Tanah Palestina, Antara Blokade, Kesabaran Dan Penderitaan
Tanah Palestina, Antara Blokade, Kesabaran Dan Penderitaan
15 % tanah Palestina yang hari ini masih diakui sebagai tanah Palestina adalah dua wilayah terpisah yaitu Jalur Gaza dan Tepi Barat, dimana Jalur Gaza berada di barat daya Palestina dan berbatasan dengan Mesir sementara Tepi Barat berada di timur laut Palestina dan berbatasan dengan Yordania.
Dari kedua wilayah Palestina yang tersisa tersebut, Tepi Barat sebenarnya bisa dikatakan “wilayah formalitas” atau “boneka” karena di wilayah tersebut pasukan keamanan Zionis Israel yang hakikatnya berkuasa penuh dan bebas bergerak sesuka hati tanpa bisa diredam oleh Otoritas Palestina dibawah kepimpinan Mahmud Abbas. Hal tersebut berbeda dengan wilayah Jalur Gaza yang 100 % bebas dari eksistensi zionis Israel. Dengan demikian bisa kita katakan bahwa “Jalur Gaza” adalah satu satunya wilayah yang benar benar merdeka dari penjajahan zionis israel.
Bebasnya Jalur Gaza disini bukan berarti zionis israel enggan menguasai wilayah tersebut sebagaimana mereka telah menguasai Tepi Barat dan seluruh wilayah wilayah Palestina lainnya, akan tetapi berbagai usaha agresi militer zionis ke Jalur Gaza selalu berakhir dengan kibaran bendera putih yang diangkat oleh zionis Israel, seperti yang terjadi sejak tahun 2008 hingga 2014 tercatat sedikitnya 3 agresi militer skala besar zionis Israel atas Gaza selalu berhasil di redam oleh para pejuang Palestina di Jalur Gaza.
Kekalahan demi kekalahan tersebut lah yang membuat geramnya pemerintah zionis Israel dan berusaha dengan sekuat tenaga mereka untuk memberikan penderitaan bertubi tubi kepada seluruh warga Palestina di wilayah seluas 360 km tersebut yang salah satunya dengan melakukan blokade dan berbagai konspirasi yang dibantu oleh Amerika serikat san sekutunya.
Jalur Gaza Hari Ini
Sejak diberlakukan blokade atas Jalur Gaza pada tahun 2006 silam, kisah tentang penderitaan warga Gaza seolah tidak ada habisnya. Karena blokade disini berarti lebih dari sekedar penjajahan, akan tetapi zionis Israel secara tidak langsung telah berhasil memposisikan Gaza sebagai wilayah yang “sekarat” atau “mati enggan, hidup pun tidak”.
Berbagai krisis kemanusiaan terus setia menemani warga Gaza di berbagai aspeknya. Jatuhnya ribuan korban jiwa, hancurnya puluhan ribu tempat tinggal, tingginya angka kemiskinan, parahnya pengangguran, dan berbagai macam kesengsaraan lainnya bisa dengan mudah kita temukan di Jalur Gaza, sebuah fenomena yang seolah olah menunjukkan dunia bagaimana zionis Israel berhasil “membunuh warga Gaza secara perlahan”.
Blokade zionis Israel atas Gaza merupakan pangkal dari berbagai krisis yang melanda jalur Gaza hingga hari ini. Terlebih setelah gempuran dahsyat militer zionis Israel pada agresi militer terakhir yang terjadi selama 50 hari di musim panas tahun 2014 silam, serangan darat, laut dan udara yang dilancarkan oleh salah satu kekuatan militer terkuat di dunia telah mengancurkan ratusan ribu bangunan di Jalur Gaza dan menelan puluhan ribu korban.
Setelah berakhirnya agresi militer 2014 tersebut, sejumlah negara negara baik itu arab maupun eropa tampak memberikan harapan dengan mengadakan konferensi internasional untuk bantuan rekontruksi Gaza di Kairo, Mesir dan berhasil mengumpulkan hingga 5.4 miliar dolar Amerika serikat, namun harapan tetaplah sebuah harapan karena dana tersebut tidak diizinkan masuk oleh zionis Israel yang menguasai penuh kebijakan
Blokade atas Gaza yang menyedihakannya keputusan blokade tersebut terkesan di “acc” oleh negara negara Arab yang bertetangga dengan Jalur Gaza seperti mesir.
