“Realistis” adalah Dalih Ketundukan Kaum yang Takluk kepada Hegemoni Status Quo

MUSTANIR.net – Dalam percakapan sosial kita, kata “realistis” sering terdengar sebagai tanda kebijaksanaan. Ia terdengar tenang, bijak, dan matang. Namun di balik kesan rasional itu, tersimpan wajah lain yang lebih kelam: wajah kompromi, wajah kepasrahan, dan wajah ketundukan. Sebab, ketika “realistis” dijadikan alasan untuk berhenti memperjuangkan idealisme, maka sesungguhnya yang berbicara bukanlah kebijaksanaan, melainkan kekalahan yang dibungkus logika.

Dalam kerangka teori hegemoni Antonio Gramsci, kekuasaan tidak hanya menundukkan dengan kekerasan, tetapi juga dengan persetujuan. Kaum yang tertunduk sering kali tidak merasa ditindas, karena kesadarannya telah dikonstruksi oleh sistem nilai yang membuat penindasan tampak wajar. Inilah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni budaya—sebuah situasi di mana ideologi penguasa diterima sebagai kebenaran umum. Di sinilah kata “realistis” menemukan fungsinya yang paling licik: ia menjadi bahasa dominan yang mematikan imajinasi perlawanan.

Mereka yang mengatakan “harus realistis” biasanya tidak sedang berbicara tentang fakta objektif, melainkan sedang menegaskan batas pikirannya sendiri yang telah dibentuk oleh tatanan hegemonik. “Realistis” akhirnya berarti “sesuai dengan tatanan yang ada.” Ia menolak perubahan karena perubahan dianggap tidak mungkin. Padahal, sejarah justru dibentuk oleh orang-orang yang tidak puas dengan kenyataan dan menolak tunduk pada “realitas” versi penguasa.

Kaum yang disebut “realistis” itulah yang oleh Gramsci disebut sebagai common sense yang dikooptasi—kesadaran rakyat yang sudah diatur sedemikian rupa agar berpikir sesuai kepentingan struktur dominan. Mereka tidak lagi bertanya mengapa ketidakadilan harus ada, karena sudah menerima bahwa “begitulah dunia bekerja.” Dalam situasi seperti ini, status quo tidak perlu represi fisik; cukup dengan melanggengkan keyakinan bahwa segala upaya perubahan adalah utopia.

Ironinya, istilah “realistis” sering digunakan untuk menertawakan idealisme. Padahal, tanpa idealisme, tidak akan ada kemajuan. Yang disebut realistis pada abad ke-19 mungkin menolak ide kemerdekaan, karena menurut logika masa itu, melawan kekuatan kolonial adalah tindakan gila. Tetapi sejarah membuktikan bahwa yang “tidak realistis” justru menulis bab kemerdekaan dengan darah dan keberanian.

Hegemoni bekerja bukan hanya di ruang politik, melainkan di seluruh sendi kehidupan—dari ekonomi, pendidikan, media, hingga budaya populer. Melalui semua itu, masyarakat dididik untuk mencintai kenyamanan daripada kebenaran, keamanan daripada kebebasan, stabilitas daripada keadilan. Akibatnya, manusia modern lebih takut kehilangan posisi sosialnya daripada kehilangan nuraninya. Maka, ketika seseorang berkata, “saya hanya realistis,” sesungguhnya ia sedang menyatakan kesetiaannya kepada sistem yang menindasnya.

Carl von Clausewitz, dalam On War, menegaskan bahwa tujuan sejati perang bukanlah penghancuran kekuatan fisik lawan, tetapi kehancuran will—kemauan untuk berjuang. Prinsip ini dapat dibaca ulang dalam konteks ideologis modern: peperangan kini tidak selalu menggunakan peluru, melainkan kata, narasi, dan simbol. Ketika suatu rezim ingin menundukkan lawan, yang pertama kali dihancurkan bukan pasukannya, melainkan semangatnya. Maka, kata “realistis” menjadi senjata halus untuk melemahkan kemauan rakyat agar tidak melawan.

Agar tampak bijak, kalangan yang tunduk dan takluk kepada hegemoni status quo senantiasa mengajak kaum awam agar mau “realistis” dengan mengikuti mereka untuk menuju usaha perubahan yang semu dan parsial melalui kontestasi demokrasi dan jalur konstitusi dalam tatanan kufur yang sejatinya merupakan mekanisme penjajahan sistematis. Mereka memoles jalan kompromi dengan bahasa pragmatisme dan “politik maslahat,” padahal sesungguhnya mereka sedang mengokohkan kerangka sistem yang menindas dengan menjadi bagian darinya. Inilah bentuk penipuan intelektual modern-sebuah “realitas palsu” yang menyesatkan umat agar percaya bahwa keadilan dapat lahir dari rahim sistem yang secara ideologis menolak kedaulatan Tuhan.

