Prihatin Terhadap Sentimen Anti Muslim di Myanmar
Prihatin Terhadap Sentimen Anti Muslim di Myanmar
Kekerasan sektarian terhadap Muslim Rohingya di Myanmar mereda sejak beberapa bulan terakhir, tetapi sentimen kebencian dilaporkan masih berlanjut.
Seorang warga di ibukota Yangon, Hla Mynt Htun menyatakan sering mengalami diskriminasi jika berada di tempat yang dihuni mayoritas Buddha.
“Kalau kita di sana tak bisalah bebas pakai peci, dan juga baju Muslim, dan kadang mendapatkan perkataan yang tidak pantas jika naik bus,” jelas dia.
Kampanye penyebaran kebencian terhadap minoritas Muslim mulai gencar dilakukan oleh seorang biksu Buddha Ashin Wirathu melalui kelompok 969, yang menyebutkan keberadaan Muslim di negara tersebut mengancam agama Buddha.
Pemilik perusahaan percetakan di Yangon, Sulaiman bin Sulae, yang tak menyebut nama Burmanya, mengaku merasakan dampak kampanye anti Muslim terhadap bisnisnya.
“Ada konsumen yang mau order tapi terus dibatalkan setelah mengetahui pemilik perusahaan ini Muslim,” katanya.
“Tapi itu orang tidak berpendidikanlah, dan dulu tak pernah ada itu,” jelas Sulaiman.
Sulaiman mengaku selama ini dirinya tak pernah membedakan karyawan dari agamannya. Dari tujuh orang karyawan hanya tiga yang Muslim, selebihnya penganut Buddha.
“Kalau salah ya saya sama-sama marahi, tidak membeda-bedakan,” jelas Sulaiman yang pernah tinggal di Malaysia ini.
Tidak berpengaruh
Salah satu pimpinan Islamic Center Myanmar Aye Lwin mengatakan penyebaran kebencian dilakukan oleh sekelompok biksu Buddha dinilai tidak berpengaruh secara luas.
“Mereka yang percaya tentang itu adalah yang tidak berpendidikan, dan faktor kemiskinan juga mempengaruhi. Mereka hanya mendengarkan apa yang dikatakan oleh pemimpin agama mereka, kemudian bergabung dengan demonstrasi setelah dikasih uang, tetapi sekarang ini tak ada lagi. Tetapi penyebaran kebencian masih dilakukan,” jelas Aye Lwin.
Sementara, Tun Min Oo seorang guru yang tinggal di sebuah biara Buddha, mengaku tak pernah terpengaruh dengan kampanye anti Muslim, dan menegaskan kekerasan bukan merupakan cerminan agama Buddha.
“Saya tidak pernah membeda-bedakan dalam mengajar. Saya seorang guru, jadi bagi saya semua orang itu sama. Tak penting agamanya apa, situasi seperti itu malah akan memperburuk kondisi di Myanmar,” kata Tun.
Latar belakang politik
Data resmi menyebutkan jumlah Muslim di Myanmar mencapai 4 % dari total populasi yang mencapai lebih dari 51 juta orang, tetapi sejumlah perkiraan menyebutkan jumlah Muslim di negara itu mencapai 10 %.
Sentiman Anti muslim dan Rohingya mulai gencar dilakukan terjadi sejak rezim militer berkuasa di negara tersebut.
Sejak tiga tahun terakhir pula, kekerasan terhadap kelompok minoritas Muslim terjadi di sejumlah tempat, dimulai di Mandalay, Laisho, Meiktila dan sempat menyebar ke pinggiran kota Yangon.
Sementara ribuan etnis Rohingya Muslim dari Rakhine mengungsi akibat kekerasan. Mereka sempat terdampar di laut dan ditolak masuk ke sejumlah negara, tetapi kemudian Indonesia dan Malaysia bersedia menampung sekitar 3.000 orang etnis Rohingya Muslim.
Pemimpin organisasi agama Buddha Ratana Metta, Mynt Swe menyatakan sebagian besar Biksu Buddha tidak mendukung kampanye anti Muslim tersebut dan meyakini adanya latar belakang politik dalam isu anti Muslim di Myanmar.
“Sebagian besar dari 500 ribu biksu Buddha di Myanmar percaya situasi ini merupakan bentukan pemerintah. Mereka (pemerintah) tidak melakukan tindakan apapun terhadap biksu yang menyebarkan kampanye kebencian terhadap agama lain.
Mei lalu, Pemerintah Myanmar mengesahkan UU Kependudukan yang bertujuan untuk menekan angka kelahiran di negara bagian Rakhine.
Aktivis meyakini UU baru ini sengaja diberlakukan untuk menekan populasi penduduk di Rakhine yang mayoritas penduduknya merupakan Muslim Rohingya.
Pemerintah Myanmar pun mencabut identitas kewarganegaraan etnis Rohingya. Organisasi HAM menyebutkan Rohingya merupakan kelompok etnis yang paling teraniaya di dunia.