Tidak Bisa Menjawab, Apakah Bukan Ulama?
Tidak Bisa Menjawab, Apakah Bukan Ulama?
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan para ulama sangat dibutuhkan oleh umat ini. Setelah Rasulullah SAW wafat maka tongkat estafet untuk menjawab semua permasalan umat seputar urusan agama beralih kepada para ulama. Bagaimana tidak? Para ulama adalah ahli waris Nabi Muhammad SAW dan juga ahli waris para nabi yang lain. Hal tersebut sebagaimana yang disabdakan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam haditsnya:
إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ
“Sesungguhnya para ulama adalah ahli waris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu”. (HR.al-Bukhari)
Ya, yang diwariskan oleh para nabi bukanlah materi berupa dinar dan dirham, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Karena dalam beragama memang harus didasari dan dilandasi dengan ilmu. Maka tidak heran jika wahyu yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca yang merupakan perantara untuk memperoleh ilmu. Bahkan dalam kitab Shahihnya Imam al-Bukhari membuat tema:
الْعِلْمُ قَبْلَ الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ
“Ilmu itu sebelum ucapan dan perbuatan”
Artinya dalam beribadah harus ada landasan ilmu yaitu firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW. Ketika seseorang beribadah tanpa landasan ilmu pasti orang tersebut akan sesat dan tidak diterima amalan ibadahnya. Jadi yang membedakan orang awam dan para ulama adalah ilmu yang ilmu itu sendiri merupakan warisan para nabi.
Ulama Harus Menguasai Semua Ilmu?
Ketika para ulama dikatakan sebagai ahli waris para nabi, lantas siapakah yang berhak menyandang gelar sebagai seorang ulama? Apakah dia harus menguasai semua ilmu agama dulu baru bisa disebut ulama?
Siapakah yang tidak kenal Imam Malik? Seorang ulama yang sangat terkenal di zamannya. Bahkan ketenarannya masih kita jumpai di zaman kita dengan bukti madzhab fiqihnya yang masih dipakai oleh sebagian kaum muslimin.
Siapakah yang tidak kenal Imam Malik? Ulama besar yang menjadi guru dari ulama besar. Ya, Imam Malik adalah guru dari Imam Syafi’i. Tidak ada yang meragukan ‘keulamaan’ Imam Malik. Bahkan ada ungkapan terkenal “Tidak ada yang berhak berfatwa sedangkan Imam Malik ada di Madinah”.
Namun dalam kitab Raudhah an-Nazhir Wa Junnah al-Munazhir Ibnu Qudamah al-Maqdisi menukil sebuah riwayat tentang Imam Malik. Imam Malik pernah ditanya tentang empat puluh permasalahan. Namun tiga puluh enam di antaranya beliau jawab dengan jawaban: “Saya tidak tahu”. Riwayat serupa dapat kita temukan dalam kitab al-Intiqa’ karya Ibnu Abdil Barr.
Seorang ulama besar ditanya tentang empat puluh pertanyaan tetapi tiga puluh enam pertanyaan dijawab dengan jawaban: “Saya tidak tahu”. Itu artinya hanya empat pertanyaan yang berhasil beliau jawab.
Apakah hal itu menghilangkan ‘keulamaan’ Imam Malik? Tidak, justru ‘keulamaan’ Imam Malik yang membuat beliau melakukan itu. Bahkan ketika beliau ditanya: Itu adalah pertanyaan ringan dan mudah. Beliau menjawab: Tidak ada sesuatu yang ringan dalam urusan ilmu, tidakkah kamu mendengar firman Allah SWT?