Jika kita hendak menerjemahkan logika Clausewitz ke dalam strategi perubahan sistem yang etis dan efektif, model historis terdekat yang relevan adalah metodologi dakwah dan perubahan yang ditempuh Rasulullah ﷺ: sebuah rangkaian tahapan yang dimulai dari pendidikan dan pembentukan gagasan (tatsqîf), lalu pembentukan karakter (tarbiyyah), pengorganisasian yang disiplin (tanzîm), penerapan dakwah siyasiyah yang mandiri, dan akhirnya mencapai dukungan serta kemenangan (nusrah). Pendekatan ini menekankan dua sumbu utama—dakwah fikriyah (pembebasan intelektual dan pembentukan narasi) dan dakwah siyasiyah (politik alternatif yang tidak menjadi bagian dari status quo)—sebagai penangkal paling ampuh terhadap upaya penghancuran kemauan kolektif.

1. TatsqîfPendidikan dan Pencerahan Fikriyah

Tahap pertama adalah membuka wawasan: menyebarkan pemahaman ideologis yang bebas dari wacana hegemonik. Dalam praktiknya, ini berarti pengajaran yang mengilahikan akal kritis, sejarah, dan nilai-nilai dasar—bukan sekadar informasi prosedural. Tatstqîf menargetkan lapisan pemikiran, menggantikan narasi “ketidakmungkinan” dengan argumen rasional dan visi alternatif sehingga keyakinan untuk berubah mulai lahir.

2. TarbiyyahPembentukan Moral dan Keteguhan

Pendidikan tanpa pembentukan jiwa rentan. Tarbiyyah berfokus pada pembangunan karakter, ketabahan, dan disiplin moral individu serta kelompok. Ini menjaga agar gagasan yang sudah tersebar tidak luntur ketika mendapat serangan psikologis atau propaganda; ia menanamkan kesetiaan pada prinsip sehingga kemauan kolektif menjadi tahan banting.

3. TanzîmOrganisasi dan Strategi Kolektif

Selanjutnya dibutuhkan organisasi yang rapi dan etis—bukan organisasi yang berorientasi kekuasaan atau kompromi dengan struktur lama. Tanzîm menyiapkan mekanisme pengambilan keputusan, kaderisasi, komunikasi internal, dan aksi kolektif yang mampu bertahan dari upaya kooptasi. Organisasi ini tetap independen: tidak menjadi bagian dari sistem status quo, karena bergabung ke dalamnya akan melunturkan tujuan transformasi.

4. Dakwah SiyasiyahPolitik Alternatif Tanpa Kooptasi

Setelah gagasan, karakter, dan organisasi siap, langkah politik dilaksanakan melalui dakwah siyasiyah: penetrasi wacana ke ranah publik dan lembaga tanpa masuk ke lini utama kekuasaan yang legitimasinya berasal dari status quo. Dakwah siyasiyah yang sukses memengaruhi opini, meraih simpati, dan membangun basis moral serta politik yang kuat—dengan tetap menjaga jarak dari struktur yang ingin diubah agar tidak menjadi alat reproduksi hegemoni.

5. NusrahDukungan dan Langkah Strategis Menuju Perubahan

Nusrah bukan sekadar kemenangan militer; ia adalah titik di mana dukungan sosial-politik cukup untuk menggantikan tatanan lama. Tahap ini muncul setelah tatsqîf, tarbiyyah, tanzîm, dan dakwah siyasiyah menjadikan kemauan kolektif hidup kuat dan resilien. Pada saatnya, tindakan kolektif yang terencana dapat meraih perubahan substansial tanpa harus mengadopsi etika atau logika status quo.

Pendekatan ini menanggapi inti Clausewitz: jika lawan berupaya menghancurkan kemauan, maka prioritas perlawanan adalah memelihara, memperkuat, dan mengkonsentrasikan kemauan—melalui fikrah dan siyasah yang terarah—bukan melalui kompromi yang mencabut akar identitas dan tujuan. Dengan demikian, melawan hegemoni berarti membangun basis ideologis dan politik yang tidak hanya tahan terhadap serangan psikologis, tetapi juga mampu menegakkan alternatif yang bermartabat tanpa menjadi bagian dari sistem yang menindas.

