat tercatat pada angka 4,5 tahun saja. Artinya, rata-rata warga Asmat berhenti bersekolah pada kelas 4 atau kelas 5 sekolah dasar.

Angka tersebut di bawah rerata lama bersekolah di Papua yang mencapai 6,1 tahun, alias yang terendah di Indonesia. Angka tersebut tak mencapai separuh dari rerata lama sekolah nasional yang mencapai 12,7 tahun.

Di daerah-daerah tertentu, kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Di Kabupaten Nduga, misalnya, rerata lama bersekolah 0,7 tahun. Artinya, rata-rata warga Nduga bahkan tak selesai kelas 1 SD. Daerah lain yang mencatatkan lama sekolah terendah di antaranya Pegunungan Bintang dan Yalimo (2,2 tahun), Mamberamo Tengah (2,5 tahun), Lani Jaya (2,9 tahun), Puncak Jaya (3,4 tahun), dan Paniai (3,8 tahun).

Kondisi tersebut tak hanya persoalan pendidikan semata. Ia pada akhirnya berkaitan dengan krisis kesehatan yang jadi sorotan di Asmat dan yang mengancam Papua secara keseluruhan.

Kepala Dinas Kesehatan Papua, Aloysius Giay, mengiyakan adanya korelasi antara faktor-faktor nonkesehatan terkait wabah yang menerpa Asmat dan mengancam Papua secara keseluruhan. “Ini juga soal ketahanan pangan, soal pertanian, dan soal pendidikan,” ujarnya kepada Republika.co.id di Agats.

Ia menekankan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat mesti memetakan secara komprehensif persoalan di Papua tersebut. Langkah-langkah yang disusun, harus dari hulu sampai hilir perencanaannya.

Rendahnya tingkat pendidikan juga berimbas pada ketersediaan tenaga kesehatan di Papua. Kepala Dinas Kesehatan Paniai, Robby Kayame, mencontohkan, banyak tenaga kesehatan kontrak di Papua kesulitan saat harus mengerjakan tes kompetensi dengan sistem soal yang harus diselesaikan dalam waktu 180 menit.

“Kalau bisa khusus dari Papua ditambah menitnya,” kata dia di Timika, pekan lalu. Langkah afirmasi tersebut, menurutnya bisa menambah jumlah tenaga kesehatan dari penduduk asli Papua. Meski begitu, Aloysius tak sepakat. Menurutnya, seturut pentingnya isu kesehatan, ujiannya juga tak boleh main-main.

Selain kompetensi, tingkat pendidikan di Papua, kata Robby, memicu lebih banyak pendaftar tenaga kesehatan dari luar daerah, yang terbanyak dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi. Ia mencontohkan, dalam rekrutmen terkini, hanya 20 persen putra-putri asli Papua yang mendaftar.

Ini membuat keberadaan tenaga kesehatan di Papua tak berkesinambungan. Karena dalam banyak kasus tenaga-tenaga dari luar daerah itu ujung-ujungnya akan meninggalkan daerah tugas mereka di Papua. “Berbeda kalau kita rekrut anak-anak lokal yang sudah mengerti medan dan masyarakat setempat,” ujar dia.

Kaitan antara pendidikan dan kesehatan ini tak luput dari pengamatan Menteri Kesehatan Nila F Moeloek. “Bagaimana mau hidup sehat kalau mereka tidak tahu harus cuci tangan sebelum makan,” kata Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dalam kunjungannya ke Asmat pekan lalu.

Ia menekankan, persoalan kesehatan di Asmat tak terlepas dari salah satu hulunya, yaitu rendahnya tingkat pendidikan yang kemudian menghasilkan pengetahuan kesehatan yang tak memadai. Tanpa pendidikan yang baik, warga tak paham soal bagaimana memenuhi kebutuhan gizi yang akhirnya membuat mereka rentan terkena malanutrisi serta penyakit-penyakit menular.

Menkes menjanjikan, akan membicarakan persoalan pendidikan serta kaitannya dengan kesediaan tenaga kesehatan di Papua dengan pihak-pihak terkait di Jakarta seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
(republika.co.id/6/2/18)

Komentar:
Ada Kesan, Negeri Papua hanya dimanfaatkan hasil buminya, tetapi pribuminya terabaikan.

About Author

Categories