Dengan demikian, ratusan ribu bangunan yang hancur di Gaza akibat agresi militer zionis Israel tidak berhasil diselamatkan oleh 5.4 miliar dollar yang terkumpul karena blokade.
Dampak blokade ini ini tidak hanya berhenti di pembicaraan seputar “gagalnya rekontruksi Gaza”, blokade yang berarti “penutupan pintu pintu perbatasan” ini juga memberikan para korban luka agresi militer zionis di Gaza episode baru dari sebuah penderitaan, mereka tidak bisa berobat dan memulihkan diri mereka setelah terkena senjata kimia yang disebar oleh zionis selama masa agresi militer.
Karena tim medis dan seluruh rumah sakit di Jalur Gaza yang juga menderita oleh blokade selama bertahun tahun tidak memiliki kemampuan untuk memulihkan para korban luka dan mengharuskan mereka untuk berobat ke luar Gaza.
Warga Gaza benar benar merasa berada di dalam penjara terbesar di dunia dan mereka sebagai tahanannya. Meskipun sebenarnya penggunaan istilah “penjara”masih terlalu halus untuk mereka. Karena sebuah penjara pada umumnya menyediakan layanan listrik 24 jam untuk para narapidana. Akan tetapi di Jalur Gaza hingga detik ini, dalam 1 hari warga Gaza hanya bisa menikmati aliran listrik kurang dari 6 jam.
Ketiadaan listrik ini mengharuskan sebagian warga Gaza yang mampu membeli lilin, menjadikan lilin sebagai alternatif namun tidak jarang berakhir pada tragedi kebakaran sebuah rumah dan menewaskan anak anak kecil yang sedang tertidur pulas saat sang api memakan tubuh mereka.
Seluruh tragedi kemanusiaan yang merupakan dampak dari blokade yang disebabkan oleh konspirasi oleh zionis israel seolah tidak tersentuh oleh hukum. Dunia seakan bungkam dan tidak peduli, berbagai organisasi ham yang selama ini mendengungkan hak asasi manusia berpaling.
Maka dari itu bergabungnya Palestina secara resmi di mahkamah pidana internasional tanggal 1 april 2014 silam memberikan banyak asa dan harapan baik itu dari pihak pemerintah maupun warga agar kelak bisa menyeret para petinggi zionis israel atas berbagai kejahatan yang diperbuat terhadap warga Palestina.
Buntunya berbagai alternatif untuk meringankan penderitaan warga Palestina dan mengakhiri blokade atas Jalur Gaza tidak serta merta menjadikan warga Palestina khususnya di Jalur Gaza putus asa.
Dalam berbagai kesempatan di media masa, mereka kerap menyeru kepada pemerintah internasional khususnya negara negara Islam seperti Indonesia dan Malaysia untuk terus peduli terhadap nasib saudara saudara mereka di Palestina.
Seruan itu pun memberikan sinyal positif setelah bantuan bantuan yang datang dari Eropa tertahan oleh birokrasi zionis Israel dan blokadenya, sejumlah organisasi non pemerintah (NGO) khususnya di indonesia dengan izin Allah berhasil menyalurkan berbagai jenis bahan bantuan yang sampai ke Jalur Gaza.
Hingga saat ini pergerakan para NGO tersebut sekalipun dalam skala yang tidak terlalu besar namun tampak efektif dalam mengurangi beban dan penderitaan warga Palestina di Gaza. Lebih dari itu, bantuan bantuan yang datang tersebut memberikan kepercayaan dan pesan kepada warga Palestina bahwa mereka tidaklah sendiri. Kemanusiaan masih tersisa di sejumlah pelosok di dunia seperti Indonesia.
Untuk saat ini, tampaknya dukungan moril dan material lah yang sangat dibutuhkan oleh warga Palestina di Gaza. Bantuan pangan dan obat obatan menjadi salah satu prioritas yang dibutuhkan demi menjaga asa dan senyuman di wajah anak anak Palestina yang terjajah. (muslimdaily/adj)
Abdillah Onim
Jurnalis dan relawan kemanusian dari Indonesia yang tinggal di Gaza, Palestina.