Dalam Islam, sikap seperti itu disebut riḍā bi al-ẓulm—ridha terhadap kezaliman. Al-Qur’an mengecam kaum yang berkata, “Kami hanyalah mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami” (QS al-Baqarah: 170), sebab alasan itu menjadi dalih untuk tidak berpikir dan tidak melawan. Sikap “realistis” yang membenarkan tatanan batil adalah bentuk modern dari penyakit lama ini: kepatuhan tanpa kesadaran. riḍā bi al-ẓulm—ridha terhadap kezaliman. Al-Qur’an mengecam kaum yang berkata, “Kami hanyalah mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami” (QS al-Baqarah: 170), sebab alasan itu menjadi dalih untuk tidak berpikir dan tidak melawan. Sikap “realistis” yang membenarkan tatanan batil adalah bentuk modern dari penyakit lama ini: kepatuhan tanpa kesadaran.

Sejarah Nabi Muhammad ﷺ menunjukkan hal sebaliknya. Ketika kaum Quraisy menawarkan kompromi “realistis”—sehari menyembah Allah, sehari menyembah berhala—beliau menolak tegas. Surah Al-Kafirun menjadi simbol sikap revolusioner terhadap hegemoni nilai yang mapan. Islam datang bukan untuk menjadi “realistis” dalam menerima kebiasaan jahiliyah, tetapi untuk mengguncang dan menggantikannya.

Dalam dunia modern, hegemoni tampil lebih halus. Ia hadir melalui jargon-jargon ekonomi seperti “kerakyatan,” melalui konsep politik seperti “kebangsaan,” dan melalui budaya konsumsi yang memanjakan hasrat namun mematikan kesadaran. Ketika rakyat kecil disuruh “realistis” terhadap harga yang terus naik, terhadap upah yang tidak adil, terhadap sistem pendidikan yang memihak kapital—itu bukan nasihat, tetapi pembiusan.

Kata “realistis” akhirnya menjadi semacam injil palsu zaman modern: menenangkan hati, tapi mematikan jiwa. Ia mencegah manusia untuk bermimpi, berjuang, dan melawan. Dalam konteks ideologi, inilah bentuk paling efektif dari dominasi—dominasi yang tidak perlu kekerasan karena kesadaran sudah ditaklukkan.

Namun sejarah selalu menyediakan ruang bagi mereka yang menolak tunduk. Dari para nabi, pejuang, hingga pemikir revolusioner, mereka semua memiliki satu kesamaan: keberanian untuk tidak menjadi “realistis.” Mereka hidup di tengah masyarakat yang sudah menganggap ketidakadilan sebagai sesuatu yang normal, namun mereka berani berkata, “tidak.”

Menjadi tidak “realistis” dalam konteks ini bukan berarti menolak kenyataan, melainkan menolak manipulasi yang menjadikan kenyataan itu sebagai alat legitimasi. Ia adalah bentuk kesadaran kritis (conscious praxis) yang memadukan iman, nalar, dan keberanian untuk membangun tatanan baru.

Maka, “realistis” sejatinya bukanlah kebijaksanaan, melainkan strategi hegemoni agar manusia berhenti berjuang. Ia adalah mantra penjinakan sosial. Kaum yang benar-benar memerdekakan diri adalah mereka yang berani mencurigai kata itu, membongkar maknanya, dan menggantinya dengan keberanian untuk bermimpi dan berjuang melampaui batas yang ditetapkan penguasa.

Pada akhirnya, kata “realistis” telah menjelma menjadi mekanisme penjajahan baru: ia tidak lagi menaklukkan tubuh, tetapi kesadaran. Dengan menginternalisasi makna “realistis” versi sistem sekuler, manusia modern sejatinya sedang menandatangani perjanjian tak kasat mata untuk terus tunduk di bawah logika penjajahan yang berwajah rasional.

Mereka diajak percaya bahwa perubahan harus berkompromi dengan tatanan yang ada, bahwa kebebasan harus lahir dari sistem yang mengurungnya, dan bahwa keadilan bisa tumbuh dari hukum yang menolak sumber nilai ilahiah. Inilah ironi terbesar peradaban modern—di mana penindasan tidak lagi terasa sebagai paksaan, melainkan diyakini sebagai kebijaksanaan.

Dengan demikian, dalam dunia yang dikuasai oleh status quo, menjadi “tidak realistis” justru adalah satu-satunya bentuk rasionalitas sejati—rasionalitas yang berangkat dari kesadaran, bukan ketakutan; dari keyakinan, bukan kepasrahan. Sebab, di balik setiap kemajuan sejarah, selalu ada mereka yang berani menolak tunduk kepada realitas palsu yang diciptakan oleh kekuasaan, dan kembali menegakkan kebenaran sejati sebagai tolok ukur kehidupan. []

Sumber: Martin Sumari

About Author

Categories