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu Perkataan yang berat”. (QS.al-Muzammil: 5)
Ilmu Adalah Yang Menjadikan Takut
Apa yang dilakukan oleh Imam Malik menunjukkan keluasan ilmu beliau. Karena beliau tahu bahwa setiap apa yang dikatakan dan dikerjakan pasti akan dimintai pertanggungan jawab darinya. Bagaimana beliau harus bertanggung jawab atas jawaban yang tidak beliau ketahui ilmunya? Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS.al-Isra’: 36)
Sesungguhnya yang pantas bergelar ulama adalah yang ilmunya menjadikannya takut dan memiliki “khasyyah” kepada Allah SWT. Bukan yang kebodohannya menjadikannya berkata apapun tanpa rasa takut kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama”. (QS.Fathir: 28)
Ternyata hal itu tidak hanya dilakukan oleh Imam Malik. Bahkan manusia terbaik setelah Rasulullah SAW juga melakukan hal yang sama. Abu Bakar ash-Shiddiq pernah mengatakan:
أَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي، وَأَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي، إِنْ قُلْتُ فِي آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ بِرَأْيِي، أَوْ بِمَا لَا أَعْلَمُ.
“Bumi mana yang akan aku pijak, langit mana yanag akan menaungiku, jika aku berkata tentang suatu ayat dari kitabullah dengan pendapatku, atau dengan apa yang tidak aku punyai ilmunya?”
Fenomena Ustadz dan Ulama Gadungan
Di zaman sekarang kebanyakan orang hanya menilai penampilan luar. Ketika ada seseorang berpenampilan seperti ustadz, atau mempunyai kemampuan dan kelihaian berbicara di depan umum lantas orang-orang menyebutnya sebagai seorang ustadz atau ulama. Embel-embel sebagai ustadz semakin populer jika dia sudah mengisi acara di televisi. Namun ketika gelar ustadz tidak dibarengi dengan kemampuan ilmu syar’i yang mumpuni, justru bukan memberi pencerahan tetapi malah menyesatkan.
Kepopuleran yang tidak dibarengi dengan ilmu terkadang menjadikan dia gengsi ketika ditanya tetapi tidak bisa menjawab. Walhasil dia akan berusaha menjawab walaupun hanya dengan jawaban ‘ngasal’. Kebodohannya menjadikan dia takut kehilangan gelar jika tidak bisa menjawab pertanyaan yang ditanyakan kepadanya. Sungguh, kebalikan seratus delapan puluh derajat dengan apa yang dilakukan oleh para ulama sungguhan.
Fenomena munculnya para ulama bodoh memang sudah dikabarkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya secara langsung dari hamba-hambaNya. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga apabila Allah tidak menyisakan seorang alim pun, orang-orang akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, maka ketika mereka ditanya mereka akan berfatwa dengan tanpa landasan ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”. (Muttafaq ‘Alaih)
Beginilah fenomena para ustadz dan ulama bodoh di akhir zaman. Ketakutan mereka kehilangan gelar yang diberikan manusia jauh melebihi ketakutannya kepada Allah SWT, sehingga mereka berani berfatwa tanpa dilandasi oleh ilmu. Kelak, di akhirat mereka akan menanggung dosa atas fatwa-fatwa mereka:
مَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ
“Siapa yang diberi fatwa tanpa landasan ilmu, maka dosanya atas orang yang memberi fatwa”. (HR.Abu Dawud)
Belajar Berkata “Saya Tidak Tahu”
Mengatakan “saya tidak tahu” ketika ditanya tentang permasalahan agama yang tidak tahu ilmunya bukanlah sebuah aib. Justru itulah yang dilakukan oleh para ulama. Bahkan hal tersebut menunjukkan kedalaman ilmu para ulama. Ada istilah yang terkenal bahwa jawaban “saya tidak tahu” adalah setengah dari ilmu.
Ketika Sa’id ibn Jubair ditanya tentang sesuatu, maka beliau mengakatan: Saya tidak tahu. Kemudian beliau berkata:
وَيْلٌ لِلَّذِيْ يَقُوْلُ لِمَا لَا يَعْلَمُ: إِنِّيْ عَالِمٌ
“Celakalah seorang yang mengatakan terhadap apa yang tidak dia ketahui: Sesungguhnya aku tahu”.
Itulah Perbedaan antara para ulama sungguhan dengan ulama gadungan. Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari para ulama gadungan. Aamiin.
Wallahu A’lam Bish Showab
Ali Shodiqin, Lc